I. PENDAHULUAN
Dalam kehidupan sehari-sehari, baik individu mauun masyarakat atau perusahaansecara keseluruhan akan menghadapi persoalan-persoalan yang bersifat ekonomi, yaitu persoalan yang menghendaki seseorang, suatu masyarakat atau perusahaan membuat suatu keputusan tentang car terbaru melakukan suatu kegiatan ekonomi
Didasari bahwa kebutuhan manusia itu tidak terbatas dan alat pemenuhan kebutuhan tidak terbatas. Dan hal ini membuat manusia melakukan tindakan ekonomi. Untuk memecahkan dan melakukan tindakan ekonomi, manusia melakukan tindakan dengan cara memilih beberapa altrnatif. Hal ini yang menjadi motif dari kegiatan yan disebut motif ekonomi.
Dalam pandangan ekonomi islam, kebutuhan manusia itu terbatas yang tak terbatas adalah keinginan. Sedangkan alat pemenuhan keinginan tak terbatas kerena Allah S.W.T telah menciptakan bumi dan seisinya untuk kepentingan dan kemanfaatan hidup manusia. Seorang muslim dalam melakukan suatu kegiatan akan didasarkan pada suatu kegiatan tidak hanya berdasarkan kepuasan saja, akan tetapi berorientasi untuk beribadah kepada Allah S.W.T
Orientasi beribadah kepada Allah S.W.T akan membuat permintaan dan penawaran dalam ekonomi islam akan lebih sempit karena ada batasan yaitu adanya nilai-nilai, filosofi kehidupan islam dan norma islam islam. Adanya batasan dalam melakukan tindakan eksploitasi sumber daya alam, tujuan dari aktifitas ekonomi adalah memnuhi kebutuhan adan untuk mencapai kesejahteraan
II. RUMUSAN MASALAH
Kami akan mencoba menguraikan tentang:
- Bagaimana teori permintaan dan penawaran
- Bagaimana permintaan dalam ekonomi isalam
- Bagaimana Penawaran Dalam Ekonomi Islam
Teori Pemintaan dan Penawaran
Teori permintaan menerangkan tentang ciri hubungan antara jumlah permintaan dan harga. Hukum ppemintaan berbunyi pada harga yang lebih tinggi, jumlah barang yang diminta akan semakin berkurang, atau sebaliknya pada harga yang lebih rendah, jumlah barang yang semakin diminta akan semakin bertambah.[1] Ini dapat disimpulkan bahwa jumlah yang diminta berhubungan terbalik dengan harga barang tersebut dengan anggapan bahwa hal-hal lain konstan pada kemungkinan harga. Ada hal lain penting yang mempengaruhi permintaan, yaitu pendapatan, permintaan seseorang atau masyarakat ditentukan leh banyak faktor, diantara fakto – faktor tersebut adalah:
Harga barang itu sendiri
- Harga barang lain yang berkaitan erat dengan barang tersebut.
- Pendapatan ruma tangga dan pendapatan rata – rata masyarakat.
- Corak distribusi pendapatan dalam masyarakat.
- Cita rasa masyarakat.
- Jumlah penduduk.
- Ramalan mengenai keadaan dimasa akan dating.[2]
Faktor – faktor penentu penawaran adalah:
- Harga barang itu sendiri.
- Harga barang – barang lain.
- Biaya produksi.
- Tujuan operasi perusahaan tersebut.
- Tingkat teknologi yang digunakan.[3]
Sebuah kesepakat harga dapat terjadi apabila permintaan dan penawaran bertemu. Ada kemungkinan perubahan serentak permintaan dan penawaran yang dapat berlaku. Perubahan mungkin berlaku kea rah sama, yaitu sama – sama mengalami kenaikan tau sama – sama menurun. Tapi mungkin pula ia berlaku kearah bertentangan, misalnya permintaan turun tetapi penawaran bertambah, atau permintaan bertambah tetapi penawaran turun. Tiap – tiap perubahan tersebut akan menimbulkan akibat yang berbeda kepada perubahan harag dan jumlah barang yang diperjualbelikan.[4]
Permintaan Dalam Ekonomi Islam
Dalam pandangan Islam sebenarnya Islam telah mengatur segenap perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam perilaku konsumsi Islam terlah mengaturnya lewat Alqur’an dan Hadist supaya manusia dijauhkan sifat – sifat yang hina karena perilaku konsumsinya. Seorang muslim berkonsumsi didasarkan atas pertimbangan:
- Manusia tidak kuasa sepenuhnya mengatur detail permasalahan ekinomi masyarakat atau negara.
