Alhamdulillah pada Musyawarah Nasional (MUNAS) FoSSEI yang ke 10 di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) FoSEI UMS mendapatkan masuk nominasi KSEI terbaik. Yang masuk sebagai nominasi KSEI terbaik adalah Universitas Riau, IAIN Sumatra Utara, Univeritas Gajah Mada, Universitas Muhammadiyah Surakarta, dan UIN Syarif Hidayatullah.
Pada periode sebelum KSEI terbaik dipegang oleh Sharia Economic Forum (SEF) UGM. Pada periode ini saat acara FoSSEI Award dipegang oleh Forum Studi Ekonomi Islam (FoSEI) UMS. Pada periode sebelum FoSEI UMS hanya masuk sebagai nominasi KSEI terbaik Alhamdulillah periode ini bisa masuk sebagai yang terbaik.
Semoga ini sebagai Muhasabah buat FoSEI untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada. Menyandang sebagai KSEI terbaik bukanlah sebuah kegembiraan semata. FoSEI harus bisa Istiqomah untuk mendakwahkan dan mengkaji EKonomi Islam.
Minggu, 15 Juli 2012
Jumat, 15 Juni 2012
PENATAAN ZAKAT DI INDONESIA
Oleh:
ERI SUDEWO[1]
(Disapampaikan dalam Talk Show #IndonesiaBerzakat FoSEI FE UMS)
Enam rangkaian tanggal tersebut, semua mengancik pada
perzakatan Indonesia. Dimensi zakat memang substansial. Menyangkut kepentingan
publik dan kebijakan negara dalam penanggulangan kemiskinan. Yang saat ini
masih jadi keputusan politik setengah hati. Dengan pola tradisional, dengan
ulangan jargon-jargon pembangunan. Yang entah, sampai kapan drama seri
kemiskinan ini bakal berakhir. Maka sadar atau tidak, bagi sekelompok kecil
itu, rangkaian peristiwa di atas merupakan langkah penataan zakat di Indonesia.
Sekecil apapun.
REGULATOR DAN PENGAWAS
Bicara sejarah, ada yang bilang UU 38
tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, invalid sejak lahir. Sebab pertama, UU
itu bukan bicara zakat. Yang disorot hanya lembaga pengelola. Kedua, tak ada
sanksi bagi ingkar muzaki (pembayar zakat). Ketiga zakat cuma jadi PPKP
(Pengurang Penghasilan Kena Pajak), bukan tax
deductable. Itupun hanya berlaku bagi PPh 21. Maka, apa manfaatnya bagi
masyarakat? Begitu sungut penggugat.
Regulasi zakat Indonesia, baik UU lama no. 38
tahun 1999 dan 23 tahun 2011 memang (terlalu) fokus
pada kelembagaan. Yang diangkat, terutama kedudukan BAZNAS dan BAZ (Badan Amil
Zakat) bentukan pemerintah. BAZNAS dengan NAS-nya, diharap jadi satu-satunya
lembaga yang berdaya jelajah nasional. Karena itu lahirnya BAZNAS disiasati
dengan SK Presiden. Sedang BAZ, dirancang tumbuh berjenjang (?)
Dari tingkat propinsi, kotamadya dan kabupaten, hingga kecamatan bahkan
kelurahan. Sedang LAZ (Lembaga Amil Zakat) yang nekat
lahir di masyarakat, tidak diatur khusus. LAZ hanya diakui, dikukuhkan dari
tingkat menteri hingga camat. Di sini LAZ cerdik bersikap. Pengukuhan tingkat
menteri, disikapi LAZ dengan beroperasi secara nasional. Harapan BAZNAS bisa
satu-satunya menasional, lacur tersaingi LAZ.
Di atas kertas, siapapun sepakat bahwa BAZNAS lembaga
besar. Tapi itu masih sebatas potensi. BAZNAS yang dibentuk Presiden, mustinya
lumrah punya peran strategis. Khususnya jadi payung seluruh BAZ maupun LAZ.
Wilayah BAZ dan LAZ ini, seluruhnya berada di level operator mikro. Namun 10
tahun lebih beroperasi, tampaknya belum ada panduan regulasi kebijakan dan
pengawasan. Terjadi kekosongan, yang belum jelas siapa yang harusnya berperan
di sini. Maka tak berlebihan, harusnya BAZNAS didorong mengambil peran tersebut.
Namun UU 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat
berharap lain. BAZNAS disodok untuk jadi lembaga pengelola terbesar, lebih
besar ketimbang BAZ dan LAZ. Karena itu ada beberapa hal yang perlu disimak.
Pertama posisi BAZNAS yang strategis otomatis dimentahkan UU. Dari harapan
regulator dan pengawas, dijungkal ke tingkat operator. Kedua untuk jadi lembaga
operator terbesar, apakah peran BAZ dan LAZ total diambil alih? Jika itu yang
dimaksud, muncul hal ketiga yang jadi lebih kompleks. Mengambil alih peran,
artinya mengulang pola sentralistik. BAZNAS pun tertuntut harus menata sistem
manajemen operasional, yang tiba-tiba meraksasa. Resikonya, jangan tanya. Satu
contoh, seperti apa orang pusat paham peta dan medan kemiskinan Indonesia. Maka
ini hal keempat yang dikhawatirkan. Dalam kondisi bad trust society, siapa bisa jamin sentralistik keuangan tidak
jadi sumber KKN baru.
Saat
BAZNAS sibuk menata organisasi model sentralistik, pro dan kontra tak bisa
dicegah. Teraduk-aduk dengan taruhan kepercayaan masyarakat dan kepentingan
publik. Alih-alih jadi baik, khawatirnya masyarakat malah makin tak percaya
pada kelembagaan tawaran pemerintah. Bukan hanya dana yang makin sulit
terhimpun, pemerintah pun makin berjarak dengan masyarakat. Akibatnya fatal. Di
satu sisi masyarakat punya alasan kuat, untuk kembali menjalankan tradisi
penyantunan. Yang di antara kebaikannya, juga malah melestarikan kemiskinan. Di
sisi lain, penataan zakat model kelembagaan terancam bubrah.
Di samping itu ada hal lain yang perlu disimak. Regulasi
zakat Indonesia bagi BAZNAS punya potensi destruktif bagi zakat Indonesia.
