Suscríbete

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 03 Juni 2010

The Invisible Hands Pemberantas Kemiskinan


BULETIN KHUSUS BULAN APRIL : KOLOM OPINI oleh Septi Muryani (Anggota Departemen Litbang FoSEI FE UMS)

Tiap kali berkunjung ke kota-kota di Indonesia, apa yang dapat kita saksikan ketika melewati setiap ruas jalan-jalan utamanya? Mal-mal raksasa yang megahkah? Atau hotel berbintangnya yang mewah? Atau mungkin apartemen-apartemen super elit yang lantainya hanya boleh diinjak kaum borjuis saja karena harganya yang terlalu fantastis? Sesuai faktanya, ketiga jenis bangunan tersebut ada, bahkan semakin menjamur tiap tahunnya di setiap sudut kota di negara ini.
Benarkah Rakyat Indonesia Kaya?
Melihat fakta menjamurnya bangunan-bangunan elit nan megah di hampir setiap sudut kota, seakan-seakan kita disodori kenyataan tentang sebuah pencapaian keberhasilan ekonomi di negeri ini yaitu yang biasanya disebut “kemakmuran”. Kota metropolitan yang modern dengan hotel-hotel cantik dan berjajarnya mal-mal raksasa seakan memberi pencerahan bahwa perekonomian rakyat di negara ini semakin membaik. Perdagangan dan investasi terlihat maju jika melihat padatnya aktivitas di dalam gedung-gedung yang menjulang tinggi di pinggiran kota. Lalu siapa saja yang boleh menikmati semua fasilitas itu? Bolehkah pedagang sayur keliling membuka stand dengan gelaran tikar di hypermarket sebuah mall mewah? Bolehkah pedagang bakso dengan gerobaknya masuk ke pelataran apartemen padahal security yang bermata jeli selalu memeriksa tiap tamu asing yang masuk? Jawabannya tentu saja tidak boleh. Yang ada malah pengusiran yang mereka dapat karena pedagang kecil tentu saja tak mampu membayar sewa kios di mal-mal mewah dan hanya dianggap mengotori pemandangan di area apartemen elit.
Lalu milik siapakah sebenarnya semua kemewahan tersebut? Di saat seorang direktur perusahaan atau pejabat pemerintahan atau siapa saja yang berduit menikmati dinginnya AC dan empuknya kasur di dalam kamar hotel berbintang lima. Di saat wanita-wanita berlomba-lomba memenuhi troli belanjaannya dengan berbagai barang yang disukai di mal. Dan di saat anak-anak kecil dibiasakan dengan segala kemewahan hedonis itu. Di saat yang sama pula, seorang pengasuh anak-anak yatim piatu kebingungan mencari dana bagi anak asuhnya karena tak juga ada donatur yang mengulurkan tangan. Kawanan pedagang kaki lima memberontak karena kiosnya digusur untuk pembangunan pusat perbelanjaan. Dan pada saat yang sama pula komunitas pemulung rela mengais gunungan sampah di sebuah tempat pembuangan sampah di kompleks apartemen untuk mendapatkan kepingan rupiah.
Kurang tepat mengatakan rakyat Indonesia kaya. Bolehlah kita mengatakan rakyat Indonesia kaya yang sebagian, tapi tidak untuk sebagian yang lain. Ketimpangan kekayaan rakyat jelas terlihat bukan? Seakan kita menyaksikan secara langsung peringatan Allah ‘Azza wa Jalla dalam firmanNya :


