(Disampaikan pada Talk Show Indonesia Berzakat FoSEI UMS)
If Men were Angels, no government would be necesarry
(James Madison, Founding
Father of US Contitution)
Membincang zakat
dalam kondisi kekinian menjadi menarik, jika tak ingin disebut ruwet. Menarik
karena secara perkembangan perluasan wacana, zakat tak lagi sekedar konsumsi
privat guru-murid yang sedang menimba ilmu agama, namun telah memasuki dunia publik
(public sphere[2]) relasi negara-masyarakat.
Maka dalam konteks inilah, zakat dapat dinyatakan memasuki era baru; era
keterbukaan informasi dan demokratisasi multi-sektor, di mana setiap hal yang
dahulu dianggap tabu, sakral, dan statis dapat berubah menjadi perbincangan
deras di alam publik.
Dalam banyak hal,
perubahan sifat perlakuan ini menyebabkan entitas dan kadar ketabuan itu
menjadi cair tak bersekat. Lalu tak lagi jadi tabu? Tidak juga, dalam banyak
kasus yang berubah bukalnkah kadar sakralitas dari entitas tersebut, tapi dari
bagaimana masyarakat memperlakukannya. Dalam bahasa sederhana, jika sebelumnya
sakralitas mengharuskan diskusi dilaksanakan pada ruang tertutup, berubah
menjadi diskursus publik yang partisipatif bagi setiap pihak. Zakat tak luput
dari gejala publik-asi ini.
Mari menyelami
sejarah zakat Indonesia.
Pengelolaan Zakat Indonesia[3]
Di
Indonesia, zakat sejak awal dikelola tanpa keterlibatan negara. Pada awal
kemerdekaan, serupa dengan kebijakan di era kolonial, pemerintah memilih posisi
tidak turut campur tangan pada pengelolaan zakat yang ada. Dengan demikian,
zakat dijalankan secara individual-tradisional, dengan ditopang dua institusi
keagamaan terpenting: masjid dan pesantren.
Di
era orde baru, secara umum, negara tetap mengambil jarak terhadap pengelolaan
zakat. Namun di era ini telah tumbuh kesadaran yang kuat untuk mengelola zakat
secara kolektif yang diindikasikan secara jelas dengan berdirinya berbagai
lembaga pengelola zakat. Di era ini muncul tiga jenis lembaga pengelola zakat. Pertama, lembaga pengelola zakat yang
didirikan oleh pemerintah daerah seperti DKI Jakarta (1968), Kalimantan Timur
(1972), Sumatera Barat (1973), Jawa Barat (1974), Sumatera Selatan (1975),
Lampung (1975), Irian Jaya (1978), Sulawesi Utara (1985), Sulawesi Selatan
(1985), dan Bengkulu (1989). Kedua,
lembaga pengelola zakat yang didirikan oleh BUMN seperti BAMUIS BNI (1968), LAZ
YAUMIL PT Bontang LNG (1986), dan Baitul Maal Pupuk Kujang (1994). Ketiga, lembaga pengelola zakat yang
didirikan oleh masyarakat sipil seperti Yayasan Dana Sosial Al Falah (1987),
Dompet Dhuafa Republika (1993), Rumah Zakat Indonesia (1998), dan Pos Keadilan
Peduli Ummat (1999).
Zakat
di Indonesia mengalami kebangkitan di tangan masyarakat sipil pada tahun
1990-an. Era ini
kemudian dikenal menjadi era pengelolaan zakat secara profesional-modern
berbasis prinsip-prinsip manajemen dan tata kelola organisasi yang baik. Sejak
era inilah kemudian potensi zakat di Indonesia mulai tergali dengan
dampak yang semakin signifikan dan meluas.
Titik
balik terpenting dunia zakat Indonesia terjadi pada tahun 1999. Sejak tahun
1999, zakat secara resmi masuk ke dalam ranah hukum positif di Indonesia
dengan keluarnya UU No 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat. Berdasarkan UU ini,
zakat dapat dikelola baik oleh lembaga amil bentukan pemerintah yaitu Badan
Amil Zakat (BAZ) maupun oleh lembaga amil bentukan masyarakat yaitu Lembaga
Amil Zakat (LAZ). Di satu sisi, UU ini mengatur adanya sanksi bagi lembaga amil
yang tidak amanah walau tidak jelas implementasi-nya karena ketiadaan regulasi
operasional dari UU ini. Di sisi lain, UU ini tidak mengatur adanya sanksi bagi
wajib zakat yang lalai, dengan kata lain UU menetapkan bahwa pembayaran zakat
bersifat sukarela. Meski demikian, UU ini telah merintis upaya pemberian
insentif bagi wajib zakat dengan menjadikan zakat sebagai pengurang pajak.