Yang jika dipadu, memposisikan BAZNAS punya peran lengkap. Sebagai regulator
dan pengawas, sekaligus jadi operator. Dalam wacana, pemusatan ini baik. Tapi manajemen punya
tuntutan logika praktis. Peran regulator dan pengawas, memang bisa dipisah
ataupun menyatu. Pilihan tergantung tujuan dan sikon. Namun menyatukan
regulator, pengawas dan operator dalam satu tubuh jelas gegabah. Tumpang tindih
wewenang dan tanggung jawab, bakal menimbulkan bencana.
DIREKTORAT ZAKAT
Saya kembali sedikit menerawang ke belakang, Di
2006 terjadi perubahan di Depag. Dirjen Zakat dan Wakaf dikukuhkan, membawahi
Direktorat Pengembangan Zakat dan Direktorat Pengembangan Wakaf. Pertanyaan pun
muncul. Posisi direktorat dimana? Sejak digagas, tentu peran regulator dan
pengawas bisa diusung. Namun BAZNAS yang juga dibentuk pemerintah, bagaimana?
Peran memang bisa dibagi. Regulasi dipegang direktorat, sedang BAZNAS
pengawasnya. Atau sebaliknya. Atau bersama BAZNAS menjalani peran regulator dan
pengawas.
Dalam temu tokoh di SMA Taruna Nusantara Magelang, 18
September 2006, Menteri Negara PAN, Taufiq Effendi, menegaskan, jumlah PNS akan
dirampingkan. Penambahan PNS harus dilakukan dengan ketat. Soalnya, bagaimana
dengan seleksi PNS amil di atas? Apakah juga telah dilakukan koordinasi?
Banyaknya PNS punya dua konsekuensi. Pertama tidak efisien. Kedua menambah
beban biaya operasional dan gaji. Padahal yang dikerjakan belum tentu sesuai
harapan. Di tahun 2009, Menteri Negara PAN menambahkan, jumlah pensiun bakal
mencapai 5 juta orang. Untuk bayar mereka menggunakan dana apa? Lantas dari mana dan bagaimana mendatangkannya?
Kembali pada soal zakat, siapa yang harus berperan
sebagai regulator dan pengawas? Pertanyaan ini juga jadi PR besar tim Teten
Kustiawan, yang tengah menyusun blueprint
zakat Indonesia. Tapi dalam diskusi di Litbang Depag, 14 September 2006,
pertanyaan itu dijawab tuntas. Bahkan dalam diskusi lanjutan di BAZNAS, 25
September 2006, Direktur Pengembangan Zakat, H. Tulus sepakat untuk bersama
BAZNAS konsentrasi
dalam regulasi kebijakan dan pengawasan. Bagi BAZNAS, ini angin segar. Untuk
segera menata diri, fokus pada pengembangan manajemen strategis. Termasuk
mereorganisasi dan rekrutmen SDM untuk jadi thinktank
zakat Indonesia.
ALTERNATIF KELEMBAGAAN
Sinerji dalam bisnis, yang entah berarti akuisi,
merger atau apapun, kini bukan hanya melanda perusahaan saja. Dalam dunia
per-NGO-an Indonesia, sinerji BAZNAS dan DD, 20 September, merupakan nomor
perdana. Gagasan ini mencuat saat PBB (Pusat Bahasa dan Budaya) UIN, Jakarta,
menggelar diskusi Filantrophi Islam, Agustus 2006. Inti gagasan, terpantik dari akumulasi
keresahan melihat kejumudan pengelolaan zakat. UU sudah dimiliki, namun tujuh
tahun berjalan pertumbuhan zakat tetap gradual dan kemiskinan makin kelam.
Maka ada UU atau tidak, dunia zakat Indonesia tak
bergeming. Yang berubah malah bersifat kontradiktif. Dari hari ke hari,
manajemen LAZ makin profesional. Namun mengapa kemiskinan juga makin massal dan
akut. Kontradiktif yang mustahil tapi sungguh terjadi. Gejala kontradiktif ini
mempertegas teori kemiskinan struktural. Bahwa kemiskinan tidak berdiri
sendiri. Karena kemiskinan lahir dimanapun dan dari manapun, maka kemiskinan
harus diberantas oleh siapapun. Maka kebijakan dan keputusan politik pemerintah
amat penting. Tanpa kebijakan yang jelas, sehebat apapun kerja BAZ dan LAZ,
hanya pemadam kebakaran. Apinya tak padam karena tersulut sana sini, sementara
lembaga pemadamnya makin profesional.
Sebelum sinerji BAZNAS DD, tergagas tiga usulan
kelembagaan zakat. Pertama, bentuk Kementerian Zakat dan Wakaf. Rancang
kementerian ini tak membebankan APBN. Agar ramping, efisien dan efektif,
pastikan kementerian ini non-departemen. Bayangkan, pemerintah Indonesia
sanggup membuat kementerian non-APBN. Terobosan yang bakal mengangkat citra
positif birokrat. Barangkali juga, ini langkah pertama di dunia. Ada
kementerian tidak dibiayai pemerintahnya. Kementerian ini pun bukan hanya
meringankan beban pemerintah, malah membantu mengatasi kemiskinan.
Usulan kedua, jika kementerian terlampau muluk,
turunkan jadi Dirjen Zakat. Karena Dirjen Zakat dan Wakaf sudah ada, pindahkan
ke departemen Keuangan, sejajar Dirjen Pajak. Bicara zakat bicara manajemen
keuangan. Dalam manajemen keuangan, yang dibutuhkan nahi mungkar. Bukan hanya amar
maruf, sekadar imbauan-imbauan tentang kebaikan. Jika hanya imbauan, kita
khawatir pengelolaan zakat akan terjebak di seputar tafsir zakat. Seperti juga
dirjen Pajak, tugas dirjen Zakat pull of
fund. Distribusi dan pengembang program penanggulangan kemiskinan,
diserahkan pada BAZ dan LAZ yang memenuhi kriteria.
Jika alternatif kedua juga sulit, maka bentuk Zakat
Indonesia (ZI). Ini lebih realistis karena naga-naganya BAZNAS sanggup
bertugas. ZI berperan bak BI. Sebagai
pusat regulasi kebijakan dan pengawasan. Yang diatur dan diawasi adalah BAZ dan
LAZ. Seperti di perbankan, BAZ merupakan bank pemerintah sedang LAZ banknya
swasta. ZI harus merancang standarisasi kelembagaan zakat, serta sertifikasi
amil sebagai profesi. Juga jangan abaikan adanya tuntutan, ZI musti menata
etika kepatuhan BAZ dan LAZ.
Tugas lain yang tak kalah berat, bisakah ZI berjuang
agar zakat jadi pengurang pajak. Jika Singapura dan Malaysia bisa, mengapa
Indonesia berkeberatan. Harusnya bisa karena dana itu toh tetap jatuh ke tangan
rakyat yang paling membutuhkan. Soalnya tinggal keputusan politik pemerintah.
