BULETIN KHUSUS BULAN APRIL : KOLOM OPINI oleh Septi Muryani (Anggota Departemen Litbang FoSEI FE UMS)
Tiap kali berkunjung ke kota-kota di Indonesia , apa yang dapat kita saksikan ketika melewati setiap ruas jalan-jalan utamanya? Mal-mal raksasa yang megahkah? Atau hotel berbintangnya yang mewah? Atau mungkin apartemen-apartemen super elit yang lantainya hanya boleh diinjak kaum borjuis saja karena harganya yang terlalu fantastis? Sesuai faktanya, ketiga jenis bangunan tersebut ada, bahkan semakin menjamur tiap tahunnya di setiap sudut kota di negara ini.
Benarkah Rakyat Indonesia Kaya?
Melihat fakta menjamurnya bangunan-bangunan elit nan megah di hampir setiap sudut kota , seakan-seakan kita disodori kenyataan tentang sebuah pencapaian keberhasilan ekonomi di negeri ini yaitu yang biasanya disebut “kemakmuran”. Kota metropolitan yang modern dengan hotel-hotel cantik dan berjajarnya mal-mal raksasa seakan memberi pencerahan bahwa perekonomian rakyat di negara ini semakin membaik. Perdagangan dan investasi terlihat maju jika melihat padatnya aktivitas di dalam gedung-gedung yang menjulang tinggi di pinggiran kota . Lalu siapa saja yang boleh menikmati semua fasilitas itu? Bolehkah pedagang sayur keliling membuka stand dengan gelaran tikar di hypermarket sebuah mall mewah? Bolehkah pedagang bakso dengan gerobaknya masuk ke pelataran apartemen padahal security yang bermata jeli selalu memeriksa tiap tamu asing yang masuk? Jawabannya tentu saja tidak boleh. Yang ada malah pengusiran yang mereka dapat karena pedagang kecil tentu saja tak mampu membayar sewa kios di mal-mal mewah dan hanya dianggap mengotori pemandangan di area apartemen elit.
Lalu milik siapakah sebenarnya semua kemewahan tersebut? Di saat seorang direktur perusahaan atau pejabat pemerintahan atau siapa saja yang berduit menikmati dinginnya AC dan empuknya kasur di dalam kamar hotel berbintang lima . Di saat wanita-wanita berlomba-lomba memenuhi troli belanjaannya dengan berbagai barang yang disukai di mal. Dan di saat anak-anak kecil dibiasakan dengan segala kemewahan hedonis itu. Di saat yang sama pula, seorang pengasuh anak-anak yatim piatu kebingungan mencari dana bagi anak asuhnya karena tak juga ada donatur yang mengulurkan tangan. Kawanan pedagang kaki lima memberontak karena kiosnya digusur untuk pembangunan pusat perbelanjaan. Dan pada saat yang sama pula komunitas pemulung rela mengais gunungan sampah di sebuah tempat pembuangan sampah di kompleks apartemen untuk mendapatkan kepingan rupiah.
Kurang tepat mengatakan rakyat Indonesia kaya. Bolehlah kita mengatakan rakyat Indonesia kaya yang sebagian, tapi tidak untuk sebagian yang lain. Ketimpangan kekayaan rakyat jelas terlihat bukan? Seakan kita menyaksikan secara langsung peringatan Allah ‘Azza wa Jalla dalam firmanNya :
“..…supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu….. (Al Hasyr : 7)”
Fakta di tengah kemodernan dimana banyak bertebaran simbol-simbol kekayaan seperti bangunan mewah sangat tidak tepat dijadikan satu-satunya indikator kekayaan negara ini. Saya menghargai upaya pengusaha mall, hotel mewah, ataupun pengelola apartemen elit karena sedikit banyak menyertakan kaum miskin sebagai buruh dalam bisnisnya. Tetapi, perlu dicermati kembali apakah manusiawi bila sebuah sekolah harus digusur demi berdirinya mal, tanah perkuburan direlokasi demi sebuah pusat perbelanjaan, masjid digusur untuk sebuah ruko, dan kios pedagang kaki lima dihancurkan karena tak mungkin berdiri sejajar dengan hotel atau mall mewah seakan menegaskan bahwa rakyat kecil tak boleh ikut dalam persaingan pencarian rezeki di negeri ini, hingga potret kemiskinan di balik bangunan-bangunan megah itu lambat laun tak dapat ditutupi lagi.
Adakah The Invisible Hands yang Pro Rakyat Miskin ?
