Oleh:
ERI SUDEWO[1]
(Disapampaikan dalam Talk Show #IndonesiaBerzakat FoSEI FE UMS)
Saya bernostalgia sedikit.
September dan Oktober 2006 bulan istimewa kala itu,
bagi sekelompok kecil orang. Pertama tanggal 14 September, digelar
diskusi amandemen UU 38 tahun 1999 di Litbang Depag. Kedua 20 September,
ditandatangani sinerji BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) dan Dompet Dhuafa
Republika (DD). Ketiga, awal Ramadhan
jatuh di 24 September. Bulan sarat berkah ini, bagi praktisi zakat, jadi bulan
marak-maraknya penghimpunan ZIS (Zakat Infak Sedekah). Keempat 25 September
berlangsung diskusi tentang blueprint
zakat Indonesia di BAZNAS. Kelima di 6 Oktober, terjadi pergantian pejabat
Direktur Pengembangan Zakat Depag. Dan keenam 10 Oktober, diskusi amandemen UU
38 dilanjutkan di Litbang Depag.
Enam rangkaian tanggal tersebut, semua mengancik pada
perzakatan Indonesia. Dimensi zakat memang substansial. Menyangkut kepentingan
publik dan kebijakan negara dalam penanggulangan kemiskinan. Yang saat ini
masih jadi keputusan politik setengah hati. Dengan pola tradisional, dengan
ulangan jargon-jargon pembangunan. Yang entah, sampai kapan drama seri
kemiskinan ini bakal berakhir. Maka sadar atau tidak, bagi sekelompok kecil
itu, rangkaian peristiwa di atas merupakan langkah penataan zakat di Indonesia.
Sekecil apapun.
REGULATOR DAN PENGAWAS
Bicara sejarah, ada yang bilang UU 38
tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, invalid sejak lahir. Sebab pertama, UU
itu bukan bicara zakat. Yang disorot hanya lembaga pengelola. Kedua, tak ada
sanksi bagi ingkar muzaki (pembayar zakat). Ketiga zakat cuma jadi PPKP
(Pengurang Penghasilan Kena Pajak), bukan tax
deductable. Itupun hanya berlaku bagi PPh 21. Maka, apa manfaatnya bagi
masyarakat? Begitu sungut penggugat.
Regulasi zakat Indonesia, baik UU lama no. 38
tahun 1999 dan 23 tahun 2011 memang (terlalu) fokus
pada kelembagaan. Yang diangkat, terutama kedudukan BAZNAS dan BAZ (Badan Amil
Zakat) bentukan pemerintah. BAZNAS dengan NAS-nya, diharap jadi satu-satunya
lembaga yang berdaya jelajah nasional. Karena itu lahirnya BAZNAS disiasati
dengan SK Presiden. Sedang BAZ, dirancang tumbuh berjenjang (?)
Dari tingkat propinsi, kotamadya dan kabupaten, hingga kecamatan bahkan
kelurahan. Sedang LAZ (Lembaga Amil Zakat) yang nekat
lahir di masyarakat, tidak diatur khusus. LAZ hanya diakui, dikukuhkan dari
tingkat menteri hingga camat. Di sini LAZ cerdik bersikap. Pengukuhan tingkat
menteri, disikapi LAZ dengan beroperasi secara nasional. Harapan BAZNAS bisa
satu-satunya menasional, lacur tersaingi LAZ.
Di atas kertas, siapapun sepakat bahwa BAZNAS lembaga
besar. Tapi itu masih sebatas potensi. BAZNAS yang dibentuk Presiden, mustinya
lumrah punya peran strategis. Khususnya jadi payung seluruh BAZ maupun LAZ.
Wilayah BAZ dan LAZ ini, seluruhnya berada di level operator mikro. Namun 10
tahun lebih beroperasi, tampaknya belum ada panduan regulasi kebijakan dan
pengawasan. Terjadi kekosongan, yang belum jelas siapa yang harusnya berperan
di sini. Maka tak berlebihan, harusnya BAZNAS didorong mengambil peran tersebut.