Jika upaya ini sukses, ubah ZI jadi semacam Pusat Filantrophi Indonesia (PFI).
Mengapa? Karena PFI harus juga mengakomodir kebutuhan dana sosial lain dari
pihak manapun.
Sinerji
bukan hanya persoalan beberapa lembaga dan bukan hanya milik lembaga yang
bersinerji. Sinerji hari ini adalah penataan zakat Indonesia ke depan. Gagasan
sinerji memang sederhana. Namun menjalinnya apalagi jadi kekuatan solid, bukan
perkara sehari dua hari. Di sini terbukti, manajemen bukan hanya sejumlah kiat
untuk dipelajari, melainkan musti dipraktikkan. Di balik sinerji itu ada
persoalan besar yang telah melumat bangsa ini. ZISWAF (Zakat, Infak, Sedekah,
Wakaf dan Fidyah) sebagai cadangan modal telah diabaikan. Sedang orang miskin
makin massal dan akut. Penanggulangan kemiskinan tanpa ketegasan politik, hanya
sekadar jargon rutin tanpa visi yang terarah. Manajemen BAZ dan LAZ serta NGO
pun ibarat perusahaan. Profesional untuk dirinya, tapi tak berkutik dikerumunan
kemiskinan.
Jadi jangan lantas puas dan tersenyum karena dengan
sinerji soal pun dianggap selesai. Kemiskinan dan keadilan sosial, sekali lagi
bukan perkara manajemen-manajemenan. Juga bukan perkara saling klaim yang
paling berhak, paling jago dan paling besar. Ingat bangsa ini langka prestasi.
Karena kebijakan politik pun kerap memangkas partisipasi bottom up. Ingat pula, sinerji hanya upaya. Pemerintah yang “terima
bersih”, entah akan menggurat sejarah dengan rumusan keputusan politik apa. Tak
ada kebijakan yang tak punya pengaruh. Yang di babak akhirnya, entah sinerji
ini akan bergerak ke mana. Juga entah, sinerji ini akan melahirkan sosok
lembaga seperti apa.
Harap-harap
cemas terus menggelayuti dunia zakat Indonesia. Karena politik kita di samping tak jelas, juga selalu setengah
hati. Tak lagi berminat mengusung cita-cita welfare
state. Barangkali malu di “jaman gene”, masih ada yang bersikap sok heroik.
--o0o--
[1] Terlunta-lunta. Ke sana tak diterima, ke sini ditolak. Diam tak
kemana-mana juga diusir. SIAPA MAU TOLONGIN?
ZAKAT 101 Terawang Zakat Indonesia: Mematung di Simpang Jalan (?)
(Disampaikan pada Talk Show Indonesia Berzakat FoSEI UMS)
If Men were Angels, no government would be necesarry
(James Madison, Founding
Father of US Contitution)
Dalam banyak hal,
perubahan sifat perlakuan ini menyebabkan entitas dan kadar ketabuan itu
menjadi cair tak bersekat. Lalu tak lagi jadi tabu? Tidak juga, dalam banyak
kasus yang berubah bukalnkah kadar sakralitas dari entitas tersebut, tapi dari
bagaimana masyarakat memperlakukannya. Dalam bahasa sederhana, jika sebelumnya
sakralitas mengharuskan diskusi dilaksanakan pada ruang tertutup, berubah
menjadi diskursus publik yang partisipatif bagi setiap pihak. Zakat tak luput
dari gejala publik-asi ini.
Mari menyelami
sejarah zakat Indonesia.
Pengelolaan Zakat Indonesia[3]
Di
Indonesia, zakat sejak awal dikelola tanpa keterlibatan negara. Pada awal
kemerdekaan, serupa dengan kebijakan di era kolonial, pemerintah memilih posisi
tidak turut campur tangan pada pengelolaan zakat yang ada. Dengan demikian,
zakat dijalankan secara individual-tradisional, dengan ditopang dua institusi
keagamaan terpenting: masjid dan pesantren.
Di
era orde baru, secara umum, negara tetap mengambil jarak terhadap pengelolaan
zakat. Namun di era ini telah tumbuh kesadaran yang kuat untuk mengelola zakat
secara kolektif yang diindikasikan secara jelas dengan berdirinya berbagai
lembaga pengelola zakat. Di era ini muncul tiga jenis lembaga pengelola zakat. Pertama, lembaga pengelola zakat yang
didirikan oleh pemerintah daerah seperti DKI Jakarta (1968), Kalimantan Timur
(1972), Sumatera Barat (1973), Jawa Barat (1974), Sumatera Selatan (1975),
Lampung (1975), Irian Jaya (1978), Sulawesi Utara (1985), Sulawesi Selatan
(1985), dan Bengkulu (1989). Kedua,
lembaga pengelola zakat yang didirikan oleh BUMN seperti BAMUIS BNI (1968), LAZ
YAUMIL PT Bontang LNG (1986), dan Baitul Maal Pupuk Kujang (1994). Ketiga, lembaga pengelola zakat yang
didirikan oleh masyarakat sipil seperti Yayasan Dana Sosial Al Falah (1987),
Dompet Dhuafa Republika (1993), Rumah Zakat Indonesia (1998), dan Pos Keadilan
Peduli Ummat (1999).
Zakat
di Indonesia mengalami kebangkitan di tangan masyarakat sipil pada tahun
1990-an. Era ini
kemudian dikenal menjadi era pengelolaan zakat secara profesional-modern
berbasis prinsip-prinsip manajemen dan tata kelola organisasi yang baik. Sejak
era inilah kemudian potensi zakat di Indonesia mulai tergali dengan
dampak yang semakin signifikan dan meluas.
Titik
balik terpenting dunia zakat Indonesia terjadi pada tahun 1999. Sejak tahun
1999, zakat secara resmi masuk ke dalam ranah hukum positif di Indonesia
dengan keluarnya UU No 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat. Berdasarkan UU ini,
zakat dapat dikelola baik oleh lembaga amil bentukan pemerintah yaitu Badan
Amil Zakat (BAZ) maupun oleh lembaga amil bentukan masyarakat yaitu Lembaga
Amil Zakat (LAZ). Di satu sisi, UU ini mengatur adanya sanksi bagi lembaga amil
yang tidak amanah walau tidak jelas implementasi-nya karena ketiadaan regulasi
operasional dari UU ini. Di sisi lain, UU ini tidak mengatur adanya sanksi bagi
wajib zakat yang lalai, dengan kata lain UU menetapkan bahwa pembayaran zakat
bersifat sukarela. Meski demikian, UU ini telah merintis upaya pemberian
insentif bagi wajib zakat dengan menjadikan zakat sebagai pengurang pajak.