Dalam konsep kapitalisme, istilah The Invisible Hands dipakai untuk menyebut pihak tertentu yang bermodal besar dalam perekonomian. Karena itulah mereka dapat mengendalikan kondisi perekonomian suatu negara padahal mereka bukan penentu kebijakan dalam perekonomian seperti halnya pemerintah. The Invisible Hands di atas jika dibayangkan tentu saja akan mempunyai watak sangat jahat, tamak, dan individualis. Pasalnya, kekayaan yang semestinya dibagi secara adil untuk kesejahteraan bersama hanya mau mereka kuasai sendiri, sementara yang lain dibiarkan miskin meski terkadang yang miskin tidak sadar bahwa ada pihak-pihak yang sengaja membuatnya jadi miskin. Lalu bisakah menjadi The Invisible Hands yang pro rakyat miskin? Jawabannya, bisa saja. Para pendahulu kita seperti sang Khalifah Abu Bakar As-sidiq r.a dan Umar Ibnul Khattab r.a meski di zaman sekarang kedudukan mereka setara bahkan lebih tinggi dari presiden, namun secara langsung mengambil posisi sebagai The Invisible Hands pula dalam perekonomian pada zaman itu. Abu Bakar As-sidiq r.a misalnya, dengan kerendahan hati dan kesadaran akan tanggung jawab beliau sebagai seorang khalifah, setiap pagi beliau meluangkan waktunya untuk datang ke sebuah gubuk wanita tua renta yang buta. Di sana beliau memeraskan susu dan membersihkan rumah si wanita buta tersebut. Sementara Umar Ibnul Khatab r.a di setiap malam ketika semua orang sedang terlena dalam tidurnya, beliau melakukan ronda dengan berkeliling kota Madinah untuk mencari rumah-rumah orang miskin yang penghuninya menangis karena kelaparan lalu membawakan makanan untuk mereka.
Rasulullah SAW dalam sabda beliau tentang keutamaan sedekah tanpa diketahui orang lain (secara diam-diam atau “ghaib”) menyebutkan :
“Seorang yang bersedekah dengan tangan kanannya, ia menyembunyikan amalnya itu sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya.” (HR. Bukhari No. 1421).
Angka kemiskinan memang tidak dapat ditekan secara langsung dari kegiatan sedekah atau semacamnya yang dilakukan setiap individu, namun upaya untuk menyalurkan bantuan moril maupun materiil kepada kaum miskin akan selalu dicatat oleh-Nya sebagai suatu usaha untuk membantu mereka yang membutuhkan. Meski hanya berperan sebagai “tangan-tangan gaib” yang tidak punya peranan apa-apa dalam perekonomian di suatu negara, namun jika tangan-tangan gaib pemberi sedekah dengan hatinya yang ikhlas ini semakin banyak jumlahnya di muka bumi, maka kekayaan rakyat pun niscaya akan terdistribusi secara adil dan merata. Bahkan, Rasulullah SAW di zaman dahulu tidak hanya berupaya untuk membantu kaum miskin saja, tetapi juga mencari cara bagaimana dapat mengubah nasib rakyatnya yang miskin menjadi berkecukupan. Terbukti, pada tahun ke-4 Hijriah, setelah beliau mewaqafkan tujuh lahan kebun kurmanya di Madinah untuk dimanfaatkan hasilnya oleh para dhuafa yang mengelolanya, diantara kaum dhuafa tersebut ada yang mampu membayar zakat mal pada tahun ke-9 Hijriah.
Lalu apakah harus menunggu rumusan kebijakan pemerintah untuk memberantas kemiskinan? Jika kita mempunyai kebesaran hati untuk mengambil peran-peran “ghaib” di tengah kemiskinan umat dengan bersedekah, maka marilah ber-fastabiqulkhoirot melakukan tindakan-tindakan “ghaib” dalam artian membantu kaum mustad’afin di sekeliling kita dengan sembunyi-sembunyi tanpa diketahui orang lain.
Kesimpulan
Tingkat kemiskinan memang tidak dapat secara langsung ditekan oleh “tangan-tangan ghaib” yang pro rakyat miskin. Namun, semoga dengan lurusnya hati seseorang untuk besedekah, waqaf, maupun berzakat dan makin banyak yang menyembunyikan amalannya dalam membantu kaum dhuafa, maka bukan tidak mungkin jumlah penduduk miskin akan berkurang karena harta mulai beredar secara adil dan merata dalam masyarakat.
Wallohu a’lam Bishowab