“…… orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (QS.9/ At-Taubah: 34)
Bagi yang mau mencermati, krisis selalu megajarkan banyak hal. Termasuk krisis yang kita alami. Kita mafhum bahwa krisis ini diawali oleh krisi mata uang yang melanda Indonesia dan dunia. Namun apa boleh buat, karena struktur ekonomi kita memang rapuh, krisis pun mudah meluluhlantakkan bangunan ekonomi yang berpuluh-puluh tahun kita bangun.
Terus bagimanakah menurut pandangan Islam tentang uang itu seperti apa?
Uangan menurut Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun menegaskan bahwa kekayaan suatu Negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang di Negara tersebut, melainkan ditentukan oleh tingkat produksi Negara tersebut dan neraca pembayaran yang positif. Bisa saja suatu Negara mencetak uang sebanyak-banyaknya, tetapi bila hal itu bukan merupakan refleksi pesatnya pertumbuhan sector produksi, uang yang melimpah itu tiadak ada nilainya. Sector produksilah yang menjadi motor pembangunan, menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan pekerja, dan menimbulkan permintaan atas factor atas factor produksi lainya. Pendapat in menunjukan pula bahwa perdagangan internasional telah menjadi bahasan utama para ulama ketika itu. Negara yang telah meng-eksport berarti mempunyai kemampuan berproduksi lebih besar dari kebutuhan domsetiknya sekaligus menunjukan bahwa Negara tersebut lebih efesien dalam produksinya(Karim;2001).
Sejalan dengan pendapat al-Ghajali, Ibnu Khaldun juga menagtakan bahwa uang tidak perlu menagandung emas dan perak, tetapi emas dan perak menjadi standar nilai uang. Uang yang tidak menagndung emas dan perak merupakan jaminan pemerintah menetapkan nilainya. Karena itu, pemerintah tidak boleh mengubahnya (Muqaddimah, 1:407).
Pemerintah wajib menjaga nialai uang yang dicetaknya karena masyarakat menerimanya tidak lagi berdasarkan kandungan emas perak didalamnya. Katakanlah, pemerintah mengeluarkan uang nominal Rp10.000 yang setar denagn ½ gram emas. Bila kemudian pemerintah mengeluarkan nominal Rp10.000 seri baru dan ditetapkanya nilainya setara dengan ¼ gram emas, uang akan kehilangan makna sebagai standar nilai.
Oleh karma itu, Ibnu khaldun selain menyarankan digunakanya uang standar emas/perak, beliu juga menyarankan konstantanya harga emas dan perak (Muqaddimah, 2:274)
Dalam keadaan nilai yang tidak berubah, kenaikan harga atau penurunan harga atau penurunan semata-mata ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan. Setiap barang akan mempunyai harga keseimbangannya. Bial lebih banyak mekanan dari ang diperlukan di satu kota, harga makan menjadi murah. Demikian sebaliknya (Muqaddimah,2:240).
Uang menurut al-Ghazali
Abu Hamid al-Ghazali dalam kitabnya “Ihya Ulumuddin” yang ditulis pada awal abad ke-11 telah membahas fungsi uang dalam perekonomian. Beliau menjelaskan, bahwa ada kalanya seseorang mempunyai sesuatu yang tidak dibutuhkannya dan membutuhkan sesuatu yang tidak dimilikinya. Dalam ekonomi barter, transaksi hanya terjadi jika kedua pihak mempunyai dua kebutuhan sekaligus, yakni pihak pertama membutuhkan barang pihak kedua dan sebaliknya pihak kedua membutuhkan barang pihak pertama, misalnya seseorang mempunyai onta dan membutuhkan kain.
Menurut al-Ghazali, walaupun dalam ekonomi barter, dibutuhkan suatu alat pengukur nilai yang disebut sebagai “uang”. Sebagaimana contoh di atas, misalnya nilai onta adalah 100 dinar dan kain senilai 1 dinar. Dengan adanya uang sebagai alat pengukur nilai, maka uang akan berfungsi sebagai media penukaran.