Sejak
keluarnya UU ini, lembaga-lembaga amil tumbuh bak cendawan di musim hujan, baik
di tingkat pusat maupun daerah. Hingga kini setidaknya terdapat BAZNAS dan 18 LAZ
tingkat nasional, 33 BAZ tingkat provinsi, dan 429 BAZ tingkat kabupaten/kota.
Belum lagi bila kita perhitungkan LAZ tingkat daerah, 4.771 BAZ tingkat
kecamatan, Unit Pengumpul Zakat (UPZ) hingga amil-amil tradisional-individual
berbasis masjid dan pesantren.
Bagaimana dengan
regulasi zakat baru, UU no. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat? Sayangnya
UU ini menuai deras kritikan semenjak pengesahan oleh parlemen. Dalam
pengalaman IMZ mengelola diskusi publik untuk mengevaluasi UU ini, yang muncul
adalah penolakan, niat uji materiil, hingga tantangan melakukan pembangkangan
publik (public disobedience) atas
pemberlakuan UU ini[4].
UU ini memang memicu kontroversi dari awal pembahasan. Kontroversi
pertama muncul ketika akhir Juli 2010 lembaga zakat berbasis pemerintah
mengirimkan petisi tanda tangan penolakan atas draft awal UUPZ yang menegasikan
BAZ. Petisi yang menandaskan bahwa eksistensi BAZ tidak boleh dihilangkan,
meski atas sebuah nama sekalipun. Kontroversi kedua mencuat ketika proses
pembahasan ini lengah dari pemantauan banyak pihak. Proses pembahasan yang
relatif singkat dan serba tertutup ini pun membuat luputnya pelbagai substansi
sentral. Maka tak heran alih-alih berbicara strategi pengembangan zakat bagi
pengentasan kemiskinan, UU ini justru lebih banyak mengupas persoalan teknis
administratif.
Rendahnya partisipasi publik selama proses penyusunan memunculkan
kontroversi ketiga, penolakan dari beberapa elemen komunitas zakat atas UUPZ
ini. Saya katakan beberapa karena toh ada
yang berpendapat menerima UUPZ sebagai satu alat untuk memperbaiki tata kelola
zakat Indonesia, apapun kekurangannya. Sementara pihak berlawanan menolak
menandaskan bahwa UUPZ ini berpotensi merevolusi pola pengelolaan zakat
Indonesia dari basis komunal-masyarakat menjadi pola profesional-kelembagaan.
Jika sebelumnya diferensiasi lembaga zakat dapat diklasifikasikan
menjadi 3 jenis pola, yaitu (1) lembaga berbasis pemerintah, (2) berbasis massa
(mengambang), dan (3) berbasis ormas keanggotaan. Maka UUPZ telah mengubah
diferensiasi itu menjadi dua kubu saja, kubu menolak dan kubu mendukung UUPZ!
Kabar baik atau buruk? Sila anda nilai sendiri, yang jelas ada saja pihak yang
senang antar pegiat zakat saling tunjuk hidung. Dalam bahasa seniman Rene
Gusconny dan Albert Uderzo, Le
Grand Fossé!
***
Saya tunda sejenak soal karut marut regulasi. Saya akan hantarkan selintas
mengenai kinerja zakat dalam pengentasan kemiskinan yang telah dilakukan IMZ
pada 2011 silam, yang akan menjadi bahan publikasi pada Indonesia Zakat and Development Report 2012[5].
Tabel 1
Analisa Kemiskinan Umum[6]
Indeks Kemiskinan
|
Tanpa Zakat
|
Dengan Zakat
|
Prosentase Perubahan
|
Headcount index
|
0,220
|
0,173
|
21,11
|
Poverty Gap (Rp)
|
326.501,01
|
318.846,15
|
2,34
|
Income Gap
|
0,247
|
0,235
|
4,84
|
Sen
|
0,089
|
0,067
|
25,22
|
FGT
|
0,020
|
0,014
|
30,14
|
Insiden
Kemiskinan
Pada Tabel di atas. nilai indeks headcount sebesar 0,22 yang bermakna dari seluruh penerima zakat (mustahik) yang diamati, 22 persennya
dikategorikan miskin berdasarkan kriteria BPS, sedangkan 78 persen tidak
dikategorikan miskin menurut kriteria BPS. Kecilnya persentase rumah tangga
miskin tersebut bukan berarti bahwa kinerja OPZ buruk dalam penyaluran dana zakat.
Melainkan, lebih karena garis kemiskinan yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu garis kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS lebih rendah dibandingkan
dengan standar nishab yang selama ini
dijadikan sebagai batas pembeda antara muzakki dan mustahik. Karena nilai
indeks headcount sangat bergantung
pada garis kemiskinan maka penggunaan garis kemiskinan yang berbeda dapat
menghasilkan persentase RTM yang berbeda pula.
Selain itu, penentuan penerima manfaat
zakat (beneficiaries) tidak hanya
didasarkan pada garis kemiskinan tetapi juga karakteristik lainnya dan dapat
berbeda untuk tiap program seperti bantuan modal yang dapat berbeda kriteria
kelayakannya dengan bantuan karitatif. Penggunaan garis kemiskinan yang
dikeluarkan oleh BPS dalam penelitian ini selain dimaksudkan untuk
menyeragamkan dan menyederhanakan pengukuran, juga dimaksudkan untuk
menyesuaikan dengan garis kemiskinan yang dipakai dan dipublikasikan oleh
pemerintah.
Setelah pendistribusian zakat, nilai
indeks headcount turun dari 0,220
menjadi 0,173. Dengan kata lain, persentase rumah tangga miskin berkurang
sebesar 4,7 poin atau persentase perubahannya 21,11 persen. Penurunan
persentase jumlah rumah tangga miskin tersebut mengindikasikan dampak program
zakat yang dilakukan OPZ sangat signifikan dalam menurunkan jumlah rumah tangga
miskin.