Namun UU 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat
berharap lain. BAZNAS disodok untuk jadi lembaga pengelola terbesar, lebih
besar ketimbang BAZ dan LAZ. Karena itu ada beberapa hal yang perlu disimak.
Pertama posisi BAZNAS yang strategis otomatis dimentahkan UU. Dari harapan
regulator dan pengawas, dijungkal ke tingkat operator. Kedua untuk jadi lembaga
operator terbesar, apakah peran BAZ dan LAZ total diambil alih? Jika itu yang
dimaksud, muncul hal ketiga yang jadi lebih kompleks. Mengambil alih peran,
artinya mengulang pola sentralistik. BAZNAS pun tertuntut harus menata sistem
manajemen operasional, yang tiba-tiba meraksasa. Resikonya, jangan tanya. Satu
contoh, seperti apa orang pusat paham peta dan medan kemiskinan Indonesia. Maka
ini hal keempat yang dikhawatirkan. Dalam kondisi bad trust society, siapa bisa jamin sentralistik keuangan tidak
jadi sumber KKN baru.
Saat
BAZNAS sibuk menata organisasi model sentralistik, pro dan kontra tak bisa
dicegah. Teraduk-aduk dengan taruhan kepercayaan masyarakat dan kepentingan
publik. Alih-alih jadi baik, khawatirnya masyarakat malah makin tak percaya
pada kelembagaan tawaran pemerintah. Bukan hanya dana yang makin sulit
terhimpun, pemerintah pun makin berjarak dengan masyarakat. Akibatnya fatal. Di
satu sisi masyarakat punya alasan kuat, untuk kembali menjalankan tradisi
penyantunan. Yang di antara kebaikannya, juga malah melestarikan kemiskinan. Di
sisi lain, penataan zakat model kelembagaan terancam bubrah.
Di samping itu ada hal lain yang perlu disimak. Regulasi
zakat Indonesia bagi BAZNAS punya potensi destruktif bagi zakat Indonesia.
Yang jika dipadu, memposisikan BAZNAS punya peran lengkap. Sebagai regulator
dan pengawas, sekaligus jadi operator. Dalam wacana, pemusatan ini baik. Tapi manajemen punya
tuntutan logika praktis. Peran regulator dan pengawas, memang bisa dipisah
ataupun menyatu. Pilihan tergantung tujuan dan sikon. Namun menyatukan
regulator, pengawas dan operator dalam satu tubuh jelas gegabah. Tumpang tindih
wewenang dan tanggung jawab, bakal menimbulkan bencana.
DIREKTORAT ZAKAT
Saya kembali sedikit menerawang ke belakang, Di
2006 terjadi perubahan di Depag. Dirjen Zakat dan Wakaf dikukuhkan, membawahi
Direktorat Pengembangan Zakat dan Direktorat Pengembangan Wakaf. Pertanyaan pun
muncul. Posisi direktorat dimana? Sejak digagas, tentu peran regulator dan
pengawas bisa diusung. Namun BAZNAS yang juga dibentuk pemerintah, bagaimana?
Peran memang bisa dibagi. Regulasi dipegang direktorat, sedang BAZNAS
pengawasnya. Atau sebaliknya. Atau bersama BAZNAS menjalani peran regulator dan
pengawas.
Dalam beberapa diskusi, sering dikatakan Direktorat
Pengembangan Zakat hanya jadi fasilitator. Namun akibat desakan dari beberapa
BAZ daerah, di 2006 ini telah diangkat 330-an PNS khusus amil. Padahal strategi
zakat di Indonesia, belum dirancang jelas arahnya. Sementara sejumlah PNS amil
itu telah diangkat dan ditebar di berbagai
BAZ. Dengan pengangkatan itu, soal zakat jadi makin kompleks. Sistem
keamilan yang bisa diatasi dengan zakat, kini jadi beban APBN.
Dalam temu tokoh di SMA Taruna Nusantara Magelang, 18
September 2006, Menteri Negara PAN, Taufiq Effendi, menegaskan, jumlah PNS akan
dirampingkan. Penambahan PNS harus dilakukan dengan ketat. Soalnya, bagaimana
dengan seleksi PNS amil di atas? Apakah juga telah dilakukan koordinasi?