- Dalam konsep Islam kebutuhan yang membentuk pola konsumsi seorang muslim, dan dalam memenuhi kebutuhan seorang muslim tidak akan melakukan konsumsi secara berlebih – lebihan.
- Perilaku konsumsi seorang muslim diatur perannya sebagai makhluk sosial. Maka ada sikap menghormati dan menghargai.[5]
Untuk mengetahui tingkat kepuasan seorang muslim dapat diilustrasikan dalm bentuk nilai guna, yaitu nilai guna total (total utility) dan nilai guna marginal (marginal utility). Nilai guna total adalah jumlah kepuasan yang diperoleh dalam mengkonsumsi sejumlah barang tertentu, nilai guna marginal pertambahan atau pengurangan kepuasan akibat dari pertambahan atau pengurangan penggunaan suatu unit barang.
Hal yang ada diatas mengenai perilaku konsultan akan membentuk permintaan seorang muslim terhadap suatu barang. Dalam mengkonsumsi barang telah ada batasan-batasan yang ditentukan dalam konsep ekonomi islam
Penawaran Dalam Ilmu Ekonomi Konvensional
Dijelaskan bahwa penawaran berkorelasi positif terhadap harga (P). Ini berarti bahwa semakin tinggi suatu harga produk, semakin memberikan insentif kepada produsen untuk meningkatkan produksinya dan kemudian menawarkannya kepada konsumen yang membutuhkan. Sebaliknya, semakin rendah suatu harga produk, semakin berkurang insentif bagi produsen untuk memproduksi dan menawarkannya. Hal ini disebabkan karena makin rendah suatu harga, makin kecil suatu keuntungan atau malah timbul kerugian. Sebagai suatu agen ekonomi yang rasional, produsen akan memutuskan produksinya. Dengan demikian dapatlah digambarkan dalam sebuah diagram di mana sumbu vertikal adalah harga dan sumbu horizontal adalah jumlah produk yang ditawarkan kepada masyarakat bahwa kurva penawaran sebagai kurva yang naik ke kanan. Kedudukan kurva ini bisa berpindah atau bergeser bergantung kepada faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Di samping itu, ongkos produksi juga merupakan faktor penting dalam menentukan penawaran suatu produk. Ongkos produksi pada gilirannya ditentukan oleh harga dari faktor in put. Perubahan dalam harga-harga faktor input umumnya dikarenakan adanya perubahan dalam laju pajak dan subsidi. Sekalipun diasumsikan bahwa tidak terjadi perubahan dalam kebijakan fiskal pemerintah berkaitan dengan perpajakan atau subsidi, masih ada faktor lain yang sangat berperan dalam menentukan kedudukan penawaran dalam perekonomian konvensional. Kemajuan teknologi berperan sangat penting dalam mengurangi ongkos produksi karena perubahan dalam teknologi yang lebih maju memungkinkan dipakainya cara-cara produksi yang jauh lebih efisien dan tentu saja lebih murah dari pada sebelumnya.
Dengan demikian dapatlah diringkaskan bahwa aspek penawaran (Qs) dalam ekonomi konvensional ditentukan oleh beberapa variabel antara lain harga (P), ongkos produksi (C ), teknologi (T) dan faktor input (Pf), ceteris paribus. Secara matematis dapat diungkapkan dalam sebuah fungsi umum Qs = f (P, C, T, Pf). Sekalipun banyak faktor yang mempengaruhi tingkatan penawaran, dalam analisis ilmu ekonomi hanya menggunakan harga sebagai ukuran utama dalam membuat diagram penawaran.