Kedalaman
Kemiskinan
Jurang kemiskinan dan kisaran biaya yang
diperlukan untuk menutupinya ditunjukkan oleh indeks income gap (I) dan poverty
gap (P1). Tanpa zakat nilai indeks income gap sebesar 0,247 dan setelah distribusi zakat nilainya
turun menjadi 0,235. Penurunan nilai indeks tersebut mengindikasikan bahwa
rata-rata pendapatan (atau pengeluaran) rumah tangga miskin cenderung makin
mendekati garis kemiskinan. Biaya pengentasan kemiskinan yang dibutuhkan juga
berkurang dari Rp.326.501,01/rumah tangga/bulan menjadi Rp.318.846,15/rumah
tangga/bulan dengan catatan tanpa biaya transaksi dan faktor penghambat
(transfer sempurna).
Keparahan
Kemiskinan
Penurunan indeks kedalaman kemiskinan
diikuti dengan penurunan indeks keparahan kemiskinan. Indeks Sen mengalami
penurunan dari 0,089 menjadi 0,067. Begitu pula dengan indeks FGT yang turun
dari 0,020 menjadi 0,014. Dengan demikian, setelah pendistribusian zakat
ketimpangan pendapatan (atau pengeluaran) di antara rumah tangga miskin semakin
rendah.
Berdasarkan ketiga indeks kemiskinan
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa secara umum zakat memiliki implikasi
positif dalam mengurangi beban kemiskinan seperti mengurangi jumlah rumah
tangga miskin, tingkat kedalaman kemiskinan dan tingkat keparahan kemiskinan.
Pada Tabel selanjutnya dilakukan
perbandingan prosentase penurunan indeks kemiskinan antara kinerja zakat tahun
2009/2010 dengan kinerja saat ini.
Tabel 2
Perbandingan Kinerja Zakat
Indeks
Kemiskinan
|
Prosentase
Penurunan 2009/2010
|
Prosentase
Penurunan 2010/2011[7]
|
Pertumbuhan
(%)
|
H
|
10,79
|
21,11
|
95,64
|
I
|
4,69
|
4,85
|
3,41
|
P2
|
12,12
|
25,22
|
108,08
|
P3
|
15,97
|
30,14
|
88,73
|
Pada
Tabel 2 seluruh indeks mengalami pertumbuhan positif baik dari segi jumlah
rumah tangga miskin, kedalaman kemiskinan, dan keparahan kemiskinan. Perlu
diingat bahwa persentase penurunan tahun 2010/2011 yang tinggi tersebut berasal
dari perubahan indeks kemiskinan yang nilainya rendah.
Tabel 3
Perbandingan Kinerja Zakat
Indeks
Kemiskinan
|
Prosentase
Penurunan 2009/2010
|
Prosentase
Penurunan 2010/2011[8]
|
Pertumbuhan
(%)
|
H
|
10,79
|
17,857
|
65,52
|
P1 (Rp)
|
4,69
|
4,64
|
-1,07
|
I
|
4,69
|
7,427
|
58,36
|
P2
|
12,12
|
20,64
|
70,30
|
P3
|
15,97
|
29,23
|
83,03
|
Bila
diperbandingkan pada cakupan wilayah yang sama yaitu Jabodetabek, maka
pertumbuhan tiap indeks terlihat pada Tabel 2.4. Sama halnya dengan seluruh
cakupan wilayah, saat dibandingkan dengan hasil Jabodetabek, seluruh indeks
mengalami pertumbuhan positif dibandingkan ukuran indeks kemiskinan tahun
2009/2010.
Analisa Time Taken to Exit
Ketika membahas mengenai kemiskinan,
salah satu pertanyaan penting adalah berapa lama waktu yang diperlukan untuk
mengentaskan kemiskinan? Sebuah intervensi sosial bagi masyarakat miskin dengan
tujuan membebaskan mereka dari kemiskinan tentunya membutuhkan waktu yang tidak
instan. Pertumbuhan ekonomi memiliki peran dalam mewujudkannya. Akan tetapi,
hal pokok yang menentukan adalah bukan tingginya pertumbuhan ekonomi namun
besarnya perolehan pertumbuhan ekonomi yang diterima oleh masyarakat miskin.
Grafik
1. Rata-rata Waktu Pengentasan Kemiskinan
Berdasarkan hasil analisis dengan asumsi
tingkat pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan terdistribusi normal pada seluruh
masyarakat miskin, diperlukan waktu selama 7 tahun untuk mengentaskan
kemiskinan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang dinikmati keluarga miskin
hanya 1 persen setiap tahunnya. Akan tetapi, setelah pendistribusian zakat
dilakukan di pulau Jawa, waktu pengentasan tersebut mampu dipersingkat dari 7
tahun menjadi 5,1 tahun.
Hasil
analisis menunjukkan bahwa pendayagunaan zakat oleh Organisasi Pengelola Zakat
berimplikasi positif dalam mengurangi beban kemiskinan. Secara umum persentase
rumah tangga miskin (penerima zakat) mengalami penurunan sebesar 21,11 persen.
Persentase penurunan tingkat kemiskinan di periode 2010/2011 ini lebih tinggi
dibandingkan periode sebelumnya. Tidak hanya jumlah rumah tangga miskin yang
berkurang, dimensi kemiskinan lainnya seperti tingkat kedalaman kemiskinan dan
tingkat keparahan kemiskinan juga berhasil diturunkan. Selain itu,
pendayagunaan zakat oleh OPZ mampu mempercepat pengentasan kemiskinan 1,9 tahun
dari 7 tahun menjadi 5,1 tahun.
Capaian
OPZ dalam mengurangi beban kemiskinan tersebut menjadikan zakat sebagai
instrumen potensial membantu upaya pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan.
Program pendayagunaan zakat oleh OPZ kini semakin kreatif dan mengarah pada
pemberdayaan dan pengembangan masyarakat sehingga sinergi antara zakat dengan
program pengentasan kemiskinan pemerintah menjadi mungkin dan menjanjikan untuk
pencapaian hasil pengentasan kemiskinan yang lebih baik.
***
Kontroversi Regulasi
Hasil kajian
empirik tersebut menunjukkan bahwa memang pengelolaan zakat di Indonesia telah
menuju arah yang tepat. Tentu ini kabar gembira di tengah pergulatan dialektika
terkait efektifitas UU zakat baru. Prestasi lembaga zakat, tanpa mendikotomikan
BAZ vs LAZ, harus dipandang sebagai aset utama bangsa dalam pengentasan
kemiskinan. Meminjam istilah Erie Sudewo, musuh BAZ dan LAZ adalah kemiskinan.
Namun, keberadaan regulasi UUPZ ini berpotensi membuat kerja-kerja lembaga
zakat menjadi impoten melalui birokratisasi pengelolaan via negara.