 “..…supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu….. (Al Hasyr : 7)”
Fakta di tengah kemodernan dimana banyak bertebaran simbol-simbol kekayaan seperti bangunan mewah sangat tidak tepat dijadikan satu-satunya indikator kekayaan negara ini. Saya menghargai upaya pengusaha mall, hotel mewah, ataupun pengelola apartemen elit karena sedikit banyak menyertakan kaum miskin sebagai buruh dalam bisnisnya. Tetapi, perlu dicermati kembali apakah manusiawi bila sebuah sekolah harus digusur demi berdirinya mal, tanah perkuburan direlokasi demi sebuah pusat perbelanjaan, masjid digusur untuk sebuah ruko, dan kios pedagang kaki lima dihancurkan karena tak mungkin berdiri sejajar dengan hotel atau mall mewah seakan menegaskan bahwa rakyat kecil tak boleh ikut dalam persaingan pencarian rezeki di negeri ini, hingga potret kemiskinan di balik bangunan-bangunan megah itu lambat laun tak dapat ditutupi lagi.
Adakah The Invisible Hands yang Pro Rakyat Miskin ?
Dalam konsep kapitalisme, istilah The Invisible Hands dipakai untuk menyebut pihak tertentu yang bermodal besar dalam perekonomian. Karena itulah mereka dapat mengendalikan kondisi perekonomian suatu negara padahal mereka bukan penentu kebijakan dalam perekonomian seperti halnya pemerintah. The Invisible Hands di atas jika dibayangkan tentu saja akan mempunyai watak sangat jahat, tamak, dan individualis. Pasalnya, kekayaan yang semestinya dibagi secara adil untuk kesejahteraan bersama hanya mau mereka kuasai sendiri, sementara yang lain dibiarkan miskin meski terkadang yang miskin tidak sadar bahwa ada pihak-pihak yang sengaja membuatnya jadi miskin. Lalu bisakah menjadi The Invisible Hands yang pro rakyat miskin? Jawabannya, bisa saja. Para pendahulu kita seperti sang Khalifah Abu Bakar As-sidiq r.a dan Umar Ibnul Khattab r.a meski di zaman sekarang kedudukan mereka setara bahkan lebih tinggi dari presiden, namun secara langsung mengambil posisi sebagai The Invisible Hands pula dalam perekonomian pada zaman itu. Abu Bakar As-sidiq r.a misalnya, dengan kerendahan hati dan kesadaran akan tanggung jawab beliau sebagai seorang khalifah, setiap pagi beliau meluangkan waktunya untuk datang ke sebuah gubuk wanita tua renta yang buta. Di sana beliau memeraskan susu dan membersihkan rumah si wanita buta tersebut. Sementara Umar Ibnul Khatab r.a di setiap malam ketika semua orang sedang terlena dalam tidurnya, beliau melakukan ronda dengan berkeliling kota Madinah untuk mencari rumah-rumah orang miskin yang penghuninya menangis karena kelaparan lalu membawakan makanan untuk mereka.
Rasulullah SAW dalam sabda beliau tentang keutamaan sedekah tanpa diketahui orang lain (secara diam-diam atau “ghaib”) menyebutkan :
 “Seorang yang bersedekah dengan tangan kanannya, ia menyembunyikan amalnya itu sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya.” (HR. Bukhari No. 1421).
Angka kemiskinan memang tidak dapat ditekan secara langsung dari kegiatan sedekah atau semacamnya yang dilakukan setiap individu, namun upaya untuk menyalurkan bantuan moril maupun materiil kepada kaum miskin akan selalu dicatat oleh-Nya sebagai suatu usaha untuk membantu mereka yang membutuhkan.  Meski hanya berperan sebagai “tangan-tangan gaib” yang tidak punya peranan apa-apa dalam perekonomian di suatu negara, namun jika tangan-tangan gaib pemberi sedekah dengan hatinya yang ikhlas ini semakin banyak jumlahnya di muka bumi, maka kekayaan rakyat pun niscaya akan terdistribusi secara adil dan merata. Bahkan, Rasulullah SAW di zaman dahulu tidak hanya berupaya untuk membantu kaum miskin saja, tetapi juga mencari cara bagaimana dapat mengubah nasib rakyatnya yang miskin menjadi berkecukupan. Terbukti, pada tahun ke-4 Hijriah, setelah beliau mewaqafkan tujuh lahan kebun kurmanya di Madinah untuk dimanfaatkan hasilnya oleh para dhuafa yang mengelolanya, diantara kaum dhuafa tersebut ada yang mampu membayar zakat mal pada tahun ke-9 Hijriah.
Lalu apakah harus menunggu rumusan kebijakan pemerintah untuk memberantas kemiskinan? Jika kita mempunyai kebesaran hati untuk mengambil peran-peran “ghaib” di tengah kemiskinan umat dengan bersedekah, maka marilah ber-fastabiqulkhoirot melakukan tindakan-tindakan  “ghaib”  dalam artian membantu kaum mustad’afin di sekeliling kita dengan sembunyi-sembunyi tanpa diketahui orang lain.
Kesimpulan
Tingkat kemiskinan memang tidak dapat secara langsung ditekan oleh “tangan-tangan ghaib” yang pro rakyat miskin. Namun, semoga dengan lurusnya hati seseorang untuk besedekah, waqaf, maupun berzakat dan makin banyak yang menyembunyikan amalannya dalam membantu kaum dhuafa, maka bukan tidak mungkin jumlah penduduk miskin akan berkurang karena harta mulai beredar secara adil dan merata dalam masyarakat.
Wallohu a’lam Bishowab