Namun demikian, uang tidak dibutuhkan untuk uang itu sendiri, artinya uang diciptakan untuk memperlancar pertukaran dan menetapkan nilai yang wajar dari pertukaran tersebut. Menurut al-Ghazali, uang diibaratkan cermin yang tidak mempunyai warna, tetapi dapat merefleksikan semua warna, yang maksudnya adalah uang tidak mempunyai harga, tetapi merefleksikan harga semua barang, atau dalam istilah ekonomi klasik disebutkan bahwa uang tidak memberikan kegunaan langsung (direct utility function), yang artinya adalah jika uang digunakan untuk membeli barang, maka barang itu yang akan memberikan kegunaan.
Mata uang Khalifah
Dalam sejarah perekonomian Islam, uang sebagai alat pertukaran dan pengukur nilai tersebut, telah dicetak sejak zaman Khalifah Umar dan Utsman, bahkan salah satu mata uang yang dicetak pada masa Khalifah Ali masih tersimpan dalam sebuah museum di Paris. Hal ini menunjukkan bahwa dunia Islam telah mengenal mata uang jauh sebelum Adam Smith, Bapak Ekonomi Konvensional, menulis buku “The Wealth of Nations” pada tahun 1766.
Pada zaman abdul Malik (76 H), pemerintah mendirikan tempat percetakan uang, antara lain di dara’bjarb, Suq Ahwaz, Sus, jay, Manadar, Maysan, Ray, Abarqubadh, dan mata uang khlifah dicetak secara terorganisasi dengan control pemerintah.
Nilai uang ditentukan oleh beratnya. Mata uang dinar mengandung emas 22 karat dan terdiri atas ½ dinar dan 1/3 dinar. Pecahan yang lebih kecil didapat denagn memotong mata uang. Imam Ali r.a misalnya, pernah membeli daging dengan memotong dua karat dari dinar (Abu Dawud). Dirham terdiri atas pecahan nash (20 dirham, nawat (liam dirham, dan sha’ira (1/60 dirham).
Nilai tukar dinar-drham relative stabil pada jangka waktu yang panjang deangan kurs dinar-dirham 1:10. pada saat itu, perbandingan emas-perak adalah 1:7 sehingga satu dinar 20 karat setera dengan sepuluh dinar 14 karat. Reformasi moneter pernah dilakukan oleh Abdul Malik, yaitu dirham diubah menjadi 15 karat dan pada saat yang sama dinar dikurangi berat emasnya dari 4,55 menjadi 4,25 gram. Di Zaman Ibnu faqih (2890, nilai dianr mengat menjadi 1:17, namun kemudian stabil pada kurs 1;15.
Setelah reformasi moneter Abdul Malik, ukuran-ukuran nilai adalah: satu dinar 4,25 gram, satu dirham 3,98 gram, satu uqiyya 40 dirham, satu mitsqal 22 karat. Satu ritl (liter) setara 12 mitsqal, satu qist 8 ritl setara setengah sa’, satu qafiz 6 sa’ setara seoerempat artaba, satu wasq 60 sa’,satu 4 qafiz.
Pandangan uang menurut Ibnu Tamiyah
Namun sebenarnya, dampak tersebut sudah diingatkan oleh Ibnu Tamiyah yang lahir di zaman pemerintahan Bani Mamluk tahun 1263. Ibnu Tamiyah dalam kitabnya “Majmu’ Fatwa Syaikhul Islam” menyampaikan lima butir peringatan penting mengenai uang sebagai komoditi, yakni :. Pertama, perdagangan uang akan memicu inflasi. Kedua, hilangnya kepercayaan orang akan stabilitas nilai uang akan mencegah orang melakukan kontrak jangka panjag dan mendzalimi golongan masyarakat yang berpenghasilan tetap seperti pegawai. Ketiga, perdagangan domestic akan menurun karena kekhawatiran stabilitas nilai uang. Keempat, perdagangan internasional akan menurun. Kelima, logam berharga akan mengalir keluar dari Negara.
Bagaimanakah Keberdaan Uang Saat Ini?
Menurut konsep ekonomi Syariah, uang adalah uang, bukan capital, sementara dalam konsep ekonomi konvensional, konsep uang tidak begitu jelas, misalnya dalam buku “Money, Interest and Capital” karya Colin Rogers, uang diartikan sebagai uang dan capital secara bergantian, sedangkan dalam konsep ekonomi Syariah uang adalah sesuatu yang bersifat flow concept dan merupakan public goods, sedangkan capital bersifat stock concept dan merupakan private goods. Uang yang mengalir adalah public goods, sedangkan yang mengendap merupakan milik seseorang dan menjadi milik pribadi (private good).
