Krishna Adityangga,
SEI., MSI.
Sudah menjadi tabiat pedagang
nampaknya, bahwa didalam bisnis memanglah wajar jika harus berprinsip ngirit
pengeluaran dengan hasil maksimal.Istilah ini, sangat ngetrend diistilahkan
oleh para ekonom dengan sebutan prinsip ekonomi, yakni untuk mendapatkan hasil
sebesar-besarnya dilakukan dengan pengorbanan sekecil-kecilnya.
Sehingga, tidak heran jika
kemudian pemahaman inilah yang kemudian menjadi barier besar bagi seseorang
pedagang untuk mau berbagi hasil. bagihasil pada dasarnya adalah sangat adil
dan tepat. namun, bagi yang tidak memahami dan terbiasa olehnya maka ini
menimbulkan kejanggalan tersendiri bagi pelaku bisnis pada umumnya. konsep bagi
hasil, bertolak dari pembagian hasil usaha riil/ sesungguhnya yang terjadi.
tidak perlu diada-adakan atau ada manipulasi didalamnya. Tentu saja dengan
deskripsi seperti ini, artinya jika keuntungan besar tentu menghajatkan untuk
mau berbagi hasil yang besar pula( dengan kata lain tidak konstan).
Pembagian hasil memungkinkan
untuk tidak mengembalikan pokok terlebih dahulu. karena, bisa jadi untung yang
diberikan setiap bulan belum termasuk pengembalian pokok.
Berbeda dengan sistem bunga, si
pengusaha bisa memproyeksi lebih awal dari total penambahan modal yang telah ia
terima dari bank.
Tentu saja, jika dilihat dari
sisi bisnis ini lebih memudahkan pengusaha pada umumnya. meskipun jika dilihat
secara seksama, justru pengusaha lebih enak mengelola dana dengan reward bagi
hasil dibandingkan bunga. karena, dengan sistem bunga pengusaha merasa ditarget
oleh bank dengan pengeluaran tetap sekian setiap bulan hingga kredit nya
selesai.
Namun demikian, tidak jarang
bahkan lebih banyak yang lebih suka dengan sistem kerja yang diketahuio fix
cost jauh hari ini. dari pada harus membagikan lebih banyak ditengah waktu
ketika dapat meraih keuntungan besar yang lebih.
Pedagang pada umumnya berpikir,
bahwa hasil besar saat ini harus bisa digunakan untuk pencadangan permodalan,
pembelian aset produktif, penambahan persediaan barang atau lainnya.
Disinilah, diperlukan kecerdasan
spiritual untuk mengakui makna keuntungan non pragmatis. Bahwa dengan berbagi
meski nampak besar, akan menimbulkan berkah yang besar pula dan ini akan
membuat bisnis berkesinambungan dan langgeng.
Penjelasan ini memang tidak
selamanya bisa dipahami dan dimengerti dan dimaui oleh pedagang. ini butuh
proses dan perlu ada edukasi kepada para pedagang mengenai hal ini.
Tidak jarang pemahaman yang salah
ini mengcounter balik peran dan fungsi akan keberadaan bank dan lembaga
keuangan syariah. terlebih jika, kemudian ternyata bank dan atau lembaga
keuangan syariah memaknai bagi hasil dengan mematok, dan sudah meminta hasil
sebelum proses jalan. dan jika tidak demikian, susah untuk maju ke bank
syariah, karena bagi hasil tidak dapat dinikmati diawal bulan (karena bisa jadi
investasi penambahan modal akan membuahkan pada bulan-bulan ke tiga atau
keempat keatas).
Inilah yang kemudian ada mis
diantara para pedagang dan pihak lembaga keuangan syariah. akhirnya, terkadang muncul
solusi yang dipaksakan. jika ternyata pada dasarnya nasabah tersebut potensial
maka aqad dimasukkan ke murabahah (dengan cara bagaimanapun nantinya, seperti
membelikan barang modal atau lain sebagainya) dan jika nasabah kurang potensial
maka, disarankan untuk mencari pada bank lain.
Parahnya, jika ternyata nasabah
potensial tadi bersikeras untuk meminta aqad musyarakah, tentunya ini akan
menjadi masalah...mana yang salah dan mana yang benar?
Efek dari skema pemnbayaran model
bagi hasil dengan membayar hasil yang dipaksakan atau tidak pada waktu yang
sesungguhnya ini justru akan menimbulkan kebathilan aqad. selain itu, pedagang
umum justru akan lebih memilih bank konvensional daripada bank syariah.
Terlebih dengan fasilitas adanya
kredit rekening koran. dimana nasabah konvensional dapat membayar bunganya saja
dan membayar pokoknya secara tempo dan dapat diperpanjang. ini tentu dianggap
lebih mirip, sepertihalnya musyarakah. Meski disini diperlakukan adanya bunga
flat. tapi, tentunya baik di syariah maupun konven pasti akan menempatkan
dananya pada perusahaan yang bukan tidak menguntungkan bukan? sehingga sangat
kecil kemungkinan memberikan dana investasi yang akan rugi. kecuali force
majour.
Dalam hal force majour sendiri,
tentu bank konvensional pun juga memaklumi dan tentunya sudah dipertimbangkan
dengan adanya asuransi yang akan mengcovernya. begitu juga di bank syariah.
Jika ada keterlambatan
pembayaran, tidak jarang bank syariah pun melakukan penanganan yang sama dengan
konvensional. dan bahkan sekarang konvensional maupun syariah sama-sama sepakat
membuat aturan penanganan pembiayaan yang lebih manusiawi. adapun masalah bunga
berbunga, mungkin gak jika bank syariah juga menerapkan denda
berdenda...wallahu a'lam