Prof. Dr. Bambang Setiaji
(Disampaikan pada Talk Show #IndonesiaBerzakat FoSEI UMS)
Aspirasi umat Islam dalam bidang ekonomi dewasa ini,
dapat diringkas secara garis besar sebagai usaha untuk memandirikan ekonomi nasional
dengan alternatif di sisi moneter
memperkuat peran Bank Syariah serta sistem keuangan, dan di sisi fiskal keinginan untuk mengintegrasikan zakat untuk
mengeliminasi pengangguran dan mempercepat program welfare state.
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa kemajuan ekonomi
yang dutujukan untuk penciptaan lapangan kerja harus disertai biaya modal yang
murah atau secara riel nol. Untuk menjalankan hal ini maka diperlukan sistem
perbankan bersubsidi di mana pemerintah akan memberikan sebagian suku bunga.
Supaya pengusaha menghadapi bunga riel nol, subsidi negara adalah sebesar suku
bunga aktual dikurangi besar inflasi. Dengan sistem ini, penciptaan pengusaha
dan penurunan pengangguran yang selama ini tidak pernah terselesaikan, diangkat
menjadi program negara yang penting.
Sumbangan terpenting bank syariah bagi ekonomi nasional
adalah sistem floating jasa deposan.
Dengan sistem floating jasa deposan,
di mana bagian deposan ditentukan kurang lebih fifty-fifty atas penghasilan bank, secara teoritik bank tidak bisa
kolapse yang disebabkan oleh fluktuasi bunga yang menyebabkan negative spread. Dengan asumsi bank
syariah memperoleh penghasilan dari memberi kredit industri, maka perolehan
deposan sekitar setengah dari pendapatan bank tidak lain adalah mengkaitkan
perolehan sektor keuangan atas dasar pertumbuhan di sektor riil. Efek inflatoir
tidak terjadi sebagaimana sistem konvensional, ketika pemilik dana dipatok
perolehan bunga tertentu. Memperkuat
perbankan syariah dari keseluhuan operasi perbankan nasional diduga akan
memperkuat daya imune terhadap krisis.
Di sisi fiskal, zakat, semula merupakan penerimaan negara yang
dirintis oleh Nabi SAW dan dilembagakan oleh Khulafaurrasyidin. Zakat adalah
pungutan negara dengan peruntukkan pasti (specific
purpose tax), yaitu untuk 8 penerima yang keseluruhannya dapat dikatakan
sebagai alat mengentaskan kemiskinan dan kefakiran/pengangguran.
Program anti kemiskinan di negara maju dicakup
dalam program welfare, negara yang
commited disebut welfare state, program tersebut di Indonesia dan
negara muslim umumnya masih tertatih
tatih, disebabkan oleh tekanan APBN. Dikaitkannya program anti kemiskinan
dengan setiap pencabutan subsidi BBM pantas dicurigai sebagai program reaktif
yang cenderung meredam, daripada program yang terencana dan utama. Kompensasi
kemiskinan hasil pencabutan subsidi BBM juga dirasakan sebagai program yang
tidak kontinyu. Dalam keadaan keuangan negara yang tertekan, terutama pos
pengeluaran untuk membayar hutang dan subsidi yang dalam APBN 2005 mencapai
seperempat dari total belanja negara, sehingga mengandalkan sumber pemasukan
konvensional untuk membiayai program pengentasan kemiskinan tentulah kurang
memadai, dalam arti kemiskinan sudah terlalu mendesak untuk menunggu kemampuan
keuangan negara.
Dalam keadaan demikian, pemerintah
harus berupaya mangoptimalkan semua kemungkinan yang ada. Sistem ketata
negaraan kita memungkinkan mengakselerasi program anti kemiskinan tersebut
dengan mengoptimalkan zakat yang merupakan ajaran sentral Islam (rukun islam)
yang dianut oleh mayoritas rakyat. UU perbankan syariah, UU haji, UU
perkawinan, UU waris, UU pendidikan dan UU zakat itu sendiri semuanya mencerminkan dual system yang pada
intinya mengakomodasi aspirasi umat.
Dari
Akomodasi ke Pemeranan
Jika dual system selama ini dilakukan sebagai akomodasi, maka ke depan
perlu dilakukan pemeranan yang lebih konstruktif. Dual system yang intinya menyerap aspirasi Islam dalam bidang
ekonomi ternyata bisa diterima baik oleh
masyarakat yang plural. Bank syariah misalnya tidak hanya diminati dari kalangan muslim, terutama investasinya,
banyak menarik bankir non muslim.
Untuk tujuan pemeranan, ke depan,
penyerapan Islam kedalam sistem ketata negaraan bertujuan yang lebih hakiki,
yaitu memberikan kesejahteraan masyarakat sebagai salah satu missi negara.
Dalam hal ini diajukan agar pengaturan zakat sebagaimana UU pengelolaan zakat
yang ada yang diserahkan kepada lembaga di luar pemerintah kembali
diinternalisasikan.