Setidaknya dalam pemantauan kami ada dua materi yang menjadi episentrum
dialektika. Pertama adalah soal kewenangan monopolitik yang dimandatkan kepada
BAZNAS sebagai koordinator, regulator, pengawas, dan pengumpul dana masyarakat
pada saat bersamaan. Tentu ini menjadi persoalan serius manakala sebagai
lembaga otoritatif yang mengoordinasikan kegiatan pengelolaan zakat di setiap tingkatan
pada saat bersamaan bertindak sebagai pengumpul dana juga. Ada yang mengusulkan
jalan tengah yaitu dengan membatasi kegiatan pengumpulan yang dilakukan
BAZNAS/BAZDA pada lingkup pemerintah dan BUMN/BUMD saja. Tetapi akankah ini
tidak berbenturan dengan lembaga zakat yang telah ada dan berkembang di
BUMN/BUMD tersebut? Solusi cespleng
perlu segera diberikan kelihatannya.
Perdebatan kedua berkutat pada persyaratan yang diberikan kepada LAZ, di
mana lembaga zakat yang dinisiasi oleh masyarakat dibenturkan pada dua
kewajiban, pertama diakui legalitasnya secara hukum, dan kedua mengubah
bentuknya menjadi Organisasi Kemasyarakatan Islam. Jika tak mampu memenuhi satu
dari dua syarat ini, maka lembaga zakat “diarahkan” untuk menjadi organisasi
yang menginduk pada lembaga zakat yang telah resmi dan lulus uji-syarat UUPZ.
Ini laiknya perdebatan di alam politik soal parliamentary
threshold yang “memaksa” partai politik tak lolos ambang batas parlemen
untuk bergabung dengan partai lain yang lolos. Soal merger tak sekedar bicara persoalan administratif belaka, tapi ada
hambatan ideologis, keselarasan visi-misi organisasi, kepentingan kelompok,
hingga dinamika dan budaya organisasi yang berbeda antar lembaga.
Maka, di tengah
catatan prestatif lembaga zakat dalam pengentasan kemiskinan turut tersembunyi
persoalan mendalam pasca pengesahan UUPZ. Dalam banyak hal, patut rasanya kita
menyatakan UU ini telah membuat pelbagai pihak galau atau bahkan apatis dengan
pola pengelolaan zakat ke depan yang sentralistik dan birokratis. Jalan tengah
telah diusulkan: menyandarkan diri pada kualitas Peraturan Pemerintah atau
melakukan uji materiil terhadap UU. Kedua hal itu bisa dilakukan. Yang tidak
boleh dilakukan adalah berhenti memperbaiki diri melawan musuh kita bersama:
kemiskinan.
[2]
Jurgen Habermas menjelaskan
‘dunia publik’ sebagai dunia di mana setiap warga masyarakat dapat berinteraksi-diskusi
tanpa sensor, berkumpul dan berserikat secara bebas, bebas dominasi, tanpa
adanya pengaruh tekanan kekuasaan. Negara bukan lantas tanpa kuasa di dalamnya,
tetapi justru ‘dunia publik’ ini bila tumbuh-berkembang mampu berlaku sebagai kekuatan
tandingan dari negara. Suasana komunikatif ini sangat dimungkinkan tumbuh pada
alam demokrasi substantif (Menuju
Masyarakat Komunikatif, Hardiman, F. Budi, 1993, hal 128-129)
[3]
Dikulik dari IZDR 2010:
Arsitektur Zakat Indonesia dan catatan pribadi penulis
[4]
Wacana ini cukup menggelitik
saya. Pertama menguak pada diskusi terbatas yang dilakukan oleh IMZ pada medio
November 2011 di Republika Meeting Room. Hal ini tidak terlepas dari keseriusan
pemerintah dalam melakukan “pengaturan sistematis” bagi masyarakat dalam
pengelolaan zakat. Dari lembaga zakat yang hadir, rata-rata datang dari daerah
menyatakan akan melakukan uji materiil UUPZ sembari melakukan pembangkangan
publik atas kandungan materi UUPZ yang dinilai diskriminatif dan menghambat
ruang partisipasi masyarakat luas
[5]
Dalam proses penerbitan
[6] Pada analisis umum digunakan garis
kemiskinan nasional sebesar Rp.253.016,-/kapita/bulan karena mencakup seluruh
wilayah yang diteliti.
[7]
cakupan wilayah tidak hanya Jabodetabek
melainkan juga wilayah Padang, Kalimantan Timur, Yogyakarta, dan Surabaya
Integrasi Zakat kedalam Keuangan Negara Untuk Mengeliminasi Pengangguran dan Program Welfare State
Prof. Dr. Bambang Setiaji
(Disampaikan pada Talk Show #IndonesiaBerzakat FoSEI UMS)
Aspirasi umat Islam dalam bidang ekonomi dewasa ini,
dapat diringkas secara garis besar sebagai usaha untuk memandirikan ekonomi nasional
dengan alternatif di sisi moneter
memperkuat peran Bank Syariah serta sistem keuangan, dan di sisi fiskal keinginan untuk mengintegrasikan zakat untuk
mengeliminasi pengangguran dan mempercepat program welfare state.
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa kemajuan ekonomi
yang dutujukan untuk penciptaan lapangan kerja harus disertai biaya modal yang
murah atau secara riel nol. Untuk menjalankan hal ini maka diperlukan sistem
perbankan bersubsidi di mana pemerintah akan memberikan sebagian suku bunga.
Supaya pengusaha menghadapi bunga riel nol, subsidi negara adalah sebesar suku
bunga aktual dikurangi besar inflasi. Dengan sistem ini, penciptaan pengusaha
dan penurunan pengangguran yang selama ini tidak pernah terselesaikan, diangkat
menjadi program negara yang penting.
Sumbangan terpenting bank syariah bagi ekonomi nasional
adalah sistem floating jasa deposan.
Dengan sistem floating jasa deposan,
di mana bagian deposan ditentukan kurang lebih fifty-fifty atas penghasilan bank, secara teoritik bank tidak bisa
kolapse yang disebabkan oleh fluktuasi bunga yang menyebabkan negative spread. Dengan asumsi bank
syariah memperoleh penghasilan dari memberi kredit industri, maka perolehan
deposan sekitar setengah dari pendapatan bank tidak lain adalah mengkaitkan
perolehan sektor keuangan atas dasar pertumbuhan di sektor riil. Efek inflatoir
tidak terjadi sebagaimana sistem konvensional, ketika pemilik dana dipatok
perolehan bunga tertentu. Memperkuat
perbankan syariah dari keseluhuan operasi perbankan nasional diduga akan
memperkuat daya imune terhadap krisis.
