Suscríbete

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 15 Juni 2012

PENATAAN ZAKAT DI INDONESIA


 Oleh:
ERI SUDEWO[1]
(Disapampaikan dalam Talk Show #IndonesiaBerzakat FoSEI FE UMS)
             Saya bernostalgia sedikit. September dan Oktober 2006 bulan istimewa kala itu, bagi sekelompok kecil orang. Pertama tanggal 14 September, digelar diskusi amandemen UU 38 tahun 1999 di Litbang Depag. Kedua 20 September, ditandatangani sinerji BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) dan Dompet Dhuafa Republika (DD).  Ketiga, awal Ramadhan jatuh di 24 September. Bulan sarat berkah ini, bagi praktisi zakat, jadi bulan marak-maraknya penghimpunan ZIS (Zakat Infak Sedekah). Keempat 25 September berlangsung diskusi tentang blueprint zakat Indonesia di BAZNAS. Kelima di 6 Oktober, terjadi pergantian pejabat Direktur Pengembangan Zakat Depag. Dan keenam 10 Oktober, diskusi amandemen UU 38 dilanjutkan di Litbang Depag.

                Enam rangkaian tanggal tersebut, semua mengancik pada perzakatan Indonesia. Dimensi zakat memang substansial. Menyangkut kepentingan publik dan kebijakan negara dalam penanggulangan kemiskinan. Yang saat ini masih jadi keputusan politik setengah hati. Dengan pola tradisional, dengan ulangan jargon-jargon pembangunan. Yang entah, sampai kapan drama seri kemiskinan ini bakal berakhir. Maka sadar atau tidak, bagi sekelompok kecil itu, rangkaian peristiwa di atas merupakan langkah penataan zakat di Indonesia. Sekecil apapun.


REGULATOR DAN PENGAWAS
                Bicara sejarah, ada yang bilang UU 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, invalid sejak lahir. Sebab pertama, UU itu bukan bicara zakat. Yang disorot hanya lembaga pengelola. Kedua, tak ada sanksi bagi ingkar muzaki (pembayar zakat). Ketiga zakat cuma jadi PPKP (Pengurang Penghasilan Kena Pajak), bukan tax deductable. Itupun hanya berlaku bagi PPh 21. Maka, apa manfaatnya bagi masyarakat? Begitu sungut penggugat.

                Regulasi zakat Indonesia, baik UU lama no. 38 tahun 1999 dan 23 tahun 2011 memang (terlalu) fokus pada kelembagaan. Yang diangkat, terutama kedudukan BAZNAS dan BAZ (Badan Amil Zakat) bentukan pemerintah. BAZNAS dengan NAS-nya, diharap jadi satu-satunya lembaga yang berdaya jelajah nasional. Karena itu lahirnya BAZNAS disiasati dengan SK Presiden. Sedang BAZ, dirancang tumbuh berjenjang (?) Dari tingkat propinsi, kotamadya dan kabupaten, hingga kecamatan bahkan kelurahan. Sedang LAZ (Lembaga Amil Zakat) yang nekat lahir di masyarakat, tidak diatur khusus. LAZ hanya diakui, dikukuhkan dari tingkat menteri hingga camat. Di sini LAZ cerdik bersikap. Pengukuhan tingkat menteri, disikapi LAZ dengan beroperasi secara nasional. Harapan BAZNAS bisa satu-satunya menasional, lacur tersaingi LAZ.


                Di atas kertas, siapapun sepakat bahwa BAZNAS lembaga besar. Tapi itu masih sebatas potensi. BAZNAS yang dibentuk Presiden, mustinya lumrah punya peran strategis. Khususnya jadi payung seluruh BAZ maupun LAZ. Wilayah BAZ dan LAZ ini, seluruhnya berada di level operator mikro. Namun 10 tahun lebih beroperasi, tampaknya belum ada panduan regulasi kebijakan dan pengawasan. Terjadi kekosongan, yang belum jelas siapa yang harusnya berperan di sini. Maka tak berlebihan, harusnya BAZNAS didorong mengambil peran tersebut.

                Namun UU 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat berharap lain. BAZNAS disodok untuk jadi lembaga pengelola terbesar, lebih besar ketimbang BAZ dan LAZ. Karena itu ada beberapa hal yang perlu disimak. Pertama posisi BAZNAS yang strategis otomatis dimentahkan UU. Dari harapan regulator dan pengawas, dijungkal ke tingkat operator. Kedua untuk jadi lembaga operator terbesar, apakah peran BAZ dan LAZ total diambil alih? Jika itu yang dimaksud, muncul hal ketiga yang jadi lebih kompleks. Mengambil alih peran, artinya mengulang pola sentralistik. BAZNAS pun tertuntut harus menata sistem manajemen operasional, yang tiba-tiba meraksasa. Resikonya, jangan tanya. Satu contoh, seperti apa orang pusat paham peta dan medan kemiskinan Indonesia. Maka ini hal keempat yang dikhawatirkan. Dalam kondisi bad trust society, siapa bisa jamin sentralistik keuangan tidak jadi sumber KKN baru.

                Saat BAZNAS sibuk menata organisasi model sentralistik, pro dan kontra tak bisa dicegah. Teraduk-aduk dengan taruhan kepercayaan masyarakat dan kepentingan publik. Alih-alih jadi baik, khawatirnya masyarakat malah makin tak percaya pada kelembagaan tawaran pemerintah. Bukan hanya dana yang makin sulit terhimpun, pemerintah pun makin berjarak dengan masyarakat. Akibatnya fatal. Di satu sisi masyarakat punya alasan kuat, untuk kembali menjalankan tradisi penyantunan. Yang di antara kebaikannya, juga malah melestarikan kemiskinan. Di sisi lain, penataan zakat model kelembagaan terancam bubrah.

                Di samping itu ada hal lain yang perlu disimak. Regulasi zakat Indonesia bagi BAZNAS punya potensi destruktif bagi zakat Indonesia. Yang jika dipadu, memposisikan BAZNAS punya peran lengkap. Sebagai regulator dan pengawas, sekaligus jadi operator. Dalam wacana,  pemusatan ini baik. Tapi manajemen punya tuntutan logika praktis. Peran regulator dan pengawas, memang bisa dipisah ataupun menyatu. Pilihan tergantung tujuan dan sikon. Namun menyatukan regulator, pengawas dan operator dalam satu tubuh jelas gegabah. Tumpang tindih wewenang dan tanggung jawab, bakal menimbulkan bencana.