Kewajiban zakat dalam msyarakat
muslim semula adalah kewajiban kepada
negara dan menjadi sumber penerimaan negara yang pokok. Dengan titik
temu praktek kenegaraan sebagaimana kita saksikan di Indonesia, kewajiban
publik masyarakat terpecah yaitu
pajak-pajak yang bersifat sekular kepada pemerintah, dan zakat yang bersifat
suci kepada organisasi Islam. Ternyata kedua kewajiban tersebut tidak optimal.
Sebagian memiliki kesadaran tinggi membayar zakat tetapi tidak sadar pajak, ada
yang memiliki kesdaran pajak, tetapi tidak memiliki kesadaran zakat, dan banyak
lagi tidak memiliki kesadaran
dua-duanya, yang terakhir adalah kelompok terbaik memiliki kesdaran
kedua-duanya. Sayang, diduga yang terakhir ini masih rendah. Kesadaran
kewajiban publik merupakan interaksi berbagai faktor budaya yang kompleks.
Sistem
integrasi ini diajukan tetap dengan menjunjung azas kebebasan beragama atau
disebut sistem voluntary integrated zakat dan pajak yang dikuasakan pemungutannya
kepada negara, khususnya departemen keuangan. Masyarakat disodori form yang
berisi pertanyaan apakah akan membayar zakat yang terintegrasi dengan
pembayaran pajaknya. Dengan integrasi tersebut akan diperoleh keuntungan
berikut.
Pertama, pungutan kepada
masyarakat yang terintegrasi tersebut memudahkan pemerintah menentukan beban
optimal (optimal burden). Jika wajib pajak memilih atau mengisi pembayaraan
zakat terintegratif hendaknya langsung mengurangi kewajiban pajaknya, jika
keajiban pajak lebih besar. Akan tetapi jika komitmen pembayaran zakat sudah lebih besar, maka pajak dihapuskan. Hal
ini terjadi untuk kelompok menengah bawah.
Kedua, integrasi tidak menurunkan dana negara, bahkan
penerimaan negara pasti akan meningkat, terutama yang diabayarkan oleh kelompok
menengah bawah. Walaupun dana negara meningkat, dalamnya terdapat dana spesifik
(spesific purpose tax) dari rakyat
yang by law harus diperuntukkan kepada program pengentasan kemiskinan yang
secara tranparan diumumkan dilembaran negara dan dipertanggung jawabkan di
depan DPR. Hal ini perlu ditekankan
karena jika tidak ada hukum yang mengikat pemrintah dan DPR di berbagai level
dimungkinkan mengalokasikan dana negara sesuai selera.
Ketiga, kemungkinan pemerintah
akan mendapatkkan total penerimaan lebih tinggi, hal ini disebabkan oleh adanya
cross check. Pembayar zakat umumnya
jujur dalam menghitung penghasilan karena sifatnya yang elektif (tidak
memaksa). Dengan mentranparansikan pembayaran zakat, maka pemerintah dapat
mengefektifkan pajak.
Keempat, dengan memegang dana
''suci'' perilaku pejabat pemerintah diharapkan lebih dingin dalam memegang dan
mengalokasikan uang negara yang bersifat ''panas'' dan menggoda. Perilaku ini sangat tepat digarap bersamaan
dengan program pemberantasan korupsi. Sangsi moral dan sosial, serta kontrol
berbagai elemen masyarakat akan meningkat dengan memegang dana kemiskinan
zakat.
Peran
Organsasi Keagamaan
Gagasan integrasi tersebut mungkin
akan ditentang oleh berbagai organisasi keagamaan, karena zakat merupakan
sumber dana terpenting yang menopang organisasi keagamaan. Mereka tetap harus
diakomodasi kedalam program penyaluran. Dalam form isian pajak dan zakat yang
terintegrasi hendaknya ditulis partner penyaluran dana kemiskinan tersebut
yaitu melalui birokrasi pemerintah sendiri, melalui MUI, NU, Muhammadiyah dan
organisasi lain yang diakreditasi. Jika masyarakat memilih di luar daftar bisa
memakai isian terbuka, atau mengisi tidak menyalurkan zakatnya lewat Departemen
Keuangan dengan konsekuensi tidak memperoleh pengurangan pajak. Pemeluk agama
lain bisa berpartisipasi dalam program pengentasan kemiskinan dengan pilihan
isian yang sama, misalnya dengan mengisi partner penyaluran Gereja tertentu
atau lembaga keagamaan yang lain.
Singkatnya organsasi keagamaan
akan berperan dalam penyaluran sesuai dengan amanat undang-undang. Organisasi
keagamaan yang mendaftar sebagai penyalur harus memenuhi syarat memiliki
jaringan, badan hukum, adminstrasi dan sebagainya. Syarat lainnya adalah
sanggup membuat laporan guna memenuhi
prinsip akuntabilitas dan transparansi. ¨Penerimaan organisasi keagamaan
diduga akan meningkat, karena sistem ini akan memberi kesadaran membayar zakat
yang meluas. Seluruh wajib pajak diduga akan mengisi zakat (tax base = zakat
base) karena umunya wajib pajak memiliki
concern agar dana yang dibayarkan kepada pemerintah benar-benar sampai ke
tangan orang miskin. Masyarakat yang kurang agamis pun lebih memilih dana yang
disalurkan ke pemerintah sampai ke tangan rakyat. Secara ekonomi rakyat yang menerima saluran
akan memiliki daya beli kepada produk-produk dan akan menciptakan lingkungan
sosial yang lebih baik. Hal ini tentu mendorong masyarakat yang tidak agamis
pun memilih membayar zakat dalam komponen pajaknya.