Gambar 1 menunjukkan kurva penawaran
Penawaran dalam Ekonomi Islam
Secara umum tidak banyak perbedaan antara teori permintaan konvensional dengan Islami sejauh hal itu dikaitkan dengan variabel atau faktor yang turut berpengaruh terhadap posisi penawaran. Bahkan bentuk kurva secara umum pada hakekatnya sama. Satu aspek penting yang memberikan suatu perbedaan dalam pespektyif ini kemungkinan besara berasal dari landasan filosofi dan moralitas yang didasarkan pada premis nilai-nilai Islam. Yang pertama adalah bahwa Islam memandang manusia secara umum, apakah sebagai konsumen atau produsen, sebagai suatu objek yang terkait dengan nilai-nilai. Nilai-nilai yang paling pokok yang didorong oleh Islam dalam kehidupan perekonomian adalah kesederhanaan, tidak silau dengan gemerlapnya kenikmatan duniawi (zuhud) dan ekonomis (iqtishad). Inilah nilai-nilai yang seharusnya menjadi trend gaya hidup Islamic man. Yang kedua adalah norma-norma Islam yang selalu menemani kehidupan manusia yaitu halal dan haram. Produk-produk dan transaksi pertukaran barang dan jasa tunduk kepada norma ini. Hal-hal yang diharamkan atas manusia itu pada hakekatnya adalah barang-narang atau transaksi-transaksi yang berbahaya bagi diri mereka dan kemaslahatannya. Namun demikian, bahaya yang ditimbulkan itu tidak selalu dapat diketahui dan dideteksi oleh kemampuan indrawi atau akal manusia dalam jangka pendek. Sikap yang benar dalam menghadapi persoalan ini adalah kepatuhan kepada diktum disertai pencarian hikmah di balik itu.
Dengan kedua batasan ini maka lingkup produksi dan pada gilirannya adalah lingkup penawaran itu sendiri dalam ekonomi Islam menjadi lebih sempit dari pada yang dimiliki oleh ekonomi konvensional. Dengan demikian terdapat dua penyaringan (filtering) yang membuat wilayah penawaran (domain) dalam ekonomi Islam menyempit yaitu filosofi kehidupan Islam dan norma moral Islam.
Asumsi-Asumsi
Sekalipun jarang diungkapkan atau bahkan sengaja disembunyikan oleh buku-buku teks ekonomi konvensional, pada hakekatnya asumsi-asumsi tertentu telah berfungsi sebagai landasan bagi teori-teori mereka. Ketidakterusterangan dalam persoalan ini bisa saja dipicu oleh kepercayaan Barat bahwa apa yang menjadi nilai bagi mereka sebenarnya berlaku juga bagi masyarakat lain. Tokoh ekonom Barat yang paling egaliter semacam Gunnar Myrdal sekalipun masih menyimpan sikap etnosentris yang menganggap bahwa nilai-nilai yang menjadi pondasi kemajuan ekonomi Barat sebenarnya sangat asing bagi masyarakat Asia. Karena itulah perlu kiranya kita menjelaskan di sini bebarapa asumsi yang memiliki implikasi dalam aspek penawaran.
Pertama, homo economicus. Dalam ekonomi konvensional, para pelaku dan pemain ekonomi (economic agent) dipandang sebagai suatu makhluk ekonomi yang berusaha untuk melampiaskan keinginannya dengan cara apapun. Nafsu ingin memenuhi segala keinginannya dan cara yang dipakai untuk memenuhinya seringkali atau pada umumnya tidak dihubungkan secara langsung atau tidak langsung dengan norma moral, baik yang diambil dari ajaran agama maupun dari filsafat (etiket). Hal ini menimbulkan dorongan tanpa batas untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi terhadap sumber-sumber daya yang tersedia di alam bagi pemenuhi keinginan manusia. Selama usaha manusia dipertaruhkan untuk memenuhi keinginannya, mengejar keuntungan dalam teori penawaran, selama itu pula ia dianggap sebagau sebuah usaha yang baik. Hal ini menimbulkan pengurasan sumber daya alam yang tersedia sehingga berakibat pada terancamnya keseimbangan ekologi terutama bagi generasi mendatang.