DIREKTORAT ZAKAT
                Saya kembali sedikit menerawang ke belakang, Di 2006 terjadi perubahan di Depag. Dirjen Zakat dan Wakaf dikukuhkan, membawahi Direktorat Pengembangan Zakat dan Direktorat Pengembangan Wakaf. Pertanyaan pun muncul. Posisi direktorat dimana? Sejak digagas, tentu peran regulator dan pengawas bisa diusung. Namun BAZNAS yang juga dibentuk pemerintah, bagaimana? Peran memang bisa dibagi. Regulasi dipegang direktorat, sedang BAZNAS pengawasnya. Atau sebaliknya. Atau bersama BAZNAS menjalani peran regulator dan pengawas.

                Dalam beberapa diskusi, sering dikatakan Direktorat Pengembangan Zakat hanya jadi fasilitator. Namun akibat desakan dari beberapa BAZ daerah, di 2006 ini telah diangkat 330-an PNS khusus amil. Padahal strategi zakat di Indonesia, belum dirancang jelas arahnya. Sementara sejumlah PNS amil itu telah diangkat dan ditebar di berbagai  BAZ. Dengan pengangkatan itu, soal zakat jadi makin kompleks. Sistem keamilan yang bisa diatasi dengan zakat, kini jadi beban APBN.

                Dalam temu tokoh di SMA Taruna Nusantara Magelang, 18 September 2006, Menteri Negara PAN, Taufiq Effendi, menegaskan, jumlah PNS akan dirampingkan. Penambahan PNS harus dilakukan dengan ketat. Soalnya, bagaimana dengan seleksi PNS amil di atas? Apakah juga telah dilakukan koordinasi? Banyaknya PNS punya dua konsekuensi. Pertama tidak efisien. Kedua menambah beban biaya operasional dan gaji. Padahal yang dikerjakan belum tentu sesuai harapan. Di tahun 2009, Menteri Negara PAN menambahkan, jumlah pensiun bakal mencapai 5 juta orang. Untuk bayar mereka menggunakan dana apa? Lantas  dari mana dan bagaimana mendatangkannya?

                Kembali pada soal zakat, siapa yang harus berperan sebagai regulator dan pengawas? Pertanyaan ini juga jadi PR besar tim Teten Kustiawan, yang tengah menyusun blueprint zakat Indonesia. Tapi dalam diskusi di Litbang Depag, 14 September 2006, pertanyaan itu dijawab tuntas. Bahkan dalam diskusi lanjutan di BAZNAS, 25 September 2006, Direktur Pengembangan Zakat, H. Tulus sepakat untuk bersama BAZNAS konsentrasi dalam regulasi kebijakan dan pengawasan. Bagi BAZNAS, ini angin segar. Untuk segera menata diri, fokus pada pengembangan manajemen strategis. Termasuk mereorganisasi dan rekrutmen SDM untuk jadi thinktank zakat Indonesia.


ALTERNATIF KELEMBAGAAN
                Sinerji dalam bisnis, yang entah berarti akuisi, merger atau apapun, kini bukan hanya melanda perusahaan saja. Dalam dunia per-NGO-an Indonesia, sinerji BAZNAS dan DD, 20 September, merupakan nomor perdana. Gagasan ini mencuat saat PBB (Pusat Bahasa dan Budaya) UIN, Jakarta, menggelar diskusi Filantrophi Islam, Agustus 2006.   Inti gagasan, terpantik dari akumulasi keresahan melihat kejumudan pengelolaan zakat. UU sudah dimiliki, namun tujuh tahun berjalan pertumbuhan zakat tetap gradual dan kemiskinan makin kelam.

                Maka ada UU atau tidak, dunia zakat Indonesia tak bergeming. Yang berubah malah bersifat kontradiktif. Dari hari ke hari, manajemen LAZ makin profesional. Namun mengapa kemiskinan juga makin massal dan akut. Kontradiktif yang mustahil tapi sungguh terjadi. Gejala kontradiktif ini mempertegas teori kemiskinan struktural. Bahwa kemiskinan tidak berdiri sendiri. Karena kemiskinan lahir dimanapun dan dari manapun, maka kemiskinan harus diberantas oleh siapapun. Maka kebijakan dan keputusan politik pemerintah amat penting. Tanpa kebijakan yang jelas, sehebat apapun kerja BAZ dan LAZ, hanya pemadam kebakaran. Apinya tak padam karena tersulut sana sini, sementara lembaga pemadamnya makin profesional.

                Sebelum sinerji BAZNAS DD, tergagas tiga usulan kelembagaan zakat. Pertama, bentuk Kementerian Zakat dan Wakaf. Rancang kementerian ini tak membebankan APBN. Agar ramping, efisien dan efektif, pastikan kementerian ini non-departemen. Bayangkan, pemerintah Indonesia sanggup membuat kementerian non-APBN. Terobosan yang bakal mengangkat citra positif birokrat. Barangkali juga, ini langkah pertama di dunia. Ada kementerian tidak dibiayai pemerintahnya. Kementerian ini pun bukan hanya meringankan beban pemerintah, malah membantu mengatasi kemiskinan.

                Usulan kedua, jika kementerian terlampau muluk, turunkan jadi Dirjen Zakat. Karena Dirjen Zakat dan Wakaf sudah ada, pindahkan ke departemen Keuangan, sejajar Dirjen Pajak. Bicara zakat bicara manajemen keuangan. Dalam manajemen keuangan, yang dibutuhkan nahi mungkar. Bukan hanya amar maruf, sekadar imbauan-imbauan tentang kebaikan. Jika hanya imbauan, kita khawatir pengelolaan zakat akan terjebak di seputar tafsir zakat. Seperti juga dirjen Pajak, tugas dirjen Zakat pull of fund. Distribusi dan pengembang program penanggulangan kemiskinan, diserahkan pada BAZ dan LAZ yang memenuhi kriteria.

                Jika alternatif kedua juga sulit, maka bentuk Zakat Indonesia (ZI). Ini lebih realistis karena naga-naganya BAZNAS sanggup bertugas. ZI berperan bak BI. Sebagai pusat regulasi kebijakan dan pengawasan. Yang diatur dan diawasi adalah BAZ dan LAZ. Seperti di perbankan, BAZ merupakan bank pemerintah sedang LAZ banknya swasta. ZI harus merancang standarisasi kelembagaan zakat, serta sertifikasi amil sebagai profesi. Juga jangan abaikan adanya tuntutan, ZI musti menata etika kepatuhan BAZ dan LAZ.