Di sisi fiskal, zakat, semula merupakan penerimaan negara yang
dirintis oleh Nabi SAW dan dilembagakan oleh Khulafaurrasyidin. Zakat adalah
pungutan negara dengan peruntukkan pasti (specific
purpose tax), yaitu untuk 8 penerima yang keseluruhannya dapat dikatakan
sebagai alat mengentaskan kemiskinan dan kefakiran/pengangguran.
Program anti kemiskinan di negara maju dicakup
dalam program welfare, negara yang
commited disebut welfare state, program tersebut di Indonesia dan
negara muslim umumnya masih tertatih
tatih, disebabkan oleh tekanan APBN. Dikaitkannya program anti kemiskinan
dengan setiap pencabutan subsidi BBM pantas dicurigai sebagai program reaktif
yang cenderung meredam, daripada program yang terencana dan utama. Kompensasi
kemiskinan hasil pencabutan subsidi BBM juga dirasakan sebagai program yang
tidak kontinyu. Dalam keadaan keuangan negara yang tertekan, terutama pos
pengeluaran untuk membayar hutang dan subsidi yang dalam APBN 2005 mencapai
seperempat dari total belanja negara, sehingga mengandalkan sumber pemasukan
konvensional untuk membiayai program pengentasan kemiskinan tentulah kurang
memadai, dalam arti kemiskinan sudah terlalu mendesak untuk menunggu kemampuan
keuangan negara.
Dalam keadaan demikian, pemerintah
harus berupaya mangoptimalkan semua kemungkinan yang ada. Sistem ketata
negaraan kita memungkinkan mengakselerasi program anti kemiskinan tersebut
dengan mengoptimalkan zakat yang merupakan ajaran sentral Islam (rukun islam)
yang dianut oleh mayoritas rakyat. UU perbankan syariah, UU haji, UU
perkawinan, UU waris, UU pendidikan dan UU zakat itu sendiri semuanya mencerminkan dual system yang pada
intinya mengakomodasi aspirasi umat.
Dari
Akomodasi ke Pemeranan
Jika dual system selama ini dilakukan sebagai akomodasi, maka ke depan
perlu dilakukan pemeranan yang lebih konstruktif. Dual system yang intinya menyerap aspirasi Islam dalam bidang
ekonomi ternyata bisa diterima baik oleh
masyarakat yang plural. Bank syariah misalnya tidak hanya diminati dari kalangan muslim, terutama investasinya,
banyak menarik bankir non muslim.
Untuk tujuan pemeranan, ke depan,
penyerapan Islam kedalam sistem ketata negaraan bertujuan yang lebih hakiki,
yaitu memberikan kesejahteraan masyarakat sebagai salah satu missi negara.
Dalam hal ini diajukan agar pengaturan zakat sebagaimana UU pengelolaan zakat
yang ada yang diserahkan kepada lembaga di luar pemerintah kembali
diinternalisasikan.
Kewajiban zakat dalam msyarakat
muslim semula adalah kewajiban kepada
negara dan menjadi sumber penerimaan negara yang pokok. Dengan titik
temu praktek kenegaraan sebagaimana kita saksikan di Indonesia, kewajiban
publik masyarakat terpecah yaitu
pajak-pajak yang bersifat sekular kepada pemerintah, dan zakat yang bersifat
suci kepada organisasi Islam. Ternyata kedua kewajiban tersebut tidak optimal.
Sebagian memiliki kesadaran tinggi membayar zakat tetapi tidak sadar pajak, ada
yang memiliki kesdaran pajak, tetapi tidak memiliki kesadaran zakat, dan banyak
lagi tidak memiliki kesadaran
dua-duanya, yang terakhir adalah kelompok terbaik memiliki kesdaran
kedua-duanya. Sayang, diduga yang terakhir ini masih rendah. Kesadaran
kewajiban publik merupakan interaksi berbagai faktor budaya yang kompleks.
Sistem
integrasi ini diajukan tetap dengan menjunjung azas kebebasan beragama atau
disebut sistem voluntary integrated zakat dan pajak yang dikuasakan pemungutannya
kepada negara, khususnya departemen keuangan. Masyarakat disodori form yang
berisi pertanyaan apakah akan membayar zakat yang terintegrasi dengan
pembayaran pajaknya. Dengan integrasi tersebut akan diperoleh keuntungan
berikut.
Pertama, pungutan kepada
masyarakat yang terintegrasi tersebut memudahkan pemerintah menentukan beban
optimal (optimal burden). Jika wajib pajak memilih atau mengisi pembayaraan
zakat terintegratif hendaknya langsung mengurangi kewajiban pajaknya, jika
keajiban pajak lebih besar. Akan tetapi jika komitmen pembayaran zakat sudah lebih besar, maka pajak dihapuskan. Hal
ini terjadi untuk kelompok menengah bawah.
Kedua, integrasi tidak menurunkan dana negara, bahkan
penerimaan negara pasti akan meningkat, terutama yang diabayarkan oleh kelompok
menengah bawah. Walaupun dana negara meningkat, dalamnya terdapat dana spesifik
(spesific purpose tax) dari rakyat
yang by law harus diperuntukkan kepada program pengentasan kemiskinan yang
secara tranparan diumumkan dilembaran negara dan dipertanggung jawabkan di
depan DPR. Hal ini perlu ditekankan
karena jika tidak ada hukum yang mengikat pemrintah dan DPR di berbagai level
dimungkinkan mengalokasikan dana negara sesuai selera.
Ketiga, kemungkinan pemerintah
akan mendapatkkan total penerimaan lebih tinggi, hal ini disebabkan oleh adanya
cross check. Pembayar zakat umumnya
jujur dalam menghitung penghasilan karena sifatnya yang elektif (tidak
memaksa). Dengan mentranparansikan pembayaran zakat, maka pemerintah dapat
mengefektifkan pajak.
Keempat, dengan memegang dana
''suci'' perilaku pejabat pemerintah diharapkan lebih dingin dalam memegang dan
mengalokasikan uang negara yang bersifat ''panas'' dan menggoda. Perilaku ini sangat tepat digarap bersamaan
dengan program pemberantasan korupsi. Sangsi moral dan sosial, serta kontrol
berbagai elemen masyarakat akan meningkat dengan memegang dana kemiskinan
zakat.