Sejak
keluarnya UU ini, lembaga-lembaga amil tumbuh bak cendawan di musim hujan, baik
di tingkat pusat maupun daerah. Hingga kini setidaknya terdapat BAZNAS dan 18 LAZ
tingkat nasional, 33 BAZ tingkat provinsi, dan 429 BAZ tingkat kabupaten/kota.
Belum lagi bila kita perhitungkan LAZ tingkat daerah, 4.771 BAZ tingkat
kecamatan, Unit Pengumpul Zakat (UPZ) hingga amil-amil tradisional-individual
berbasis masjid dan pesantren.
Bagaimana dengan
regulasi zakat baru, UU no. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat? Sayangnya
UU ini menuai deras kritikan semenjak pengesahan oleh parlemen. Dalam
pengalaman IMZ mengelola diskusi publik untuk mengevaluasi UU ini, yang muncul
adalah penolakan, niat uji materiil, hingga tantangan melakukan pembangkangan
publik (public disobedience) atas
pemberlakuan UU ini[4].
UU ini memang memicu kontroversi dari awal pembahasan. Kontroversi
pertama muncul ketika akhir Juli 2010 lembaga zakat berbasis pemerintah
mengirimkan petisi tanda tangan penolakan atas draft awal UUPZ yang menegasikan
BAZ. Petisi yang menandaskan bahwa eksistensi BAZ tidak boleh dihilangkan,
meski atas sebuah nama sekalipun. Kontroversi kedua mencuat ketika proses
pembahasan ini lengah dari pemantauan banyak pihak. Proses pembahasan yang
relatif singkat dan serba tertutup ini pun membuat luputnya pelbagai substansi
sentral. Maka tak heran alih-alih berbicara strategi pengembangan zakat bagi
pengentasan kemiskinan, UU ini justru lebih banyak mengupas persoalan teknis
administratif.
Rendahnya partisipasi publik selama proses penyusunan memunculkan
kontroversi ketiga, penolakan dari beberapa elemen komunitas zakat atas UUPZ
ini. Saya katakan beberapa karena toh ada
yang berpendapat menerima UUPZ sebagai satu alat untuk memperbaiki tata kelola
zakat Indonesia, apapun kekurangannya. Sementara pihak berlawanan menolak
menandaskan bahwa UUPZ ini berpotensi merevolusi pola pengelolaan zakat
Indonesia dari basis komunal-masyarakat menjadi pola profesional-kelembagaan.
Jika sebelumnya diferensiasi lembaga zakat dapat diklasifikasikan
menjadi 3 jenis pola, yaitu (1) lembaga berbasis pemerintah, (2) berbasis massa
(mengambang), dan (3) berbasis ormas keanggotaan. Maka UUPZ telah mengubah
diferensiasi itu menjadi dua kubu saja, kubu menolak dan kubu mendukung UUPZ!
Kabar baik atau buruk? Sila anda nilai sendiri, yang jelas ada saja pihak yang
senang antar pegiat zakat saling tunjuk hidung. Dalam bahasa seniman Rene
Gusconny dan Albert Uderzo, Le
Grand Fossé!
***
Saya tunda sejenak soal karut marut regulasi. Saya akan hantarkan selintas
mengenai kinerja zakat dalam pengentasan kemiskinan yang telah dilakukan IMZ
pada 2011 silam, yang akan menjadi bahan publikasi pada Indonesia Zakat and Development Report 2012[5].
Tabel 1
Analisa Kemiskinan Umum[6]
Indeks Kemiskinan
|
Tanpa Zakat
|
Dengan Zakat
|
Prosentase Perubahan
|
Headcount index
|
0,220
|
0,173
|
21,11
|
Poverty Gap (Rp)
|
326.501,01
|
318.846,15
|
2,34
|
Income Gap
|
0,247
|
0,235
|
4,84
|
Sen
|
0,089
|
0,067
|
25,22
|
FGT
|
0,020
|
0,014
|
30,14
|
Insiden
Kemiskinan
Pada Tabel di atas. nilai indeks headcount sebesar 0,22 yang bermakna dari seluruh penerima zakat (mustahik) yang diamati, 22 persennya
dikategorikan miskin berdasarkan kriteria BPS, sedangkan 78 persen tidak
dikategorikan miskin menurut kriteria BPS. Kecilnya persentase rumah tangga
miskin tersebut bukan berarti bahwa kinerja OPZ buruk dalam penyaluran dana zakat.