                Tugas lain yang tak kalah berat, bisakah ZI berjuang agar zakat jadi pengurang pajak. Jika Singapura dan Malaysia bisa, mengapa Indonesia berkeberatan. Harusnya bisa karena dana itu toh tetap jatuh ke tangan rakyat yang paling membutuhkan. Soalnya tinggal keputusan politik pemerintah. Jika upaya ini sukses, ubah ZI jadi semacam Pusat Filantrophi Indonesia (PFI). Mengapa? Karena PFI harus juga mengakomodir kebutuhan dana sosial lain dari pihak manapun. 

                Sinerji bukan hanya persoalan beberapa lembaga dan bukan hanya milik lembaga yang bersinerji. Sinerji hari ini adalah penataan zakat Indonesia ke depan. Gagasan sinerji memang sederhana. Namun menjalinnya apalagi jadi kekuatan solid, bukan perkara sehari dua hari. Di sini terbukti, manajemen bukan hanya sejumlah kiat untuk dipelajari, melainkan musti dipraktikkan. Di balik sinerji itu ada persoalan besar yang telah melumat bangsa ini. ZISWAF (Zakat, Infak, Sedekah, Wakaf dan Fidyah) sebagai cadangan modal telah diabaikan. Sedang orang miskin makin massal dan akut. Penanggulangan kemiskinan tanpa ketegasan politik, hanya sekadar jargon rutin tanpa visi yang terarah. Manajemen BAZ dan LAZ serta NGO pun ibarat perusahaan. Profesional untuk dirinya, tapi tak berkutik dikerumunan kemiskinan.

                Jadi jangan lantas puas dan tersenyum karena dengan sinerji soal pun dianggap selesai. Kemiskinan dan keadilan sosial, sekali lagi bukan perkara manajemen-manajemenan. Juga bukan perkara saling klaim yang paling berhak, paling jago dan paling besar. Ingat bangsa ini langka prestasi. Karena kebijakan politik pun kerap memangkas partisipasi bottom up. Ingat pula, sinerji hanya upaya. Pemerintah yang “terima bersih”, entah akan menggurat sejarah dengan rumusan keputusan politik apa. Tak ada kebijakan yang tak punya pengaruh. Yang di babak akhirnya, entah sinerji ini akan bergerak ke mana. Juga entah, sinerji ini akan melahirkan sosok lembaga seperti apa.

Harap-harap cemas terus menggelayuti dunia zakat Indonesia. Karena politik kita  di samping tak jelas, juga selalu setengah hati. Tak lagi berminat mengusung cita-cita welfare state. Barangkali malu di “jaman gene”, masih ada yang bersikap sok heroik.



--o0o--


[1] Terlunta-lunta. Ke sana tak diterima, ke sini ditolak. Diam tak kemana-mana juga diusir. SIAPA MAU TOLONGIN?

ZAKAT 101 Terawang Zakat Indonesia: Mematung di Simpang Jalan (?)


Oleh Arif R. Haryono[1]
(Disampaikan pada Talk Show Indonesia Berzakat FoSEI UMS) 

If Men were Angels, no government would be necesarry
(James Madison, Founding Father of US Contitution)


Membincang zakat dalam kondisi kekinian menjadi menarik, jika tak ingin disebut ruwet. Menarik karena secara perkembangan perluasan wacana, zakat tak lagi sekedar konsumsi privat guru-murid yang sedang menimba ilmu agama, namun telah memasuki dunia publik (public sphere[2]) relasi negara-masyarakat. Maka dalam konteks inilah, zakat dapat dinyatakan memasuki era baru; era keterbukaan informasi dan demokratisasi multi-sektor, di mana setiap hal yang dahulu dianggap tabu, sakral, dan statis dapat berubah menjadi perbincangan deras di alam publik.

Dalam banyak hal, perubahan sifat perlakuan ini menyebabkan entitas dan kadar ketabuan itu menjadi cair tak bersekat. Lalu tak lagi jadi tabu? Tidak juga, dalam banyak kasus yang berubah bukalnkah kadar sakralitas dari entitas tersebut, tapi dari bagaimana masyarakat memperlakukannya. Dalam bahasa sederhana, jika sebelumnya sakralitas mengharuskan diskusi dilaksanakan pada ruang tertutup, berubah menjadi diskursus publik yang partisipatif bagi setiap pihak. Zakat tak luput dari gejala publik-asi ini.

Mari menyelami sejarah zakat Indonesia.

Pengelolaan Zakat Indonesia[3]
Di Indonesia, zakat sejak awal dikelola tanpa keterlibatan negara. Pada awal kemerdekaan, serupa dengan kebijakan di era kolonial, pemerintah memilih posisi tidak turut campur tangan pada pengelolaan zakat yang ada. Dengan demikian, zakat dijalankan secara individual-tradisional, dengan ditopang dua institusi keagamaan terpenting: masjid dan pesantren.

Di era orde baru, secara umum, negara tetap mengambil jarak terhadap pengelolaan zakat. Namun di era ini telah tumbuh kesadaran yang kuat untuk mengelola zakat secara kolektif yang diindikasikan secara jelas dengan berdirinya berbagai lembaga pengelola zakat. Di era ini muncul tiga jenis lembaga pengelola zakat. Pertama, lembaga pengelola zakat yang didirikan oleh pemerintah daerah seperti DKI Jakarta (1968), Kalimantan Timur (1972), Sumatera Barat (1973), Jawa Barat (1974), Sumatera Selatan (1975), Lampung (1975), Irian Jaya (1978), Sulawesi Utara (1985), Sulawesi Selatan (1985), dan Bengkulu (1989). Kedua, lembaga pengelola zakat yang didirikan oleh BUMN seperti BAMUIS BNI (1968), LAZ YAUMIL PT Bontang LNG (1986), dan Baitul Maal Pupuk Kujang (1994). Ketiga, lembaga pengelola zakat yang didirikan oleh masyarakat sipil seperti Yayasan Dana Sosial Al Falah (1987), Dompet Dhuafa Republika (1993), Rumah Zakat Indonesia (1998), dan Pos Keadilan Peduli Ummat (1999).

Zakat di Indonesia mengalami kebangkitan di tangan masyarakat sipil pada tahun 1990-an. Era ini kemudian dikenal menjadi era pengelolaan zakat secara profesional-modern berbasis prinsip-prinsip manajemen dan tata kelola organisasi yang baik. Sejak era inilah kemudian potensi zakat di Indonesia mulai tergali dengan dampak yang semakin signifikan dan meluas.