Kebijakan
Pengupahan, Kemiskinan, dan Zakat
Salah satu tujuan kebijakan
pengupahan adalah untuk mengurangi tekanan kemiskinan yang dialami oleh buruh.
Namun, alternatif kebijakan pengupahan nasional merupakan pilihan yang tidak
mudah. Secara umum pemerintah terkendala oleh tujuan menciptakan pekerjaan
melalui cara menarik investasi.
Pencapaian rasio upah terhadap
nilai tambah sebelum dan sesudah krisis merosot, memperlihatkan beban buruh
dalam memikul beban krisis. Tekanan kemiskinan makin kuat ketika harga-harga barang swasta
meningkat dicerminkan oleh rasio upah terhadap nilai tambah yang terlihat
secara nasional menurun. Tambahan pula, pada era ekonomi yang makin liberal,
harga barang barang publik yang semula diperoleh dengan biaya murah, kini makin
meningkat. Tujuan peningkatan harga barang publik adalah supaya investasi
kapitalis menjadi layak, pemerintah dapat absen dari ekonomi dan pemilik
kapital dapat menggantikan peran mensuplai barang publik tersebut. Kebijakan
harga pendidikan, harga kesehatan, biaya keadilan, biaya perumahan, air, dan
listrik yang makin meningkat tidak
sejalan dengan kebijakan pengupahan untuk mengurangi tekanan kemiskinan.
Singkat kata buruh makin terjepit.
Silih bergantinya pemerintah di
Indonesia masih selalu gagal menfokuskan
diri pada empat pilar kebijakan
SDM utama yaitu, pendidikan, kesehatan (termasuk kecukupan makan), perumahan,
dan kesejahteraan. Kebijakan SDM yang lebih komprehenship diperlukan dengan
jalan menurunkan harga pendidikan, kesehatan, dan perumahan (kebijakan
de-liberalisasi). Hal tersebut sangat membantu buruh melalui kebijakan upah
nasional yang secara natural (kecenderungan pasar) cenderung rendah.
Liberalisasi memukul buruh melalui dua jalan, pertama upah yang mengikuti pasar
di negara dengan surplus tenaga kerja cenderung rendah. Harga barang kebutuhan
dasar, seperti pangan, pendidikan, kesehatan, justru cenderung tinggi. Sebagai
contoh, biaya pendidikan kita akhir-akhir ini sangat aneh ketika
sekolah/perguruan tinggi negeri mengutip SPP yang lebih tinggi dari sekolah
swasta.
Program kesejahteraan tenaga kerja
yang meliputi hari tua, sakit, cacat, dan PHK dikelola oleh asuransi tenaga
kerja (ASTEK). Klaim dari asuransi ini masih belum cukup untuk hidup minimal.
Di negara maju dana program berasal dari APBN/ABPD bersumber dari payroll tax. Dan tunjangan negara untuk kelompok sasaran
cukup untuk hidup minimal sesuai dengan standardnya.
Semurah apapun harga-harga barang
swasta dan barang publik dalam sistem pasar memungkinkan orang-orang terlempar
dari persaingan, di mana sebagian orang menjadi menganggur, bangkrut, sakit,
dan jatuh miskin. Program santunan fakir miskin diperlukan untuk menyertai
sistem itu, sebagaimana juga dilakukan di negara-negara inti penganut sistem
pasar. Jadi mengadopsi zakat kedalam sistem ekonomi dapat disamakan dengan
menyediakan dokter dan tenaga kesehatan dalam pertandingan olah raga yang
bermutu. Kemungkinan terlempar dari persaingan sangat tinggi.
Penutup
·
Zakat merupakan salah satu missi
utama ajaran Islam karena masuk menjadi salah satu rukun Islam.
·
Missi utama zaat tidak lain adalah
mengatasi kemiskinan (pekerja rendah dengan income yang tidak mencukupi) dan
kefakiran (pengangguran= orang yang tidak memilikinincome, dan pensiunan =
orang yang sudah tidak kuat lagi bejerja).
·
Di tangan swasta zakat sangat
kecil, hanya sekitar 100 milyar sd 1 triliun per tahun.
·
Jika diintegrasikan dengan
departemen keuangan, direktorat pajak, zakat pitensinya sekitar 300 triliun,
atau seperempat sampai sepertiga dari pajak.
·
Zakat sangat berguna untuk
mengakselerasi program kesejahteraan atau welfare state program.
·
Usualan konkritnya supaya zakat
dipadukan dengan pajak di bawah menteri keuangan. Hal ini juga berguna untuk
mensipitualkan negara yang cenderung sekuler atau pemisahan.