Melainkan, lebih karena garis kemiskinan yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu garis kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS lebih rendah dibandingkan
dengan standar nishab yang selama ini
dijadikan sebagai batas pembeda antara muzakki dan mustahik. Karena nilai
indeks headcount sangat bergantung
pada garis kemiskinan maka penggunaan garis kemiskinan yang berbeda dapat
menghasilkan persentase RTM yang berbeda pula.
Selain itu, penentuan penerima manfaat
zakat (beneficiaries) tidak hanya
didasarkan pada garis kemiskinan tetapi juga karakteristik lainnya dan dapat
berbeda untuk tiap program seperti bantuan modal yang dapat berbeda kriteria
kelayakannya dengan bantuan karitatif. Penggunaan garis kemiskinan yang
dikeluarkan oleh BPS dalam penelitian ini selain dimaksudkan untuk
menyeragamkan dan menyederhanakan pengukuran, juga dimaksudkan untuk
menyesuaikan dengan garis kemiskinan yang dipakai dan dipublikasikan oleh
pemerintah.
Setelah pendistribusian zakat, nilai
indeks headcount turun dari 0,220
menjadi 0,173. Dengan kata lain, persentase rumah tangga miskin berkurang
sebesar 4,7 poin atau persentase perubahannya 21,11 persen. Penurunan
persentase jumlah rumah tangga miskin tersebut mengindikasikan dampak program
zakat yang dilakukan OPZ sangat signifikan dalam menurunkan jumlah rumah tangga
miskin.
Kedalaman
Kemiskinan
Jurang kemiskinan dan kisaran biaya yang
diperlukan untuk menutupinya ditunjukkan oleh indeks income gap (I) dan poverty
gap (P1). Tanpa zakat nilai indeks income gap sebesar 0,247 dan setelah distribusi zakat nilainya
turun menjadi 0,235. Penurunan nilai indeks tersebut mengindikasikan bahwa
rata-rata pendapatan (atau pengeluaran) rumah tangga miskin cenderung makin
mendekati garis kemiskinan. Biaya pengentasan kemiskinan yang dibutuhkan juga
berkurang dari Rp.326.501,01/rumah tangga/bulan menjadi Rp.318.846,15/rumah
tangga/bulan dengan catatan tanpa biaya transaksi dan faktor penghambat
(transfer sempurna).
Keparahan
Kemiskinan
Penurunan indeks kedalaman kemiskinan
diikuti dengan penurunan indeks keparahan kemiskinan. Indeks Sen mengalami
penurunan dari 0,089 menjadi 0,067. Begitu pula dengan indeks FGT yang turun
dari 0,020 menjadi 0,014. Dengan demikian, setelah pendistribusian zakat
ketimpangan pendapatan (atau pengeluaran) di antara rumah tangga miskin semakin
rendah.
Berdasarkan ketiga indeks kemiskinan
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa secara umum zakat memiliki implikasi
positif dalam mengurangi beban kemiskinan seperti mengurangi jumlah rumah
tangga miskin, tingkat kedalaman kemiskinan dan tingkat keparahan kemiskinan.
Pada Tabel selanjutnya dilakukan
perbandingan prosentase penurunan indeks kemiskinan antara kinerja zakat tahun
2009/2010 dengan kinerja saat ini.
Tabel 2
Perbandingan Kinerja Zakat
Indeks
Kemiskinan
|
Prosentase
Penurunan 2009/2010
|
Prosentase
Penurunan 2010/2011[7]
|
Pertumbuhan
(%)
|
H
|
10,79
|
21,11
|
95,64
|
I
|
4,69
|
4,85
|
3,41
|
P2
|
12,12
|
25,22
|
108,08
|
P3
|
15,97
|
30,14
|
88,73
|
Pada
Tabel 2 seluruh indeks mengalami pertumbuhan positif baik dari segi jumlah
rumah tangga miskin, kedalaman kemiskinan, dan keparahan kemiskinan. Perlu
diingat bahwa persentase penurunan tahun 2010/2011 yang tinggi tersebut berasal
dari perubahan indeks kemiskinan yang nilainya rendah.