Titik balik terpenting dunia zakat Indonesia terjadi pada tahun 1999. Sejak tahun 1999, zakat secara resmi masuk ke dalam ranah hukum positif di Indonesia dengan keluarnya UU No 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat. Berdasarkan UU ini, zakat dapat dikelola baik oleh lembaga amil bentukan pemerintah yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) maupun oleh lembaga amil bentukan masyarakat yaitu Lembaga Amil Zakat (LAZ). Di satu sisi, UU ini mengatur adanya sanksi bagi lembaga amil yang tidak amanah walau tidak jelas implementasi-nya karena ketiadaan regulasi operasional dari UU ini. Di sisi lain, UU ini tidak mengatur adanya sanksi bagi wajib zakat yang lalai, dengan kata lain UU menetapkan bahwa pembayaran zakat bersifat sukarela. Meski demikian, UU ini telah merintis upaya pemberian insentif bagi wajib zakat dengan menjadikan zakat sebagai pengurang pajak.

Sejak keluarnya UU ini, lembaga-lembaga amil tumbuh bak cendawan di musim hujan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Hingga kini setidaknya terdapat BAZNAS dan 18 LAZ tingkat nasional, 33 BAZ tingkat provinsi, dan 429 BAZ tingkat kabupaten/kota. Belum lagi bila kita perhitungkan LAZ tingkat daerah, 4.771 BAZ tingkat kecamatan, Unit Pengumpul Zakat (UPZ) hingga amil-amil tradisional-individual berbasis masjid dan pesantren.

Bagaimana dengan regulasi zakat baru, UU no. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat? Sayangnya UU ini menuai deras kritikan semenjak pengesahan oleh parlemen. Dalam pengalaman IMZ mengelola diskusi publik untuk mengevaluasi UU ini, yang muncul adalah penolakan, niat uji materiil, hingga tantangan melakukan pembangkangan publik (public disobedience) atas pemberlakuan UU ini[4].

UU ini memang memicu kontroversi dari awal pembahasan. Kontroversi pertama muncul ketika akhir Juli 2010 lembaga zakat berbasis pemerintah mengirimkan petisi tanda tangan penolakan atas draft awal UUPZ yang menegasikan BAZ. Petisi yang menandaskan bahwa eksistensi BAZ tidak boleh dihilangkan, meski atas sebuah nama sekalipun. Kontroversi kedua mencuat ketika proses pembahasan ini lengah dari pemantauan banyak pihak. Proses pembahasan yang relatif singkat dan serba tertutup ini pun membuat luputnya pelbagai substansi sentral. Maka tak heran alih-alih berbicara strategi pengembangan zakat bagi pengentasan kemiskinan, UU ini justru lebih banyak mengupas persoalan teknis administratif.

Rendahnya partisipasi publik selama proses penyusunan memunculkan kontroversi ketiga, penolakan dari beberapa elemen komunitas zakat atas UUPZ ini. Saya katakan beberapa karena toh ada yang berpendapat menerima UUPZ sebagai satu alat untuk memperbaiki tata kelola zakat Indonesia, apapun kekurangannya. Sementara pihak berlawanan menolak menandaskan bahwa UUPZ ini berpotensi merevolusi pola pengelolaan zakat Indonesia dari basis komunal-masyarakat menjadi pola profesional-kelembagaan.

Jika sebelumnya diferensiasi lembaga zakat dapat diklasifikasikan menjadi 3 jenis pola, yaitu (1) lembaga berbasis pemerintah, (2) berbasis massa (mengambang), dan (3) berbasis ormas keanggotaan. Maka UUPZ telah mengubah diferensiasi itu menjadi dua kubu saja, kubu menolak dan kubu mendukung UUPZ! Kabar baik atau buruk? Sila anda nilai sendiri, yang jelas ada saja pihak yang senang antar pegiat zakat saling tunjuk hidung. Dalam bahasa seniman Rene Gusconny dan Albert Uderzo, Le Grand Fossé!

***

Saya tunda sejenak soal karut marut regulasi. Saya akan hantarkan selintas mengenai kinerja zakat dalam pengentasan kemiskinan yang telah dilakukan IMZ pada 2011 silam, yang akan menjadi bahan publikasi pada Indonesia Zakat and Development Report 2012[5].

Tabel 1
Analisa Kemiskinan Umum[6]

Indeks Kemiskinan
Tanpa Zakat
Dengan Zakat
Prosentase Perubahan
Headcount index
0,220
0,173
21,11
Poverty Gap (Rp)
326.501,01
318.846,15
2,34
Income Gap
0,247
0,235
4,84
Sen
0,089
0,067
25,22
FGT
0,020
0,014
30,14
      
Insiden Kemiskinan
Pada Tabel di atas. nilai indeks headcount sebesar 0,22 yang bermakna dari seluruh penerima zakat (mustahik) yang diamati, 22 persennya dikategorikan miskin berdasarkan kriteria BPS, sedangkan 78 persen tidak dikategorikan miskin menurut kriteria BPS. Kecilnya persentase rumah tangga miskin tersebut bukan berarti bahwa kinerja OPZ buruk dalam penyaluran dana zakat. Melainkan, lebih karena garis kemiskinan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu garis kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS lebih rendah dibandingkan dengan standar nishab yang selama ini dijadikan sebagai batas pembeda antara muzakki dan mustahik. Karena nilai indeks headcount sangat bergantung pada garis kemiskinan maka penggunaan garis kemiskinan yang berbeda dapat menghasilkan persentase RTM yang berbeda pula.

Selain itu, penentuan penerima manfaat zakat (beneficiaries) tidak hanya didasarkan pada garis kemiskinan tetapi juga karakteristik lainnya dan dapat berbeda untuk tiap program seperti bantuan modal yang dapat berbeda kriteria kelayakannya dengan bantuan karitatif. Penggunaan garis kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS dalam penelitian ini selain dimaksudkan untuk menyeragamkan dan menyederhanakan pengukuran, juga dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan garis kemiskinan yang dipakai dan dipublikasikan oleh pemerintah.

Setelah pendistribusian zakat, nilai indeks headcount turun dari 0,220 menjadi 0,173. Dengan kata lain, persentase rumah tangga miskin berkurang sebesar 4,7 poin atau persentase perubahannya 21,11 persen. Penurunan persentase jumlah rumah tangga miskin tersebut mengindikasikan dampak program zakat yang dilakukan OPZ sangat signifikan dalam menurunkan jumlah rumah tangga miskin.