Semua kreasi dan inovasi dipacu dan terus digenjot atas nama ekonomi. Padahal tidak semua barang atau jasa yang diproduksi tersebut penting untuk diciptakan bagi kepentingan manusia. Sebagian dari barang yang diproduksi itu pada hakekatnya suatu bentuk kemubaziran karena sebenarnya tidak perlu diproduksi atau sebenarnya ada barang lain yang menempati ranking lebih penting harus terlebih dahulu diproduksi. Hal ini mengakibatkan sistem perekonomian menjadi tidak dapat dikendalikan (unmanageable).
Dalam perspektif ekonomi Islam, manusia diinjeksi dengan norma moral Islam sehingga nafsu untuk memenuhi keinginannya tidak selalu dipenuhi. Demikian juga cara untuk memenuhi keinginan tersebut senantiasa dikaitkan dengan norma moral Islam yang sellau menemaninya ke mana saja dan di mana saja. Karena itu, semua barang dan jasa yang diproduksi dan ditawarkan ke pasar mencerminkan kebutuhan riil dan sesuai dengan tujuan syariah itu sendiri (maqoshidu syariah). Dalam perspektif ini tidak dimungkinkan produksi barang yang tidak berguna secara syar’i.
Kedua, rasionalitas. Asumsi kedua ini merupakan turunan dari asumsi yang pertama. Jika ilmu ekonomi konvensional melihat bahwa manusia adalah economic man yang selalu didorong untuk melampiaskan keinginannya dengan cara apapun, maka asumsi rasionalitas merupakan ruhnya yang mengilhami seluruh usahanya dalam rangka memenuhi keinginannya tersebut. Selama manusia menguras tenaga dan pikirannya untuk memenuhi keinginannya dengan cara apapun, ia adalah makhluk rasional. Ketika produsen berusaha memaksimalkan keuntungan an sich, dengan mengabaikan tanggung jawab sosial, ia adalah makhluk rasional dan tidak perlu dikhawatirkan. Begitu juga dengan konsumen yang ingin memaksimalkan nilai guna (utility) ketika membeli suatu produk, maka ia berjalan pada jalur rasionalitas dan hal itu secara ekonomi adalah baik.
Dalam perspektif ekonomi Islam, asumsi ini tetap menjadi acuan tetapi dengan beberapa catatan dan tambahan. Adanya injeksi norma moral Islam akan menjadi pelita bagi tiap-tiap agen ekonomi untuk bertindak rasional tetapi dalam kerangka nilai-nilai Islam. Gaya hidup sederhana, tidak berlebih-lebihan dalam memproduksi dan mengkonsumsi serta selalu memperhatikan batas halal dan haram merupakan rambu-rambu yang akan memberikan teguran kepada Islamic man.
Ketiga, netral terhadap nilai (value neutral). Asumsi ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari disiplin ilmu ekonomi konvensional yang dipandang sebagai disiplin positif. Tugas dari suatu disiplin yang positif adalah menggambarkan realitas atau suatu fenomena secara objektif tanpa ada unsur campur tangan dari pengamat. Di awal-awal perkembangan ilmu ekonomi menjadi suatu disiplin ilmiah, banyak pakarnya yang cenderung menjadikannya sebagai suatu ilmu positif dan eksak layaknya fisika atau kimia.