Banyaknya PNS punya dua konsekuensi. Pertama tidak efisien. Kedua menambah
beban biaya operasional dan gaji. Padahal yang dikerjakan belum tentu sesuai
harapan. Di tahun 2009, Menteri Negara PAN menambahkan, jumlah pensiun bakal
mencapai 5 juta orang. Untuk bayar mereka menggunakan dana apa? Lantas dari mana dan bagaimana mendatangkannya?
Kembali pada soal zakat, siapa yang harus berperan
sebagai regulator dan pengawas? Pertanyaan ini juga jadi PR besar tim Teten
Kustiawan, yang tengah menyusun blueprint
zakat Indonesia. Tapi dalam diskusi di Litbang Depag, 14 September 2006,
pertanyaan itu dijawab tuntas. Bahkan dalam diskusi lanjutan di BAZNAS, 25
September 2006, Direktur Pengembangan Zakat, H. Tulus sepakat untuk bersama
BAZNAS konsentrasi
dalam regulasi kebijakan dan pengawasan. Bagi BAZNAS, ini angin segar. Untuk
segera menata diri, fokus pada pengembangan manajemen strategis. Termasuk
mereorganisasi dan rekrutmen SDM untuk jadi thinktank
zakat Indonesia.
ALTERNATIF KELEMBAGAAN
Sinerji dalam bisnis, yang entah berarti akuisi,
merger atau apapun, kini bukan hanya melanda perusahaan saja. Dalam dunia
per-NGO-an Indonesia, sinerji BAZNAS dan DD, 20 September, merupakan nomor
perdana. Gagasan ini mencuat saat PBB (Pusat Bahasa dan Budaya) UIN, Jakarta,
menggelar diskusi Filantrophi Islam, Agustus 2006. Inti gagasan, terpantik dari akumulasi
keresahan melihat kejumudan pengelolaan zakat. UU sudah dimiliki, namun tujuh
tahun berjalan pertumbuhan zakat tetap gradual dan kemiskinan makin kelam.
Maka ada UU atau tidak, dunia zakat Indonesia tak
bergeming. Yang berubah malah bersifat kontradiktif. Dari hari ke hari,
manajemen LAZ makin profesional. Namun mengapa kemiskinan juga makin massal dan
akut. Kontradiktif yang mustahil tapi sungguh terjadi. Gejala kontradiktif ini
mempertegas teori kemiskinan struktural. Bahwa kemiskinan tidak berdiri
sendiri. Karena kemiskinan lahir dimanapun dan dari manapun, maka kemiskinan
harus diberantas oleh siapapun. Maka kebijakan dan keputusan politik pemerintah
amat penting. Tanpa kebijakan yang jelas, sehebat apapun kerja BAZ dan LAZ,
hanya pemadam kebakaran. Apinya tak padam karena tersulut sana sini, sementara
lembaga pemadamnya makin profesional.
Sebelum sinerji BAZNAS DD, tergagas tiga usulan
kelembagaan zakat. Pertama, bentuk Kementerian Zakat dan Wakaf. Rancang
kementerian ini tak membebankan APBN. Agar ramping, efisien dan efektif,
pastikan kementerian ini non-departemen. Bayangkan, pemerintah Indonesia
sanggup membuat kementerian non-APBN. Terobosan yang bakal mengangkat citra
positif birokrat. Barangkali juga, ini langkah pertama di dunia. Ada
kementerian tidak dibiayai pemerintahnya. Kementerian ini pun bukan hanya
meringankan beban pemerintah, malah membantu mengatasi kemiskinan.