Kedalaman Kemiskinan
Jurang kemiskinan dan kisaran biaya yang diperlukan untuk menutupinya ditunjukkan oleh indeks income gap (I) dan poverty gap (P1). Tanpa zakat nilai indeks income gap sebesar 0,247 dan setelah distribusi zakat nilainya turun menjadi 0,235. Penurunan nilai indeks tersebut mengindikasikan bahwa rata-rata pendapatan (atau pengeluaran) rumah tangga miskin cenderung makin mendekati garis kemiskinan. Biaya pengentasan kemiskinan yang dibutuhkan juga berkurang dari Rp.326.501,01/rumah tangga/bulan menjadi Rp.318.846,15/rumah tangga/bulan dengan catatan tanpa biaya transaksi dan faktor penghambat (transfer sempurna).

Keparahan Kemiskinan
Penurunan indeks kedalaman kemiskinan diikuti dengan penurunan indeks keparahan kemiskinan. Indeks Sen mengalami penurunan dari 0,089 menjadi 0,067. Begitu pula dengan indeks FGT yang turun dari 0,020 menjadi 0,014. Dengan demikian, setelah pendistribusian zakat ketimpangan pendapatan (atau pengeluaran) di antara rumah tangga miskin semakin rendah.

Berdasarkan ketiga indeks kemiskinan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa secara umum zakat memiliki implikasi positif dalam mengurangi beban kemiskinan seperti mengurangi jumlah rumah tangga miskin, tingkat kedalaman kemiskinan dan tingkat keparahan kemiskinan. Pada Tabel selanjutnya dilakukan perbandingan prosentase penurunan indeks kemiskinan antara kinerja zakat tahun 2009/2010 dengan kinerja saat ini.

Tabel 2
Perbandingan Kinerja Zakat
Indeks Kemiskinan
Prosentase Penurunan 2009/2010
Prosentase Penurunan 2010/2011[7]
Pertumbuhan
(%)
H
10,79
21,11
95,64
I
4,69
4,85
3,41
P2
12,12
25,22
108,08
P3
15,97
30,14
88,73

Pada Tabel 2 seluruh indeks mengalami pertumbuhan positif baik dari segi jumlah rumah tangga miskin, kedalaman kemiskinan, dan keparahan kemiskinan. Perlu diingat bahwa persentase penurunan tahun 2010/2011 yang tinggi tersebut berasal dari perubahan indeks kemiskinan yang nilainya rendah.

Tabel 3
Perbandingan Kinerja Zakat

Indeks Kemiskinan
Prosentase Penurunan 2009/2010
Prosentase Penurunan 2010/2011[8]
Pertumbuhan
(%)
H
10,79
17,857
65,52
P1 (Rp)
4,69
4,64
-1,07
I
4,69
7,427
58,36
P2
12,12
20,64
70,30
P3
15,97
29,23
83,03

Bila diperbandingkan pada cakupan wilayah yang sama yaitu Jabodetabek, maka pertumbuhan tiap indeks terlihat pada Tabel 2.4. Sama halnya dengan seluruh cakupan wilayah, saat dibandingkan dengan hasil Jabodetabek, seluruh indeks mengalami pertumbuhan positif dibandingkan ukuran indeks kemiskinan tahun 2009/2010.

Analisa Time Taken to Exit
Ketika membahas mengenai kemiskinan, salah satu pertanyaan penting adalah berapa lama waktu yang diperlukan untuk mengentaskan kemiskinan? Sebuah intervensi sosial bagi masyarakat miskin dengan tujuan membebaskan mereka dari kemiskinan tentunya membutuhkan waktu yang tidak instan. Pertumbuhan ekonomi memiliki peran dalam mewujudkannya. Akan tetapi, hal pokok yang menentukan adalah bukan tingginya pertumbuhan ekonomi namun besarnya perolehan pertumbuhan ekonomi yang diterima oleh masyarakat miskin.





Grafik 1. Rata-rata Waktu Pengentasan Kemiskinan

Berdasarkan hasil analisis dengan asumsi tingkat pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan terdistribusi normal pada seluruh masyarakat miskin, diperlukan waktu selama 7 tahun untuk mengentaskan kemiskinan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang dinikmati keluarga miskin hanya 1 persen setiap tahunnya. Akan tetapi, setelah pendistribusian zakat dilakukan di pulau Jawa, waktu pengentasan tersebut mampu dipersingkat dari 7 tahun menjadi 5,1 tahun.

Hasil analisis menunjukkan bahwa pendayagunaan zakat oleh Organisasi Pengelola Zakat berimplikasi positif dalam mengurangi beban kemiskinan. Secara umum persentase rumah tangga miskin (penerima zakat) mengalami penurunan sebesar 21,11 persen. Persentase penurunan tingkat kemiskinan di periode 2010/2011 ini lebih tinggi dibandingkan periode sebelumnya. Tidak hanya jumlah rumah tangga miskin yang berkurang, dimensi kemiskinan lainnya seperti tingkat kedalaman kemiskinan dan tingkat keparahan kemiskinan juga berhasil diturunkan. Selain itu, pendayagunaan zakat oleh OPZ mampu mempercepat pengentasan kemiskinan 1,9 tahun dari 7 tahun menjadi 5,1 tahun.

Capaian OPZ dalam mengurangi beban kemiskinan tersebut menjadikan zakat sebagai instrumen potensial membantu upaya pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan. Program pendayagunaan zakat oleh OPZ kini semakin kreatif dan mengarah pada pemberdayaan dan pengembangan masyarakat sehingga sinergi antara zakat dengan program pengentasan kemiskinan pemerintah menjadi mungkin dan menjanjikan untuk pencapaian hasil pengentasan kemiskinan yang lebih baik.


***


Kontroversi Regulasi
Hasil kajian empirik tersebut menunjukkan bahwa memang pengelolaan zakat di Indonesia telah menuju arah yang tepat. Tentu ini kabar gembira di tengah pergulatan dialektika terkait efektifitas UU zakat baru. Prestasi lembaga zakat, tanpa mendikotomikan BAZ vs LAZ, harus dipandang sebagai aset utama bangsa dalam pengentasan kemiskinan. Meminjam istilah Erie Sudewo, musuh BAZ dan LAZ adalah kemiskinan. Namun, keberadaan regulasi UUPZ ini berpotensi membuat kerja-kerja lembaga zakat menjadi impoten melalui birokratisasi pengelolaan via negara.