Peran
Organsasi Keagamaan
Gagasan integrasi tersebut mungkin
akan ditentang oleh berbagai organisasi keagamaan, karena zakat merupakan
sumber dana terpenting yang menopang organisasi keagamaan. Mereka tetap harus
diakomodasi kedalam program penyaluran. Dalam form isian pajak dan zakat yang
terintegrasi hendaknya ditulis partner penyaluran dana kemiskinan tersebut
yaitu melalui birokrasi pemerintah sendiri, melalui MUI, NU, Muhammadiyah dan
organisasi lain yang diakreditasi. Jika masyarakat memilih di luar daftar bisa
memakai isian terbuka, atau mengisi tidak menyalurkan zakatnya lewat Departemen
Keuangan dengan konsekuensi tidak memperoleh pengurangan pajak. Pemeluk agama
lain bisa berpartisipasi dalam program pengentasan kemiskinan dengan pilihan
isian yang sama, misalnya dengan mengisi partner penyaluran Gereja tertentu
atau lembaga keagamaan yang lain.
Singkatnya organsasi keagamaan
akan berperan dalam penyaluran sesuai dengan amanat undang-undang. Organisasi
keagamaan yang mendaftar sebagai penyalur harus memenuhi syarat memiliki
jaringan, badan hukum, adminstrasi dan sebagainya. Syarat lainnya adalah
sanggup membuat laporan guna memenuhi
prinsip akuntabilitas dan transparansi. ¨Penerimaan organisasi keagamaan
diduga akan meningkat, karena sistem ini akan memberi kesadaran membayar zakat
yang meluas. Seluruh wajib pajak diduga akan mengisi zakat (tax base = zakat
base) karena umunya wajib pajak memiliki
concern agar dana yang dibayarkan kepada pemerintah benar-benar sampai ke
tangan orang miskin. Masyarakat yang kurang agamis pun lebih memilih dana yang
disalurkan ke pemerintah sampai ke tangan rakyat. Secara ekonomi rakyat yang menerima saluran
akan memiliki daya beli kepada produk-produk dan akan menciptakan lingkungan
sosial yang lebih baik. Hal ini tentu mendorong masyarakat yang tidak agamis
pun memilih membayar zakat dalam komponen pajaknya.
Kebijakan
Pengupahan, Kemiskinan, dan Zakat
Salah satu tujuan kebijakan
pengupahan adalah untuk mengurangi tekanan kemiskinan yang dialami oleh buruh.
Namun, alternatif kebijakan pengupahan nasional merupakan pilihan yang tidak
mudah. Secara umum pemerintah terkendala oleh tujuan menciptakan pekerjaan
melalui cara menarik investasi.
Pencapaian rasio upah terhadap
nilai tambah sebelum dan sesudah krisis merosot, memperlihatkan beban buruh
dalam memikul beban krisis. Tekanan kemiskinan makin kuat ketika harga-harga barang swasta
meningkat dicerminkan oleh rasio upah terhadap nilai tambah yang terlihat
secara nasional menurun. Tambahan pula, pada era ekonomi yang makin liberal,
harga barang barang publik yang semula diperoleh dengan biaya murah, kini makin
meningkat. Tujuan peningkatan harga barang publik adalah supaya investasi
kapitalis menjadi layak, pemerintah dapat absen dari ekonomi dan pemilik
kapital dapat menggantikan peran mensuplai barang publik tersebut. Kebijakan
harga pendidikan, harga kesehatan, biaya keadilan, biaya perumahan, air, dan
listrik yang makin meningkat tidak
sejalan dengan kebijakan pengupahan untuk mengurangi tekanan kemiskinan.
Singkat kata buruh makin terjepit.
Silih bergantinya pemerintah di
Indonesia masih selalu gagal menfokuskan
diri pada empat pilar kebijakan
SDM utama yaitu, pendidikan, kesehatan (termasuk kecukupan makan), perumahan,
dan kesejahteraan. Kebijakan SDM yang lebih komprehenship diperlukan dengan
jalan menurunkan harga pendidikan, kesehatan, dan perumahan (kebijakan
de-liberalisasi). Hal tersebut sangat membantu buruh melalui kebijakan upah
nasional yang secara natural (kecenderungan pasar) cenderung rendah.
Liberalisasi memukul buruh melalui dua jalan, pertama upah yang mengikuti pasar
di negara dengan surplus tenaga kerja cenderung rendah. Harga barang kebutuhan
dasar, seperti pangan, pendidikan, kesehatan, justru cenderung tinggi. Sebagai
contoh, biaya pendidikan kita akhir-akhir ini sangat aneh ketika
sekolah/perguruan tinggi negeri mengutip SPP yang lebih tinggi dari sekolah
swasta.
Program kesejahteraan tenaga kerja
yang meliputi hari tua, sakit, cacat, dan PHK dikelola oleh asuransi tenaga
kerja (ASTEK). Klaim dari asuransi ini masih belum cukup untuk hidup minimal.
Di negara maju dana program berasal dari APBN/ABPD bersumber dari payroll tax. Dan tunjangan negara untuk kelompok sasaran
cukup untuk hidup minimal sesuai dengan standardnya.
Semurah apapun harga-harga barang
swasta dan barang publik dalam sistem pasar memungkinkan orang-orang terlempar
dari persaingan, di mana sebagian orang menjadi menganggur, bangkrut, sakit,
dan jatuh miskin. Program santunan fakir miskin diperlukan untuk menyertai
sistem itu, sebagaimana juga dilakukan di negara-negara inti penganut sistem
pasar. Jadi mengadopsi zakat kedalam sistem ekonomi dapat disamakan dengan
menyediakan dokter dan tenaga kesehatan dalam pertandingan olah raga yang
bermutu. Kemungkinan terlempar dari persaingan sangat tinggi.
Penutup
·
Zakat merupakan salah satu missi
utama ajaran Islam karena masuk menjadi salah satu rukun Islam.
·
Missi utama zaat tidak lain adalah
mengatasi kemiskinan (pekerja rendah dengan income yang tidak mencukupi) dan
kefakiran (pengangguran= orang yang tidak memilikinincome, dan pensiunan =
orang yang sudah tidak kuat lagi bejerja).
·
Di tangan swasta zakat sangat
kecil, hanya sekitar 100 milyar sd 1 triliun per tahun.
·
Jika diintegrasikan dengan
departemen keuangan, direktorat pajak, zakat pitensinya sekitar 300 triliun,
atau seperempat sampai sepertiga dari pajak.
·
Zakat sangat berguna untuk
mengakselerasi program kesejahteraan atau welfare state program.
·
Usualan konkritnya supaya zakat
dipadukan dengan pajak di bawah menteri keuangan. Hal ini juga berguna untuk
mensipitualkan negara yang cenderung sekuler atau pemisahan.
Langganan:
Postingan (Atom)