Krishna Adityangga,
SEI., MSI.
(Pengkaji Ekonomi
Islam Kerakyatan Inklusif)
Modernisasi telah semakin melaju
kencang, kebutuhan masyarakat akhirnya menuntut adanya inofasi layanan jasa
keuangan, kecerdikan finansial di ranah konstruksi sosial masyarakat pun kini
telah mengikuti(red: melek finansial).
Sosok koperasi sebagai icon
ekonomi inklusif yang secara teoritis bisa masuk ke tulang rusuk masyarakat,
nampak kini berubah menjadi eksklusif. Makna profesionalitas modernis koperasi,
dimaknai prudential-lisasi
koperasi dengan hampir seluruhnya mengikuti mazhab pengelolaan
perbankan. Wal hasil, koperasi kini telah bermetafora menjadi sebuah mikro
banking.
Cara mengakses koperasi tidak
lagi fleksibel, penentuan jasanya pun kaku tidak transaksional. Interfensi
otoritas keuangan menghajatkan dirinya untuk tidak sekedar menjadi lembaga
masyarakat, namun menjadi lembaga keuangan resmi yang prudential,
sehingga muncullah SOP (Standar Operasional Prosedur) dan SOM (standar
Operasional management) berbasis micro banking. Training-training dan
standarisasi manajer, diampu langsung oleh pakar perbankan dan mikro banking,
sehingga melahirkan SDM berkualitas micro banking. Yang dengannnya, memiliki
harapan untuk mau dan mampu mengelola koperasi seprofesional mungkin dan
meminimalisir kredti macet.
Namun, meski demikian banyak data
membuktikan bahwa banyak dari koperasi telah memiliki jumlah NPL (Non
Performing Loan)/ kredit macet yang cukup besar. Rata-rata permasalahan
koperasi adalah likuidasi yang tidak sehat. Pengelola yang terjebak dalam
manipulasi dana yang akhirnya harus kabur tanpa pamit kepada institusinya. Rush
susah ditangani, masyarakat yang
menaruhkan dananya di koperasi merasa kesulitan untuk mengambil dananya kembali.
Kini tren lembaga yang menyandang
tag line soko guru ekonomi ini,
telah banyak merebak lagi dengan icon syariah. Sepintas, melihat hal ini nampak
menggembirakan. Mestinya dengan adanya koperasi berlabel syariah, tentu
pengelolaan akan amanah, jujur dan profesional dan mengedepankan prinsip laa
tudzlimuuna wala tudzlamuun dan antarhodin minkum. Namun, justru
sebaliknya, hasilnya adalah sama saja dan malah hal ini cenderung memberikan
stigma negatif dimasyarakat yang akhirnya harus salah paham terhadap konsep rahmatan
lil alamin-nya sistem syariah.
Koperasi lembaga keuangan yang
sangat inklusif dan bersanding dengan syariah yang mengedepankan transaksional
berkeadilan, harus bisa lebih tepat menyandang sebagai soko guru perekonomian
untuk saat ini, namun mengapa justru sebaliknya?
Berkaca dari konsep dasar
koperasi, ternyata nampak kurang teraplikasikan di banyak koperasi hampir
seluruhnya di negara ini. Mulai dari kepemilikannya, pola RAT, pola
keanggotaan, hingga pada konsep manajemen dananya. Dan anehnya hal ini dianggap
sesuatu yang wajar, bahkan jika itu tidak dilakukan, maka koperasi tidak akan
bisa berjalan dengan baik.
koperasi bukanlah milik
perseorangan, namun dirinya adalah milik dari cluster anggota koperasi tersebut.
Jika dirinya terlalu luas tanpa adanya pembatasan cluster yang jelas, maka
dirinya dituntut untuk mampu memanajemen konstruksi sosial yang lebih baik.
Konstruksi sosial menjadi sangat
penting bagi semacam sebuah lembaga keuangan islam seperti yang ada saat ini.
Hal ini dirasa perlu, mengingat dalam prkatik koperasi yang berprinsip syariah,
harus mengedapnkan kontribusi hak dan kewajiban secara tepat pada tempatnya.