Setidaknya dalam pemantauan kami ada dua materi yang menjadi episentrum dialektika. Pertama adalah soal kewenangan monopolitik yang dimandatkan kepada BAZNAS sebagai koordinator, regulator, pengawas, dan pengumpul dana masyarakat pada saat bersamaan. Tentu ini menjadi persoalan serius manakala sebagai lembaga otoritatif yang mengoordinasikan kegiatan pengelolaan zakat di setiap tingkatan pada saat bersamaan bertindak sebagai pengumpul dana juga. Ada yang mengusulkan jalan tengah yaitu dengan membatasi kegiatan pengumpulan yang dilakukan BAZNAS/BAZDA pada lingkup pemerintah dan BUMN/BUMD saja. Tetapi akankah ini tidak berbenturan dengan lembaga zakat yang telah ada dan berkembang di BUMN/BUMD tersebut? Solusi cespleng perlu segera diberikan kelihatannya.

Perdebatan kedua berkutat pada persyaratan yang diberikan kepada LAZ, di mana lembaga zakat yang dinisiasi oleh masyarakat dibenturkan pada dua kewajiban, pertama diakui legalitasnya secara hukum, dan kedua mengubah bentuknya menjadi Organisasi Kemasyarakatan Islam. Jika tak mampu memenuhi satu dari dua syarat ini, maka lembaga zakat “diarahkan” untuk menjadi organisasi yang menginduk pada lembaga zakat yang telah resmi dan lulus uji-syarat UUPZ. Ini laiknya perdebatan di alam politik soal parliamentary threshold yang “memaksa” partai politik tak lolos ambang batas parlemen untuk bergabung dengan partai lain yang lolos. Soal merger tak sekedar bicara persoalan administratif belaka, tapi ada hambatan ideologis, keselarasan visi-misi organisasi, kepentingan kelompok, hingga dinamika dan budaya organisasi yang berbeda antar lembaga.

Maka, di tengah catatan prestatif lembaga zakat dalam pengentasan kemiskinan turut tersembunyi persoalan mendalam pasca pengesahan UUPZ. Dalam banyak hal, patut rasanya kita menyatakan UU ini telah membuat pelbagai pihak galau atau bahkan apatis dengan pola pengelolaan zakat ke depan yang sentralistik dan birokratis. Jalan tengah telah diusulkan: menyandarkan diri pada kualitas Peraturan Pemerintah atau melakukan uji materiil terhadap UU. Kedua hal itu bisa dilakukan. Yang tidak boleh dilakukan adalah berhenti memperbaiki diri melawan musuh kita bersama: kemiskinan.


[1] Peneliti Kebijakan pada IMZ [Encourage the Capacity for Social Changes]
[2] Jurgen Habermas menjelaskan ‘dunia publik’ sebagai dunia di mana setiap warga masyarakat dapat berinteraksi-diskusi tanpa sensor, berkumpul dan berserikat secara bebas, bebas dominasi, tanpa adanya pengaruh tekanan kekuasaan. Negara bukan lantas tanpa kuasa di dalamnya, tetapi justru ‘dunia publik’ ini bila tumbuh-berkembang mampu berlaku sebagai kekuatan tandingan dari negara. Suasana komunikatif ini sangat dimungkinkan tumbuh pada alam demokrasi substantif (Menuju Masyarakat Komunikatif, Hardiman, F. Budi, 1993, hal 128-129)
[3] Dikulik dari IZDR 2010: Arsitektur Zakat Indonesia dan catatan pribadi penulis
[4] Wacana ini cukup menggelitik saya. Pertama menguak pada diskusi terbatas yang dilakukan oleh IMZ pada medio November 2011 di Republika Meeting Room. Hal ini tidak terlepas dari keseriusan pemerintah dalam melakukan “pengaturan sistematis” bagi masyarakat dalam pengelolaan zakat. Dari lembaga zakat yang hadir, rata-rata datang dari daerah menyatakan akan melakukan uji materiil UUPZ sembari melakukan pembangkangan publik atas kandungan materi UUPZ yang dinilai diskriminatif dan menghambat ruang partisipasi masyarakat luas
[5]  Dalam proses penerbitan
[6] Pada analisis umum digunakan garis kemiskinan nasional sebesar Rp.253.016,-/kapita/bulan karena mencakup seluruh wilayah yang diteliti.
[7] cakupan wilayah tidak hanya Jabodetabek melainkan juga wilayah Padang, Kalimantan Timur, Yogyakarta, dan Surabaya

[8] cakupan wilayah terbatas pada Jabodetabek

Integrasi Zakat kedalam Keuangan Negara Untuk Mengeliminasi Pengangguran dan Program Welfare State


Prof. Dr. Bambang Setiaji
(Disampaikan pada Talk Show #IndonesiaBerzakat FoSEI UMS)

Aspirasi umat Islam dalam bidang ekonomi dewasa ini, dapat diringkas secara garis besar sebagai usaha untuk memandirikan ekonomi nasional dengan  alternatif di sisi moneter memperkuat peran Bank Syariah serta sistem keuangan,  dan di sisi fiskal  keinginan untuk mengintegrasikan zakat untuk mengeliminasi pengangguran dan mempercepat program welfare state

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa kemajuan ekonomi yang dutujukan untuk penciptaan lapangan kerja harus disertai biaya modal yang murah atau secara riel nol. Untuk menjalankan hal ini maka diperlukan sistem perbankan bersubsidi di mana pemerintah akan memberikan sebagian suku bunga. Supaya pengusaha menghadapi bunga riel nol, subsidi negara adalah sebesar suku bunga aktual dikurangi besar inflasi. Dengan sistem ini, penciptaan pengusaha dan penurunan pengangguran yang selama ini tidak pernah terselesaikan, diangkat menjadi program negara yang penting.