Tabel 3
Perbandingan Kinerja Zakat
Indeks
Kemiskinan
|
Prosentase
Penurunan 2009/2010
|
Prosentase
Penurunan 2010/2011[8]
|
Pertumbuhan
(%)
|
H
|
10,79
|
17,857
|
65,52
|
P1 (Rp)
|
4,69
|
4,64
|
-1,07
|
I
|
4,69
|
7,427
|
58,36
|
P2
|
12,12
|
20,64
|
70,30
|
P3
|
15,97
|
29,23
|
83,03
|
Bila
diperbandingkan pada cakupan wilayah yang sama yaitu Jabodetabek, maka
pertumbuhan tiap indeks terlihat pada Tabel 2.4. Sama halnya dengan seluruh
cakupan wilayah, saat dibandingkan dengan hasil Jabodetabek, seluruh indeks
mengalami pertumbuhan positif dibandingkan ukuran indeks kemiskinan tahun
2009/2010.
Analisa Time Taken to Exit
Ketika membahas mengenai kemiskinan,
salah satu pertanyaan penting adalah berapa lama waktu yang diperlukan untuk
mengentaskan kemiskinan? Sebuah intervensi sosial bagi masyarakat miskin dengan
tujuan membebaskan mereka dari kemiskinan tentunya membutuhkan waktu yang tidak
instan. Pertumbuhan ekonomi memiliki peran dalam mewujudkannya. Akan tetapi,
hal pokok yang menentukan adalah bukan tingginya pertumbuhan ekonomi namun
besarnya perolehan pertumbuhan ekonomi yang diterima oleh masyarakat miskin.
Grafik
1. Rata-rata Waktu Pengentasan Kemiskinan
Berdasarkan hasil analisis dengan asumsi
tingkat pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan terdistribusi normal pada seluruh
masyarakat miskin, diperlukan waktu selama 7 tahun untuk mengentaskan
kemiskinan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang dinikmati keluarga miskin
hanya 1 persen setiap tahunnya. Akan tetapi, setelah pendistribusian zakat
dilakukan di pulau Jawa, waktu pengentasan tersebut mampu dipersingkat dari 7
tahun menjadi 5,1 tahun.
Hasil
analisis menunjukkan bahwa pendayagunaan zakat oleh Organisasi Pengelola Zakat
berimplikasi positif dalam mengurangi beban kemiskinan. Secara umum persentase
rumah tangga miskin (penerima zakat) mengalami penurunan sebesar 21,11 persen.
Persentase penurunan tingkat kemiskinan di periode 2010/2011 ini lebih tinggi
dibandingkan periode sebelumnya. Tidak hanya jumlah rumah tangga miskin yang
berkurang, dimensi kemiskinan lainnya seperti tingkat kedalaman kemiskinan dan
tingkat keparahan kemiskinan juga berhasil diturunkan. Selain itu,
pendayagunaan zakat oleh OPZ mampu mempercepat pengentasan kemiskinan 1,9 tahun
dari 7 tahun menjadi 5,1 tahun.
Capaian
OPZ dalam mengurangi beban kemiskinan tersebut menjadikan zakat sebagai
instrumen potensial membantu upaya pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan.
Program pendayagunaan zakat oleh OPZ kini semakin kreatif dan mengarah pada
pemberdayaan dan pengembangan masyarakat sehingga sinergi antara zakat dengan
program pengentasan kemiskinan pemerintah menjadi mungkin dan menjanjikan untuk
pencapaian hasil pengentasan kemiskinan yang lebih baik.
***
Kontroversi Regulasi
Hasil kajian
empirik tersebut menunjukkan bahwa memang pengelolaan zakat di Indonesia telah
menuju arah yang tepat. Tentu ini kabar gembira di tengah pergulatan dialektika
terkait efektifitas UU zakat baru. Prestasi lembaga zakat, tanpa mendikotomikan
BAZ vs LAZ, harus dipandang sebagai aset utama bangsa dalam pengentasan
kemiskinan. Meminjam istilah Erie Sudewo, musuh BAZ dan LAZ adalah kemiskinan.
Namun, keberadaan regulasi UUPZ ini berpotensi membuat kerja-kerja lembaga
zakat menjadi impoten melalui birokratisasi pengelolaan via negara.
