Apa Kabar Ekonomi Kita
Hari Ini?
Oleh : Octa dan Wiwit
Menurut
Drajat Wibowo Ketua Dewan Informasi Strategis dan Kebijakan Badan Intelijen Negara (DISK) “Ada PSBB tapi di pasar-pasar masih ramai,
tempat ibadah masih ramai. Jadi saya berharap PSBB kita bisa betul-betul
efektif. Seperti di New Zealand orangnya disiplin, kontak bisa benar-benar
tidak ada dan sangat terbatas sekali. Virusnya tidak lompat dan bisa mati
sendiri. Karena virus ini kalau ada di udara atau ada di ruang bebas dalam
waktu tertentu dia akan mati. Pemerintah harusnya segera melakukan rapid test
kepada seluruh rakyat. Selain itu, anggota masyarakat harus benar benar
disiplin menjaga jarak dan tidak kemana mana atau tinggal di rumah.”
Sebagian
pernyataan tersebut memang ada benarnya. Akan tetapi, Apakah Indonesia sudah
siap akan hal tersebut? Seperti kita ketahui, apabila kita benar-benar
melaksanakan PSBB secara total, maka yang akan hancur pertama kali adalah
perekonomian kita. Mengapa demikian? Indonesia sendiri merupakan negara
berkembang dimana masih banyak kemiskinan diseluruh wilayahnya. Dalam riset
terbaru SMERU, skenario
terkecil, SMERU memprediksi angka kemiskinan pada Maret 2020 naik menjadi 9,7
persen atau bertambah 1,3 juta orang miskin baru. “12,4 persen ini sama
dengan kondisi pada 2011, dengan kata lain, usaha pemerintah selama sembilan
tahun untuk menurunkan angka kemiskinan akan sia-sia,” demikian keterangan
resmi dari SMERU Research Institute di Jakarta, Jumat, 17 April 2020. Hal ini
menjadi bukti bahwa perekonomian di Indonesia akan mengalami kemunduran yang
sangat besar.
Apabila Indonesia menerapkan PSBB secara total maka akan
berdampak besar terhadap perekonomian kalangan menengah ke bawah. Hal ini
karena ekonomi
mereka yang setiap harinya hanya ditopang oleh pendapatan pada hari itu juga,
pemasukannya menjadi sangat rentan karena ketika mereka tidak bekerja, maka
pendapatan mereka juga tidak ada. Bagi mereka yang berprofesi
sebagai ASN atau pegawai lembaga formal, meskipun mereka bekerja dari rumah,
gaji mereka di awal bulan depan masih tetap utuh. Bayangkan kalau pegawai
informal, pedagang kecil-kecilan, dan orang yang kerjanya serabutan, tentu mereka
sangat rentan dengan kemiskinan. Satu hari saja mereka tidak bekerja, maka
tidak ada yang dapat dimakan untuk hari itu dan esoknya. Akhir-akhir ini saja,
bisa kita saksikan bersama transportasi online sangat sepi sehingga pendapatan
mereka turun drastis karena tidak ada yang mengorder. Begitu juga sektor
pariwisata sudah tutup. Jutaan orang yang hidupnya tergantung sektor pariwisata
menjadi pengangguran. Jutaan pengelola dan pegawai destinasi parisiwasata
menganggur. Pemilik dan pegawai warung penjaja makanan dan toko souvenir
berhenti bekerja. Pengola jasa travel berhenti operasi. Ratusan ribu penyedia
jasa trasportasi, supir dan kru bus pariwisata, dan pemandu wisata menganggur. Belum lagi jutaan karyawan yang
terpaksa diPHK karena perusahaan tempat mereka bekerja harus tutup sementara waktu ataupun
bangkrut. Pekerjaan yang selama ini menjadi sumber penghasilan, kini sudah
tidak ada lagi. Adanya himbauan untuk tetap di rumah saja, juga menghambat
aktivitas mereka untuk mencari pekerjaan lain untuk menghasilkan uang. Jangankan untuk memenuhi kebutuhan
tersier, untuk memenuhi kebutuhan sehari-haripun mereka mengalami kesulitan.
Bantuan sosial dari pemerintah pun tidak dapat terserap
dengan baik. Masih banyak oknum-oknum di luar sana yang memanfaatkan situasi
saat ini agar mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah tanpa memperhatikan
orang-orang di sekitar mereka yang lebih membutuhkan bantuan tersebut. Lantas
siapakah yang harus disalahkan dalam kondisi seperti ini?. Apakah pemerintah
yang tidak dapat menyalurkan bantuan kepada orang-orang yang tepat atau
masyarakat Indonesia yang yang egois dan rakus ?. Entahlah. Semoga Indonesia
segera pulih dan perekonomiannya bangkit kembali J