Sumbangan terpenting bank syariah bagi ekonomi nasional adalah sistem floating jasa deposan. Dengan sistem floating jasa deposan, di mana bagian deposan ditentukan kurang lebih fifty-fifty atas penghasilan bank, secara teoritik bank tidak bisa kolapse yang disebabkan oleh fluktuasi bunga yang menyebabkan negative spread. Dengan asumsi bank syariah memperoleh penghasilan dari memberi kredit industri, maka perolehan deposan sekitar setengah dari pendapatan bank tidak lain adalah mengkaitkan perolehan sektor keuangan atas dasar pertumbuhan di sektor riil. Efek inflatoir tidak terjadi sebagaimana sistem konvensional, ketika pemilik dana dipatok perolehan bunga tertentu.  Memperkuat perbankan syariah dari keseluhuan operasi perbankan nasional diduga akan memperkuat daya imune terhadap krisis.
Di sisi fiskal, zakat,  semula merupakan penerimaan negara yang dirintis oleh Nabi SAW dan dilembagakan oleh Khulafaurrasyidin. Zakat adalah pungutan negara dengan peruntukkan pasti (specific purpose tax), yaitu untuk 8 penerima yang keseluruhannya dapat dikatakan sebagai alat mengentaskan kemiskinan dan kefakiran/pengangguran.
             Program anti kemiskinan di negara maju dicakup dalam program welfare, negara yang commited disebut welfare state, program tersebut di Indonesia dan negara muslim umumnya masih  tertatih tatih, disebabkan oleh tekanan APBN. Dikaitkannya program anti kemiskinan dengan setiap pencabutan subsidi BBM pantas dicurigai sebagai program reaktif yang cenderung meredam, daripada program yang terencana dan utama. Kompensasi kemiskinan hasil pencabutan subsidi BBM juga dirasakan sebagai program yang tidak kontinyu. Dalam keadaan keuangan negara yang tertekan, terutama pos pengeluaran untuk membayar hutang dan subsidi yang dalam APBN 2005 mencapai seperempat dari total belanja negara, sehingga mengandalkan sumber pemasukan konvensional untuk membiayai program pengentasan kemiskinan tentulah kurang memadai, dalam arti kemiskinan sudah terlalu mendesak untuk menunggu kemampuan keuangan negara.  
Dalam keadaan demikian, pemerintah harus berupaya mangoptimalkan semua kemungkinan yang ada. Sistem ketata negaraan kita memungkinkan mengakselerasi program anti kemiskinan tersebut dengan mengoptimalkan zakat yang merupakan ajaran sentral Islam (rukun islam) yang dianut oleh mayoritas rakyat. UU perbankan syariah, UU haji, UU perkawinan, UU waris, UU pendidikan dan UU zakat itu sendiri  semuanya mencerminkan dual system yang  pada intinya mengakomodasi aspirasi umat.

Dari Akomodasi ke Pemeranan      

Jika dual system selama ini dilakukan sebagai akomodasi, maka ke depan perlu dilakukan pemeranan yang lebih konstruktif. Dual system yang intinya menyerap aspirasi Islam dalam bidang ekonomi ternyata bisa  diterima baik oleh masyarakat yang plural. Bank syariah misalnya tidak hanya diminati  dari kalangan muslim, terutama investasinya, banyak menarik bankir non muslim. 
Untuk tujuan pemeranan, ke depan, penyerapan Islam kedalam sistem ketata negaraan bertujuan yang lebih hakiki, yaitu memberikan kesejahteraan masyarakat sebagai salah satu missi negara. Dalam hal ini diajukan agar pengaturan zakat sebagaimana UU pengelolaan zakat yang ada yang diserahkan kepada lembaga di luar pemerintah kembali diinternalisasikan.
            Kewajiban zakat dalam msyarakat muslim semula adalah kewajiban kepada  negara dan menjadi sumber penerimaan negara yang pokok. Dengan titik temu praktek kenegaraan sebagaimana kita saksikan di Indonesia, kewajiban publik masyarakat  terpecah yaitu pajak-pajak yang bersifat sekular kepada pemerintah, dan zakat yang bersifat suci kepada organisasi Islam. Ternyata kedua kewajiban tersebut tidak optimal. Sebagian memiliki kesadaran tinggi membayar zakat tetapi tidak sadar pajak, ada yang memiliki kesdaran pajak, tetapi tidak memiliki kesadaran zakat, dan banyak lagi  tidak memiliki kesadaran dua-duanya, yang terakhir adalah kelompok terbaik memiliki kesdaran kedua-duanya. Sayang, diduga yang terakhir ini masih rendah. Kesadaran kewajiban publik merupakan interaksi berbagai faktor budaya yang kompleks.
            Sistem integrasi ini diajukan tetap dengan menjunjung azas kebebasan beragama atau disebut sistem voluntary integrated  zakat dan pajak yang dikuasakan pemungutannya kepada negara, khususnya departemen keuangan. Masyarakat disodori form yang berisi pertanyaan apakah akan membayar zakat yang terintegrasi dengan pembayaran pajaknya. Dengan integrasi tersebut akan diperoleh keuntungan berikut.
Pertama, pungutan kepada masyarakat yang terintegrasi tersebut memudahkan pemerintah menentukan beban optimal (optimal burden). Jika  wajib pajak memilih atau mengisi pembayaraan zakat terintegratif hendaknya langsung mengurangi kewajiban pajaknya, jika keajiban pajak lebih besar. Akan tetapi jika komitmen pembayaran zakat  sudah lebih besar, maka pajak dihapuskan. Hal ini terjadi untuk kelompok menengah bawah. 
Kedua, integrasi  tidak menurunkan dana negara, bahkan penerimaan negara pasti akan meningkat, terutama yang diabayarkan oleh kelompok menengah bawah. Walaupun dana negara meningkat, dalamnya terdapat dana spesifik (spesific purpose tax) dari rakyat yang by law harus diperuntukkan kepada program pengentasan kemiskinan yang secara tranparan diumumkan dilembaran negara dan dipertanggung jawabkan di depan DPR.  Hal ini perlu ditekankan karena jika tidak ada hukum yang mengikat pemrintah dan DPR di berbagai level dimungkinkan mengalokasikan dana negara sesuai selera.
Ketiga, kemungkinan pemerintah akan mendapatkkan total penerimaan lebih tinggi, hal ini disebabkan oleh adanya cross check. Pembayar zakat umumnya jujur dalam menghitung penghasilan karena sifatnya yang elektif (tidak memaksa). Dengan mentranparansikan pembayaran zakat, maka pemerintah dapat mengefektifkan pajak.
Keempat, dengan memegang dana ''suci'' perilaku pejabat pemerintah diharapkan lebih dingin dalam memegang dan mengalokasikan uang negara yang bersifat ''panas'' dan menggoda.  Perilaku ini sangat tepat digarap bersamaan dengan program pemberantasan korupsi. Sangsi moral dan sosial, serta kontrol berbagai elemen masyarakat akan meningkat dengan memegang dana kemiskinan zakat.
Peran Organsasi Keagamaan
Gagasan integrasi tersebut mungkin akan ditentang oleh berbagai organisasi keagamaan, karena zakat merupakan sumber dana terpenting yang menopang organisasi keagamaan. Mereka tetap harus diakomodasi kedalam program penyaluran. Dalam form isian pajak dan zakat yang terintegrasi hendaknya ditulis partner penyaluran dana kemiskinan tersebut yaitu melalui birokrasi pemerintah sendiri, melalui MUI, NU, Muhammadiyah dan organisasi lain yang diakreditasi. Jika masyarakat memilih di luar daftar bisa memakai isian terbuka, atau mengisi tidak menyalurkan zakatnya lewat Departemen Keuangan dengan konsekuensi tidak memperoleh pengurangan pajak. Pemeluk agama lain bisa berpartisipasi dalam program pengentasan kemiskinan dengan pilihan isian yang sama, misalnya dengan mengisi partner penyaluran Gereja tertentu atau lembaga keagamaan yang lain.
Singkatnya organsasi keagamaan akan berperan dalam penyaluran sesuai dengan amanat undang-undang. Organisasi keagamaan yang mendaftar sebagai penyalur harus memenuhi syarat memiliki jaringan, badan hukum, adminstrasi dan sebagainya. Syarat lainnya adalah sanggup membuat laporan guna memenuhi  prinsip akuntabilitas dan transparansi. ¨Penerimaan organisasi keagamaan diduga akan meningkat, karena sistem ini akan memberi kesadaran membayar zakat yang meluas. Seluruh wajib pajak diduga akan mengisi zakat (tax base = zakat base) karena umunya wajib pajak  memiliki concern agar dana yang dibayarkan kepada pemerintah benar-benar sampai ke tangan orang miskin. Masyarakat yang kurang agamis pun lebih memilih dana yang disalurkan ke pemerintah sampai ke tangan rakyat.  Secara ekonomi rakyat yang menerima saluran akan memiliki daya beli kepada produk-produk dan akan menciptakan lingkungan sosial yang lebih baik. Hal ini tentu mendorong masyarakat yang tidak agamis pun memilih membayar zakat dalam komponen pajaknya.