Setidaknya dalam pemantauan kami ada dua materi yang menjadi episentrum
dialektika. Pertama adalah soal kewenangan monopolitik yang dimandatkan kepada
BAZNAS sebagai koordinator, regulator, pengawas, dan pengumpul dana masyarakat
pada saat bersamaan. Tentu ini menjadi persoalan serius manakala sebagai
lembaga otoritatif yang mengoordinasikan kegiatan pengelolaan zakat di setiap tingkatan
pada saat bersamaan bertindak sebagai pengumpul dana juga. Ada yang mengusulkan
jalan tengah yaitu dengan membatasi kegiatan pengumpulan yang dilakukan
BAZNAS/BAZDA pada lingkup pemerintah dan BUMN/BUMD saja. Tetapi akankah ini
tidak berbenturan dengan lembaga zakat yang telah ada dan berkembang di
BUMN/BUMD tersebut? Solusi cespleng
perlu segera diberikan kelihatannya.
Perdebatan kedua berkutat pada persyaratan yang diberikan kepada LAZ, di
mana lembaga zakat yang dinisiasi oleh masyarakat dibenturkan pada dua
kewajiban, pertama diakui legalitasnya secara hukum, dan kedua mengubah
bentuknya menjadi Organisasi Kemasyarakatan Islam. Jika tak mampu memenuhi satu
dari dua syarat ini, maka lembaga zakat “diarahkan” untuk menjadi organisasi
yang menginduk pada lembaga zakat yang telah resmi dan lulus uji-syarat UUPZ.
Ini laiknya perdebatan di alam politik soal parliamentary
threshold yang “memaksa” partai politik tak lolos ambang batas parlemen
untuk bergabung dengan partai lain yang lolos. Soal merger tak sekedar bicara persoalan administratif belaka, tapi ada
hambatan ideologis, keselarasan visi-misi organisasi, kepentingan kelompok,
hingga dinamika dan budaya organisasi yang berbeda antar lembaga.
Maka, di tengah
catatan prestatif lembaga zakat dalam pengentasan kemiskinan turut tersembunyi
persoalan mendalam pasca pengesahan UUPZ. Dalam banyak hal, patut rasanya kita
menyatakan UU ini telah membuat pelbagai pihak galau atau bahkan apatis dengan
pola pengelolaan zakat ke depan yang sentralistik dan birokratis. Jalan tengah
telah diusulkan: menyandarkan diri pada kualitas Peraturan Pemerintah atau
melakukan uji materiil terhadap UU. Kedua hal itu bisa dilakukan. Yang tidak
boleh dilakukan adalah berhenti memperbaiki diri melawan musuh kita bersama:
kemiskinan.
[2]
Jurgen Habermas menjelaskan
‘dunia publik’ sebagai dunia di mana setiap warga masyarakat dapat berinteraksi-diskusi
tanpa sensor, berkumpul dan berserikat secara bebas, bebas dominasi, tanpa
adanya pengaruh tekanan kekuasaan. Negara bukan lantas tanpa kuasa di dalamnya,
tetapi justru ‘dunia publik’ ini bila tumbuh-berkembang mampu berlaku sebagai kekuatan
tandingan dari negara. Suasana komunikatif ini sangat dimungkinkan tumbuh pada
alam demokrasi substantif (Menuju
Masyarakat Komunikatif, Hardiman, F. Budi, 1993, hal 128-129)
[3]
Dikulik dari IZDR 2010:
Arsitektur Zakat Indonesia dan catatan pribadi penulis
[4]
Wacana ini cukup menggelitik
saya. Pertama menguak pada diskusi terbatas yang dilakukan oleh IMZ pada medio
November 2011 di Republika Meeting Room. Hal ini tidak terlepas dari keseriusan
pemerintah dalam melakukan “pengaturan sistematis” bagi masyarakat dalam
pengelolaan zakat. Dari lembaga zakat yang hadir, rata-rata datang dari daerah
menyatakan akan melakukan uji materiil UUPZ sembari melakukan pembangkangan
publik atas kandungan materi UUPZ yang dinilai diskriminatif dan menghambat
ruang partisipasi masyarakat luas
[5]
Dalam proses penerbitan
[6] Pada analisis umum digunakan garis
kemiskinan nasional sebesar Rp.253.016,-/kapita/bulan karena mencakup seluruh
wilayah yang diteliti.
[7]
cakupan wilayah tidak hanya Jabodetabek
melainkan juga wilayah Padang, Kalimantan Timur, Yogyakarta, dan Surabaya