Uang kertas menagandung unsur riba yaitu, Riba al-fadl adalah kelebihan (surplus) yang diperolehnya melalui pencetakan nominal uang di atas kertas, dengan angka harga yang ditetapkan itu jauh di atas nilai intrinsiknya (harga bendanya). Misalnya uang Rp.100.000,- biaya intrinsiknya Rp.266,-/lembar, maka kelebihannya adalah Rp.99.734. Inilah yang disebut riba tafadul (riba yang ditentukan) atau disebut Seigniorge. Dan riba an-nasiah terjadi karena penundaan pembayaran akhibat penimbunan uang (emas-perak) oleh bank sentral di setiap negara. Ini menyebabkan neraca kredit berjalan antar bilyet memaksa ditetapkannya bunga atas penundaan waktu untuk kliring, yang disebut jasa penyewaan uang atau interest. (Sumber: Dokumen Peruri & BI, Majalah Tempo, 25 Maret 2007).
Pertukaran uang kertas dengan berbagai barang dan jasa merupakan pertukaran sesuatu yang ghaib dengan sesuatu yang nyata. Uang kertas disebut ghaib karena pada hakikatnya uang kertas ini adalah banknote, yaitu surat janji (note) dari bank yang menerbitkannya dan disebut bilyet. Nota ini merupakan dayn atau utang, padahal utang pada bilyet (banknote) tersebut tidak jelas kepada siapa ditujukannya? Dan kapan dilunasinya?
Para ulam beriijtihad bahwa system mata uang emas dan perak adalah sistem mata uang yang benar. Syekh taqyuddin an-Nabhani (1996:298-300) memberikan beberapa alasan mengapa mata uang yang benar menurut Islam hanya emas: Pertama, ketika Islam melarang praktek penimbunan harta, Islam hanya mengkhususkan larangan tersebut untuk emas dan perak, padahal harta (mal) itu mencakup semua barang yang bisa dijadikan kekayaan. Kedua, Islam telah menagitkan emas dan perak denag hukum yang baku dan berubah-ubah. Ketiga, Rasulullah saw. Telah menetapkan emas dan perak sebagai uang dan beliu menjadikannya emas dan perak sebagai standar uang. Keempat, keika Allah SWT mewajibkan zakat uang, Allah telah mewajibkan zakat tersebut bdenag hisab emas dan perak. Kelima, hukum-hukum tentang pertukaran mata uang yang terjadi dalam transaksi uang hanya dilakukan dengan emas dan perak. Semua transaksi dalm bentuk finansial yang dinyatkan dalam Islam hanya dinyatakan dengan emas dan perak.
Atas dasar itu kita berkesimpulan bahwa mata uang yang ada dalam Islam adalah emas dan perak. Uang kertas yang ada saat ini bukanlah produk peradaban Islam. Karena itu, wajar apabila terjadi krisis dimana-mana. Uang kertas saat ini legal tender, yaitu janji pemerintah yang menggap bahwa itu adalh uang (Lawrence S. Ritter & Willian L.Silbri,ibid). jika suatu saat hokum menyatakan itu bukan uang, yang tertinggal hanyalah tumpukan kertas berwarna yang tidak mempunyai nilai apa-apa. Padahal uang adalah nilai tukar yang bisa pengganti posisi barang, bila suatu transaksi berhenti di tengah (uang belum sempat ditukar lagi denagn barang lain). Jika orang sedang memegangnya lalu datang pengumuman uang kertas berhenti sebagai alat tukar dan digantikan oleh beras, misalnya ia memiliki kertas yang tidak bernilai apa-apa. Selain itu, pemerintah yang bertanggung jawab menyediakan beras sekian banyak untuk menggantikan uang tersebut (mahmud Abu Saud, 1980).
Saya tidak menyarankan untuk berhenti untuk menggunakan uang kertas tetapi ini sebagai pengetahuan bahwa standar uang adalah emas dan perak, serta uang kertas bukan hasil peradaban Islam. Dari sini kita dukung keberadaan uang dinar dan dirham di Indonesia.