Kebijakan Pengupahan, Kemiskinan, dan Zakat

Salah satu tujuan kebijakan pengupahan adalah untuk mengurangi tekanan kemiskinan yang dialami oleh buruh. Namun, alternatif kebijakan pengupahan nasional merupakan pilihan yang tidak mudah. Secara umum pemerintah terkendala oleh tujuan menciptakan pekerjaan melalui cara menarik investasi.
Pencapaian rasio upah terhadap nilai tambah sebelum dan sesudah krisis merosot, memperlihatkan beban buruh dalam memikul beban krisis. Tekanan kemiskinan makin  kuat ketika harga-harga barang swasta meningkat dicerminkan oleh rasio upah terhadap nilai tambah yang terlihat secara nasional menurun. Tambahan pula, pada era ekonomi yang makin liberal, harga barang barang publik yang semula diperoleh dengan biaya murah, kini makin meningkat. Tujuan peningkatan harga barang publik adalah supaya investasi kapitalis menjadi layak, pemerintah dapat absen dari ekonomi dan pemilik kapital dapat menggantikan peran mensuplai barang publik tersebut. Kebijakan harga pendidikan, harga kesehatan, biaya keadilan, biaya perumahan, air, dan listrik yang  makin meningkat tidak sejalan dengan kebijakan pengupahan untuk mengurangi tekanan kemiskinan. Singkat kata buruh makin terjepit.
Silih bergantinya pemerintah di Indonesia masih selalu gagal menfokuskan  diri pada empat  pilar kebijakan SDM utama yaitu, pendidikan, kesehatan (termasuk kecukupan makan), perumahan, dan kesejahteraan. Kebijakan SDM yang lebih komprehenship diperlukan dengan jalan menurunkan harga pendidikan, kesehatan, dan perumahan (kebijakan de-liberalisasi). Hal tersebut sangat membantu buruh melalui kebijakan upah nasional yang secara natural (kecenderungan pasar) cenderung rendah. Liberalisasi memukul buruh melalui dua jalan, pertama upah yang mengikuti pasar di negara dengan surplus tenaga kerja cenderung rendah. Harga barang kebutuhan dasar, seperti pangan, pendidikan, kesehatan, justru cenderung tinggi. Sebagai contoh, biaya pendidikan kita akhir-akhir ini sangat aneh ketika sekolah/perguruan tinggi negeri mengutip SPP yang lebih tinggi dari sekolah swasta.
Program kesejahteraan tenaga kerja yang meliputi hari tua, sakit, cacat, dan PHK dikelola oleh asuransi tenaga kerja (ASTEK). Klaim dari asuransi ini masih belum cukup untuk hidup minimal. Di negara maju dana program berasal dari APBN/ABPD bersumber dari payroll tax.  Dan tunjangan negara untuk kelompok sasaran cukup untuk hidup minimal sesuai dengan standardnya.
Semurah apapun harga-harga barang swasta dan barang publik dalam sistem pasar memungkinkan orang-orang terlempar dari persaingan, di mana sebagian orang menjadi menganggur, bangkrut, sakit, dan jatuh miskin. Program santunan fakir miskin diperlukan untuk menyertai sistem itu, sebagaimana juga dilakukan di negara-negara inti penganut sistem pasar. Jadi mengadopsi zakat kedalam sistem ekonomi dapat disamakan dengan menyediakan dokter dan tenaga kesehatan dalam pertandingan olah raga yang bermutu. Kemungkinan terlempar dari persaingan sangat tinggi.


Penutup

·         Zakat merupakan salah satu missi utama ajaran Islam karena masuk menjadi salah satu rukun Islam.
·         Missi utama zaat tidak lain adalah mengatasi kemiskinan (pekerja rendah dengan income yang tidak mencukupi) dan kefakiran (pengangguran= orang yang tidak memilikinincome, dan pensiunan = orang yang sudah tidak kuat lagi bejerja).
·         Di tangan swasta zakat sangat kecil, hanya sekitar 100 milyar sd 1 triliun per tahun.
·         Jika diintegrasikan dengan departemen keuangan, direktorat pajak, zakat pitensinya sekitar 300 triliun, atau seperempat sampai sepertiga dari pajak.
·         Zakat sangat berguna untuk mengakselerasi program kesejahteraan atau welfare state program.
·         Usualan konkritnya supaya zakat dipadukan dengan pajak di bawah menteri keuangan. Hal ini juga berguna untuk mensipitualkan negara yang cenderung sekuler atau pemisahan.



Diberdayakan oleh Blogger.

Text Widget

Sample Text

Jalan Jenderal Ahmad Yani, Surakarta 57162, Indonesia
Kampus 2 UMS (Universitas Muhammadiyah Surakarta)
Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB-UMS)

Followers

Stats

Didukung Oleh

Didukung Oleh

Link Blog

BTemplates.com

Popular Posts