Tidak mudah bagi masyarakat umum,
untuk menerima konsep kepemilikan, konsep ‘doktrinasi riba’ dan bagihasil.
Rata-rata masyarakat mengasumsikan koperasi adalah lahan bisnis swasta yang
bisa dimiliki dan atau dikuasai secara pribadi atau sesama kolega tertentu,
sehingga orientasi kurang mengena. Padahal justru inilah, yang mengakibatkan
kredit macet.
Manajemen gramen bank di
India sangatlah bagus, bukan hanya tanggung renteng yang diupayakan. Namun
lebih pada kerjasama semua pihak untuk saling memiliki dan bertanggungjawab
kepada institusi koperasi. Koperasi didirikan oleh anggota, dinikmati hasilnya
oleh anggota dan dikembangkan oleh anggota secara langsung maupun tidak
langsung. Dirinyalah yang melalui perwakilannya mengambil kebijakan penentuan operational
cost, rate margin, dan berbagai kebijakan angka lainnya serta
kebijakan internalnya. Kebijakan ini dipertanggungjawabkan pada anggota
koperasi seluruhnya yang ada. Aliran dana sangat diperhitungkan, tidak ada
unsur manipulasi sama sekali.
Koperasi sudah seharusnya untuk
menjauhi sejauh-jauhnya praktek manipulasi dana atau pola penjanjian kepada
anggota pada masalah imbal jasa, baik oleh koperasi itu sendiri maupun
penabung. Hal ini harus dipahami oleh kedua belah pihak. Koperasi tidak bisa
menjanjikan tingkat suku bunga atau bagi hasil maupun bonus pada setiap
simpanan yang masuk. Begitu juga, dirinya tidak dapat mematok sedemikian rupa
imbal bagi hasil oleh para anggota yang mengajukan permohonan investasi atau
penambahan permodalan. Semua nominal angka yang ada pada koperasi harus jelas titik
tolak sebab yang ditimbulkannya.
Semuanya harus muncul dari
transaksi riil, berbasis dari imbal jasa yang benar-benar terjadi. Logikanya,
seharusnya koperasi tidak perlu untuk menjanjikan memberikan bonus atau
bagihasil simpanan perbulan kepada penitip dana, karena itu adalah titipan,
justru sebaliknya koperasi memiliki kewenangan untuk meminta biaya operasional
atas dana titipan tersebut untuk biaya penitipan atau penyimpanan. Hal ini
dilakukan karena, jika dipaksakan akan mengakibatkan koperasi memposisikan dana
yang ada sebagai asetnya untuk diputar. Dan akhirnya koperasi harus berpikir
likuiditasnya.
Dalam teori lembaga keuangan,
memang pernyataan ini bertolak belakang. Karena sesungguhnya dalam lembaga
keuangan memang dibenarkan bahwa aset
mereka adalah uang dan claims (piutang), karena uang adalah komoditi mereka dan
mereka akan putar (perdagangkan) uang yang ada sebelum diambil oleh yang
menitipkan dana. Namun berbeda dengan hal ini, konsep Islam memandang hal itu
adalah haram, karena uang bukanlah komoditi. Dan faktanya, jika
dilakukan konsep konvensional pasti akan muncul rasio-rasio minimal pelemparan
atau perputaran dan akan timbul benih-benih resiko krisis likuiditas.
Konsep Islam menjadikan uang
bukanlah komoditi. Tidak muncul adanya variabel keuntungan tanpa adanya
peralihan penguasaan akan barang dan jasa / manfaat secara nyata. Konsep dana
simpanan dalam perspektif Islam diartikan sebagai sebuah dana titipan yang
berprinsip amanah. Adapun jika kemudian jadi dhomanah (yadh amanah), maka hal
itupun dilakukan ketika moment-moment tertentu, dengan asumsi pasti si orang yang
dititipi akan bisa mengembalikannya minimal seperti semula. Dari filosofi ini,
kemudian menjadikan lembaga keuangan Islam tidak berprinsip manipulatif dengan
menjadikan dana simpanan menjadi komoditinya. Tindakan ini bukan berarti kanzul
maal, karena yang dilakukan koperasi bukanlah mengendapkan uang, tapi membantu
menyimpan uang dalam tujuan save orientation para anggotanya.