Usulan kedua, jika kementerian terlampau muluk,
turunkan jadi Dirjen Zakat. Karena Dirjen Zakat dan Wakaf sudah ada, pindahkan
ke departemen Keuangan, sejajar Dirjen Pajak. Bicara zakat bicara manajemen
keuangan. Dalam manajemen keuangan, yang dibutuhkan nahi mungkar. Bukan hanya amar
maruf, sekadar imbauan-imbauan tentang kebaikan. Jika hanya imbauan, kita
khawatir pengelolaan zakat akan terjebak di seputar tafsir zakat. Seperti juga
dirjen Pajak, tugas dirjen Zakat pull of
fund. Distribusi dan pengembang program penanggulangan kemiskinan,
diserahkan pada BAZ dan LAZ yang memenuhi kriteria.
Jika alternatif kedua juga sulit, maka bentuk Zakat
Indonesia (ZI). Ini lebih realistis karena naga-naganya BAZNAS sanggup
bertugas. ZI berperan bak BI. Sebagai
pusat regulasi kebijakan dan pengawasan. Yang diatur dan diawasi adalah BAZ dan
LAZ. Seperti di perbankan, BAZ merupakan bank pemerintah sedang LAZ banknya
swasta. ZI harus merancang standarisasi kelembagaan zakat, serta sertifikasi
amil sebagai profesi. Juga jangan abaikan adanya tuntutan, ZI musti menata
etika kepatuhan BAZ dan LAZ.
Tugas lain yang tak kalah berat, bisakah ZI berjuang
agar zakat jadi pengurang pajak. Jika Singapura dan Malaysia bisa, mengapa
Indonesia berkeberatan. Harusnya bisa karena dana itu toh tetap jatuh ke tangan
rakyat yang paling membutuhkan. Soalnya tinggal keputusan politik pemerintah.
Jika upaya ini sukses, ubah ZI jadi semacam Pusat Filantrophi Indonesia (PFI).
Mengapa? Karena PFI harus juga mengakomodir kebutuhan dana sosial lain dari
pihak manapun.
Sinerji
bukan hanya persoalan beberapa lembaga dan bukan hanya milik lembaga yang
bersinerji. Sinerji hari ini adalah penataan zakat Indonesia ke depan. Gagasan
sinerji memang sederhana. Namun menjalinnya apalagi jadi kekuatan solid, bukan
perkara sehari dua hari. Di sini terbukti, manajemen bukan hanya sejumlah kiat
untuk dipelajari, melainkan musti dipraktikkan. Di balik sinerji itu ada
persoalan besar yang telah melumat bangsa ini. ZISWAF (Zakat, Infak, Sedekah,
Wakaf dan Fidyah) sebagai cadangan modal telah diabaikan. Sedang orang miskin
makin massal dan akut. Penanggulangan kemiskinan tanpa ketegasan politik, hanya
sekadar jargon rutin tanpa visi yang terarah. Manajemen BAZ dan LAZ serta NGO
pun ibarat perusahaan. Profesional untuk dirinya, tapi tak berkutik dikerumunan
kemiskinan.
Jadi jangan lantas puas dan tersenyum karena dengan
sinerji soal pun dianggap selesai. Kemiskinan dan keadilan sosial, sekali lagi
bukan perkara manajemen-manajemenan. Juga bukan perkara saling klaim yang
paling berhak, paling jago dan paling besar. Ingat bangsa ini langka prestasi.
Karena kebijakan politik pun kerap memangkas partisipasi bottom up. Ingat pula, sinerji hanya upaya. Pemerintah yang “terima
bersih”, entah akan menggurat sejarah dengan rumusan keputusan politik apa. Tak
ada kebijakan yang tak punya pengaruh. Yang di babak akhirnya, entah sinerji
ini akan bergerak ke mana. Juga entah, sinerji ini akan melahirkan sosok
lembaga seperti apa.
Harap-harap
cemas terus menggelayuti dunia zakat Indonesia. Karena politik kita di samping tak jelas, juga selalu setengah
hati. Tak lagi berminat mengusung cita-cita welfare
state. Barangkali malu di “jaman gene”, masih ada yang bersikap sok heroik.
--o0o--
[1] Terlunta-lunta. Ke sana tak diterima, ke sini ditolak. Diam tak
kemana-mana juga diusir. SIAPA MAU TOLONGIN?