Lika-Liku Permasalahan Wakaf
Oleh : Anindya Pangestuti
Kalian pasti sudah sering
mendengar kata wakaf atau mungkin kalian belum pernah mendengarnya? Jadi apa
itu wakaf? Wakaf adalah sedekah
jariyah, yakni menyedekahkan harta kita untuk kepentingan
ummat. Harta Wakaf tidak boleh berkurang nilainya, tidak boleh dijual dan tidak
boleh diwariskan. Karena wakaf pada hakikatnya adalah menyerahkan kepemilikan
harta manusia menjadi milik Allah atas nama ummat (tabungwakaf.com).
Karena wakaf ini termasuk sedekah jariyah maka pahala wakaf ini akan terus
mengalir meskipun orang yang berwakaf (al-waqif) telah meninggal dunia selama
sesuatu yang diwakafkan tersebut masih dimanfaatkan oleh masyarakat.
Selain itu,
berwakaf juga mempunyai banyak manfaat bagi yang mewakafkan dan masyarakat. Apa
aja manfaat dari wakaf? Manfaatnya yaitu dapat mensucikan harta, membantu
meringankan beban orang lain, menumbuhkan jiwa sosial, rasa kasih sayang
terhadap sesama, dan sikap zuhud, sikap zuhud adalah sikap dimana seseorang
lebih mementingkan urusan akhirat daripada urusan dunia atau kekayaan harta,
dan tentu masih banyak lagi manfaat dari wakaf.
Jika
berbicara tentang wakaf, pernah terfikirkan tidak oleh kalian apakah dalam
melaksanakan wakaf tersebut ada permasalahan yang terjadi? Jawabannya adalah
tentu ada. Jadi di sini Saya akan membahas salah satu permasalahan dalam wakaf
yaitu “Apakah orang yang berwakaf berhak mendapatkan hasil dari keuntungan
wakafnya?” Contohnya ada orang yang mewakafkan tanahnya untuk dimanfaatkan
masyarakat dengan niat hasilnya untuk membantu kehidupan anak-anak di panti
asuhan dan membantu orang yang kesusahan. Jika suatu ketika ada keuntungan yang
diperoleh dari wakafnya adakah hak orang yang berwakaf mengambil sedikit
keuntungan untuk dirinya pribadi? Dan apakah boleh jika suatu ketika orang yang
berwakaf ini menarik kembali tanah yang diwakafkan?
Jawaban
dari kedua pertanyaan tersebut adalah tidak boleh, karena tanah atau harta yang
telah diwakafkan tersebut sudah tidak menjadi hak milik dari orang yang
mewakafkan jadi tidak ada hak baginya mengambil sedikit atau sebagian
keuntungan dari hasil wakaf tersebut dan tidak berhak baginya untuk menarik
kembali tanah atau harta yang telah diwakafkan. Adapun hadist tentang wakaf
berikut:
إِنِّي أَصَبْتُ
أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ أَنْفَسَ عِنْدِي مِنْهُ فَمَا تَأْمُرُ
بِهِ قَالَ إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا قَالَ فَتَصَدَّقَ
بِهَا عُمَرُ أَنَّهُ لَا يُبَاعُ وَلَا يُوهَبُ وَلَا يُورَثُ وَتَصَدَّقَ بِهَا فِي
الْفُقَرَاءِ وَفِي الْقُرْبَى وَفِي الرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ
وَالضَّيْفِ لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ
وَيُطْعِمَ غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ
Saya mendapat
bagian tanah di Khaibar. Tidaklah kami memiliki harta yang lebih aku senangi
daripada tanah ini. Lalu apa yang engkau perintahkan kepadaku, wahai Nabi?
Beliau menjawab,”Jika engkau menghendaki, engkau wakafkan tanahnya, dan engkau
shadaqohkan hasilnya.” Dia berkata : Lalu Umar mewakafkan tanahnya, bahwa
tanahnya tidak dijual, tidak dihibahkan, tidak diwariskan. Lalu Umar
menyedekahkan hasilnya untuk diberikan kepada kaum fakir, untuk kerabat, untuk
memerdekakan budak, untuk kepentingan jalan Allah, untuk orang yang terputus
bekal bepergiannya, dan untuk menjamu tamu. Yang mengurusinya tidak mengapa
bila dia makan sebagian hasilnya dan memberi makan yang lain, asalkan bukan
menimbun harta. [HR Bukhari, no. 2532].
Jadi
kesimpulannya adalah orang yang berwakaf (al waqif) sudah tidak ada hak dari
tanah/harta yang telah diwakafkan. Lalu apa yang dia dapat? Yang dia dapat
adalah pahala jariyah dan ridho dari Allah. Dan tanah/harta tersebut menjadi
tanggung jawab dari nazir (orang yang menerima wakaf) untuk pemanfaatan dan
pengelolaannya.