Selasa, 01 Juni 2010

UANG FIAT ADALAH RIBA PALING BERBAHAYA DAN POPULER DIKALANGAN MASYARKAT

Firman Allah SWT:
“…… orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (QS.9/ At-Taubah: 34)
Bagi yang mau mencermati, krisis selalu megajarkan banyak hal. Termasuk krisis yang kita alami. Kita mafhum bahwa krisis ini diawali oleh krisi mata uang yang melanda Indonesia dan dunia. Namun apa boleh buat, karena struktur ekonomi kita memang rapuh, krisis pun mudah meluluhlantakkan bangunan ekonomi yang berpuluh-puluh tahun kita bangun.
Terus bagimanakah menurut pandangan Islam tentang uang itu seperti apa?
Uangan menurut Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun menegaskan bahwa kekayaan suatu Negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang di Negara tersebut, melainkan ditentukan oleh tingkat produksi Negara tersebut dan neraca pembayaran yang positif. Bisa saja suatu Negara mencetak uang sebanyak-banyaknya, tetapi bila hal itu bukan merupakan refleksi pesatnya pertumbuhan sector produksi, uang yang melimpah itu tiadak ada nilainya. Sector produksilah yang menjadi motor pembangunan, menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan pekerja, dan menimbulkan permintaan atas factor atas factor produksi lainya. Pendapat in menunjukan pula bahwa perdagangan internasional telah menjadi bahasan utama para ulama ketika itu. Negara yang telah meng-eksport berarti mempunyai kemampuan berproduksi lebih besar dari kebutuhan domsetiknya sekaligus menunjukan bahwa Negara tersebut lebih efesien dalam produksinya(Karim;2001).
Sejalan dengan pendapat al-Ghajali, Ibnu Khaldun juga menagtakan bahwa uang tidak perlu menagandung emas dan perak, tetapi emas dan perak menjadi standar nilai uang. Uang yang tidak menagndung emas dan perak merupakan jaminan pemerintah menetapkan nilainya. Karena itu, pemerintah tidak boleh mengubahnya (Muqaddimah, 1:407).
Pemerintah wajib menjaga nialai uang yang dicetaknya karena masyarakat menerimanya tidak lagi berdasarkan kandungan emas perak didalamnya. Katakanlah, pemerintah mengeluarkan uang nominal Rp10.000 yang setar denagn ½ gram emas. Bila kemudian pemerintah mengeluarkan nominal Rp10.000 seri baru dan ditetapkanya nilainya setara dengan ¼ gram emas, uang akan kehilangan makna sebagai standar nilai.
Oleh karma itu, Ibnu khaldun selain menyarankan digunakanya uang standar emas/perak, beliu juga menyarankan konstantanya harga emas dan perak (Muqaddimah, 2:274)
Dalam keadaan nilai yang tidak berubah, kenaikan harga atau penurunan harga atau penurunan semata-mata ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan. Setiap barang akan mempunyai harga keseimbangannya. Bial lebih banyak mekanan dari ang diperlukan di satu kota, harga makan menjadi murah. Demikian sebaliknya (Muqaddimah,2:240).
Uang menurut al-Ghazali
Abu Hamid al-Ghazali dalam kitabnya “Ihya Ulumuddin” yang ditulis pada awal abad ke-11 telah membahas fungsi uang dalam perekonomian. Beliau menjelaskan, bahwa ada kalanya seseorang mempunyai sesuatu yang tidak dibutuhkannya dan membutuhkan sesuatu yang tidak dimilikinya. Dalam ekonomi barter, transaksi hanya terjadi jika kedua pihak mempunyai dua kebutuhan sekaligus, yakni pihak pertama membutuhkan barang pihak kedua dan sebaliknya pihak kedua membutuhkan barang pihak pertama, misalnya seseorang mempunyai onta dan membutuhkan kain.
Menurut al-Ghazali, walaupun dalam ekonomi barter, dibutuhkan suatu alat pengukur nilai yang disebut sebagai “uang”. Sebagaimana contoh di atas, misalnya nilai onta adalah 100 dinar dan kain senilai 1 dinar. Dengan adanya uang sebagai alat pengukur nilai, maka uang akan berfungsi sebagai media penukaran.
Namun demikian, uang tidak dibutuhkan untuk uang itu sendiri, artinya uang diciptakan untuk memperlancar pertukaran dan menetapkan nilai yang wajar dari pertukaran tersebut. Menurut al-Ghazali, uang diibaratkan cermin yang tidak mempunyai warna, tetapi dapat merefleksikan semua warna, yang maksudnya adalah uang tidak mempunyai harga, tetapi merefleksikan harga semua barang, atau dalam istilah ekonomi klasik disebutkan bahwa uang tidak memberikan kegunaan langsung (direct utility function), yang artinya adalah jika uang digunakan untuk membeli barang, maka barang itu yang akan memberikan kegunaan.