Dengan pola manajemen dana
diatas, maka koperasi tidak akan terlalu takut pada bahaya rush. Karena
dana yang dilempar adalah dana murni investasi bukan simpanan. Penyisihan dana
ini, pada menunjukkan bahwa yang dilakukan murni manajemen dana bukan
manipulasi dana.
Dalam hal pengendalian kredit
macet dan organisasi, keduanya sangat berhubungan satu sama lain. Kuncinya ada
pada konstruksi sosial berupa kesadaran dan mau sukses berjamaah. Sangat susah
logika pembangunan koperasi didasarkan tidak pada keinginan untuk sukses
bersama. Rata-rata koperasi, mendirikan usahanya banyak didasari karena
keinginan segelintir orang saja yang nantinya akan menjadi ‘pemilik’ koperasi.
Jika memang ditentukan seperti ini, maka tentunya akan berdampak kredit macet
dan kesusahan dalam mengembangkan koperasi secara alamiah.
Dalam proses pendirian koperasi,
seharusnya didasari atas keinginan komunitas yang jelas dan semuanya diharapkan
mampu menjadi anggota penuh. Dengan seperti ini, sangat mudah nantinya untuk
menentukan kebijakan maupun strategi pricing. Anggotalah yang menentukan
produk, harga, tingkat fleksibilitas, sanksi, reward, program maupun hal lainnya.
Komitmen ini dibuat sebagai pagar akan aturan bersama, sehingga meminimalisir
penyimpangan-penyimpangan. Selain itu kebijakan inilah yang menentukan maju
tidaknya perkoperasian yang didirikan.
Secara mekanisme pendirian,
anggota berkumpul untuk melakukan syirkah (perkongsian) kemudian dipilihnya
wakalah berupa pengurus yang akan menjalin komunikasi dengan para pengelola
yang diambil sepertihalnya karyawan dengan kinerja profesional.
Misi konstruksi sosial tidak
dapat dipandang sebelah mata dalam perkoperasian. Karena inilah kunci koperasi
dapat berjalan dengan baik. Hal ini sesuai dengan prinsip dan strategi koperasi
dan prinsip Islam dalam membentuk lembaga perekonomian publik.
Berbicara mengenai lembaga
koperasi sebagai sebuah lembaga perekonomian publik inklusif. Prinsip-prinsip
perekonomian publik justru semakin memperkuat dan tepat dalam pelaksanaan
fungsi koperasi sesungguhnya. Sepertihalnya dalam masalah penentuan
pricing(harga). Jika kita mengenal pada istilah koperasi konvensional, kita
telah akrab dengan istilah bunga. Karakteristik reward fee ini, merupakan
prosentase dari nominal pinjaman yang harus dibayarkan kepada koperasi
bersamaan dengan pengembalian angsuran pokoknya, tanpa memperdulikan untung
atau ruginya kondisi si peminjam.
Berbeda dengan hal ini, koperasi
syariah pada dasarnya lebih fleksibel. Si peminjam diharapkan mampu
mengembalikan dana investasi setelah ada keuntungan, dan reward fee yang
diberikan pun disesuaikan dengan kondisi, apakah dia untung atau tidak.
Memahamkan hal ini diranah
masyarakat tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Karena, masyarakat
sudah terlanjur terbiasa dengan transaksi ribawi yang sudah sangat lama terjadi
dalam kehidupan perdagangan mereka.
Tentu peran konstruksi sosial
dengan pola edukasi dan pembiasaan harus tetap diberlakukan. Selain itu, yang
paling penting, koperasi harus benar-benar mampu dan mau mengetahui kondisi
peminjam secara utuh. Tidak boleh adanya unsur pemaksaan tanpa ada dasar yang
jelas, sehingga semuanya dapat diselesaikan secara transaksional. Tidak ada
pemaksaan pemberian fee terlalu tinggi, kalau dirasa perlu adannya penyisihan
pendapatan pada lini cadangan permodalan oleh pedagang. Koperasi dituntut juga
mahir dalam mengenali kebutuhan anggotanya, sehingga tidak memaksakan aqad yang
justru memberatkan anggota.
(Wallahu’alam)