Sekalipun hingga sekarang terbukti bahwa ilmu ekonomi konvensional tidak selalu positif, tetapi buku-buku teks masih selalu alergi jika dikaitkan dengan moral terutama yang berasal dari nilai-nilai keagamaan. Gejala ini disebabkan karena sekulerisme dalam ilmu pengetahun telah mencapai akar-akarnya sehingga buah yang muncul dari ilmu pengetahun itu sudah terkena racun sekulerisme. Namun perlu dicatat bahwa asumsi netral terhadap nilai ini tidak selalu dapat dipertahankan. Umumnya dalam bidang ilmu mikro ekonomi akar netralitas ini begitu kuat dan menghujam, tetapi dalam makro ekonomi tidak demikian. Malahan kita dapat melihat bahwa semua tujuan-tujuan pokok dalam bidang makroekonomi pada hakekatnya adalah bermuatan nilai (value laden) misalnya tentang kesempatan kerja penuh (full employment), stabilitas nilai tukar dan harga dan lain-lain. Bahkan kebijakan pemerintah di hampir semua bidang tidak pernah terlepas dari nilai-nilai.
Adanya keterikatan kepada nilai dalam penawaran tidak menjadikan kinerja produksi dan penawaran dalam perspektif Islam kekurangan insentif. Dengan injeksi moral Islam justru membuka dan mempeluas horizon dan berfungsi mendorong agen ekonomi untuk berusaha dengan lebih baik dan efisien. Bagi mereka yang memahami Islam secara parsial dan tidak komprehensif merasa bahwa semua nilai-nilai ini hanya berfungsi sebagai hambatan dalam ekonomi dan pembangunan. Kesimpulan ini amat naif dan terkesan tergesa-gesa serta dilatarbelakangi oleh kebodohan..
IV. KESIMPULAN.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan :
- Motif dari aktivitas ekonomi, menurut ekonomi konvensional adalah karena adanya kebutuhan manusia dan adanya kelangkaan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan.
- Dalam ekonomi islam aktivitas ekonomi adalah bahwa manusia melakukan kegiatan untuk ibadah, sebagai wakil Alllah SWT di bumi, dan keyakinan bahwa Allah menciptakan bumi memang untuk kemaslahatan manusia.
- Hukum permintaan yaitu apabila harga tinggi, barang yang diminta akan menurun dan sebaliknya.
- Hukum penawaran makin tinggi harga suatu barang, semakin banyak barang akan ditawarkan dan sebaliknya.
- Dalam perspektif islam permintaan suatu barang harus didasari dengan sikap bahwa dalam mengkonsumsi barang untuk kepentingan ibadah kepada Alllah SWT, tingkat kepuasan konsumen bukan sedikit atau banyaknya barang yang dikonsumsi.
- Penawaran dalam ekonomi islam lebih menyempit dari ekonomi konvensional yaitu dengan adanya filosofi kehidupan islam dan norma moral islam.
V. PENUTUP.
Demikianlah makalah yang dapat kami buat, kami sadar makalah kami masih jauh dalam mencapai kesempurnaa. Maka kami meminta pada pembaca dan pada bapak dosen untuk memberikan kritik dan saran yang konstruktif demi perbaikan makalah kedepan, akhirnya semoga memberi manfaat pada kita semua. Amin..
VI. REFERENSI.
- Drs. Iswardono, Sp.MaA. Ekonomi Mikro. Amp Ykpn, Yogyakarta, 1989, hal 11
- Sadono sukirno, Pengantar teori mikro ekonomi, Grafino Persada Jakarta.2002 hal 76
- Ibid. hal 86
- Abdul Jalil M.Ei. Ilmu Ekonomi Islam seri buku Darus, STAIN Kudus, Kudus, 2005.
- Heri Soedarsono, Konsep Ekonomi Islam, Ekonisia, Yogyakarta 2002. hal 170
sumber
[1] Drs. Iswardono, Sp.MaA. Ekonomi Mikro. Amp Ykpn, Yogyakarta, 1989, hal 11
[2] ` Sadono sukirno, Pengantar teori mikro ekonomi, Grafino persada Jakarta.2002 hal 76
[3] Ibid. hal 86
[4] ibid
[5] Heri soedarsono, Konsep Ekonomi Islam ekosisia, yogyakarta 2002. hal 170
[6] Abdul Jalil M.Ei. Ilmu Ekonomi Islam seri buku Darus, STAIN Kudus, Kudus, 2005. hal 263