Mata uang Khalifah
Dalam sejarah perekonomian Islam, uang sebagai alat pertukaran dan pengukur nilai tersebut, telah dicetak sejak zaman Khalifah Umar dan Utsman, bahkan salah satu mata uang yang dicetak pada masa Khalifah Ali masih tersimpan dalam sebuah museum di Paris. Hal ini menunjukkan bahwa dunia Islam telah mengenal mata uang jauh sebelum Adam Smith, Bapak Ekonomi Konvensional, menulis buku “The Wealth of Nations” pada tahun 1766.
Pada zaman abdul Malik (76 H), pemerintah mendirikan tempat percetakan uang, antara lain di dara’bjarb, Suq Ahwaz, Sus, jay, Manadar, Maysan, Ray, Abarqubadh, dan mata uang khlifah dicetak secara terorganisasi dengan control pemerintah.
Nilai uang ditentukan oleh beratnya. Mata uang dinar mengandung emas 22 karat dan terdiri atas ½ dinar dan 1/3 dinar. Pecahan yang lebih kecil didapat denagn memotong mata uang. Imam Ali r.a misalnya, pernah membeli daging dengan memotong dua karat dari dinar (Abu Dawud). Dirham terdiri atas pecahan nash (20 dirham, nawat (liam dirham, dan sha’ira (1/60 dirham).
Nilai tukar dinar-drham relative stabil pada jangka waktu yang panjang deangan kurs dinar-dirham 1:10. pada saat itu, perbandingan emas-perak adalah 1:7 sehingga satu dinar 20 karat setera dengan sepuluh dinar 14 karat. Reformasi moneter pernah dilakukan oleh Abdul Malik, yaitu dirham diubah menjadi 15 karat dan pada saat yang sama dinar dikurangi berat emasnya dari 4,55 menjadi 4,25 gram. Di Zaman Ibnu faqih (2890, nilai dianr mengat menjadi 1:17, namun kemudian stabil pada kurs 1;15.
Setelah reformasi moneter Abdul Malik, ukuran-ukuran nilai adalah: satu dinar 4,25 gram, satu dirham 3,98 gram, satu uqiyya 40 dirham, satu mitsqal 22 karat. Satu ritl (liter) setara 12 mitsqal, satu qist 8 ritl setara setengah sa’, satu qafiz 6 sa’ setara seoerempat artaba, satu wasq 60 sa’,satu 4 qafiz.
Pandangan uang menurut Ibnu Tamiyah
Namun sebenarnya, dampak tersebut sudah diingatkan oleh Ibnu Tamiyah yang lahir di zaman pemerintahan Bani Mamluk tahun 1263. Ibnu Tamiyah dalam kitabnya “Majmu’ Fatwa Syaikhul Islam” menyampaikan lima butir peringatan penting mengenai uang sebagai komoditi, yakni :. Pertama, perdagangan uang akan memicu inflasi. Kedua, hilangnya kepercayaan orang akan stabilitas nilai uang akan mencegah orang melakukan kontrak jangka panjag dan mendzalimi golongan masyarakat yang berpenghasilan tetap seperti pegawai. Ketiga, perdagangan domestic akan menurun karena kekhawatiran stabilitas nilai uang. Keempat, perdagangan internasional akan menurun. Kelima, logam berharga akan mengalir keluar dari Negara.
Bagaimanakah Keberdaan Uang Saat Ini?
Menurut konsep ekonomi Syariah, uang adalah uang, bukan capital, sementara dalam konsep ekonomi konvensional, konsep uang tidak begitu jelas, misalnya dalam buku “Money, Interest and Capital” karya Colin Rogers, uang diartikan sebagai uang dan capital secara bergantian, sedangkan dalam konsep ekonomi Syariah uang adalah sesuatu yang bersifat flow concept dan merupakan public goods, sedangkan capital bersifat stock concept dan merupakan private goods. Uang yang mengalir adalah public goods, sedangkan yang mengendap merupakan milik seseorang dan menjadi milik pribadi (private good).
Uang kertas menagandung unsur riba yaitu, Riba al-fadl adalah kelebihan (surplus) yang diperolehnya melalui pencetakan nominal uang di atas kertas, dengan angka harga yang ditetapkan itu jauh di atas nilai intrinsiknya (harga bendanya). Misalnya uang Rp.100.000,- biaya intrinsiknya Rp.266,-/lembar, maka kelebihannya adalah Rp.99.734. Inilah yang disebut riba tafadul (riba yang ditentukan) atau disebut Seigniorge. Dan riba an-nasiah terjadi karena penundaan pembayaran akhibat penimbunan uang (emas-perak) oleh bank sentral di setiap negara. Ini menyebabkan neraca kredit berjalan antar bilyet memaksa ditetapkannya bunga atas penundaan waktu untuk kliring, yang disebut jasa penyewaan uang atau interest. (Sumber: Dokumen Peruri & BI, Majalah Tempo, 25 Maret 2007).
Pertukaran uang kertas dengan berbagai barang dan jasa merupakan pertukaran sesuatu yang ghaib dengan sesuatu yang nyata. Uang kertas disebut ghaib karena pada hakikatnya uang kertas ini adalah banknote, yaitu surat janji (note) dari bank yang menerbitkannya dan disebut bilyet. Nota ini merupakan dayn atau utang, padahal utang pada bilyet (banknote) tersebut tidak jelas kepada siapa ditujukannya? Dan kapan dilunasinya?
Para ulam beriijtihad bahwa system mata uang emas dan perak adalah sistem mata uang yang benar. Syekh taqyuddin an-Nabhani (1996:298-300) memberikan beberapa alasan mengapa mata uang yang benar menurut Islam hanya emas: Pertama, ketika Islam melarang praktek penimbunan harta, Islam hanya mengkhususkan larangan tersebut untuk emas dan perak, padahal harta (mal) itu mencakup semua barang yang bisa dijadikan kekayaan. Kedua, Islam telah menagitkan emas dan perak denag hukum yang baku dan berubah-ubah. Ketiga, Rasulullah saw. Telah menetapkan emas dan perak sebagai uang dan beliu menjadikannya emas dan perak sebagai standar uang. Keempat, keika Allah SWT mewajibkan zakat uang, Allah telah mewajibkan zakat tersebut bdenag hisab emas dan perak. Kelima, hukum-hukum tentang pertukaran mata uang yang terjadi dalam transaksi uang hanya dilakukan dengan emas dan perak. Semua transaksi dalm bentuk finansial yang dinyatkan dalam Islam hanya dinyatakan dengan emas dan perak.
Atas dasar itu kita berkesimpulan bahwa mata uang yang ada dalam Islam adalah emas dan perak. Uang kertas yang ada saat ini bukanlah produk peradaban Islam. Karena itu, wajar apabila terjadi krisis dimana-mana. Uang kertas saat ini legal tender, yaitu janji pemerintah yang menggap bahwa itu adalh uang (Lawrence S. Ritter & Willian L.Silbri,ibid). jika suatu saat hokum menyatakan itu bukan uang, yang tertinggal hanyalah tumpukan kertas berwarna yang tidak mempunyai nilai apa-apa. Padahal uang adalah nilai tukar yang bisa pengganti posisi barang, bila suatu transaksi berhenti di tengah (uang belum sempat ditukar lagi denagn barang lain). Jika orang sedang memegangnya lalu datang pengumuman uang kertas berhenti sebagai alat tukar dan digantikan oleh beras, misalnya ia memiliki kertas yang tidak bernilai apa-apa. Selain itu, pemerintah yang bertanggung jawab menyediakan beras sekian banyak untuk menggantikan uang tersebut (mahmud Abu Saud, 1980).
Saya tidak menyarankan untuk berhenti untuk menggunakan uang kertas tetapi ini sebagai pengetahuan bahwa standar uang adalah emas dan perak, serta uang kertas bukan hasil peradaban Islam. Dari sini kita dukung keberadaan uang dinar dan dirham di Indonesia.

Diberdayakan oleh Blogger.

Text Widget

Sample Text

Jalan Jenderal Ahmad Yani, Surakarta 57162, Indonesia
Kampus 2 UMS (Universitas Muhammadiyah Surakarta)
Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB-UMS)

Followers

Stats

Didukung Oleh

Didukung Oleh

Link Blog

BTemplates.com

Popular Posts