Eufemisme Politik
Oleh : Indah Fitriyani
Ketika ramai
perbincangan mengenai “mudik” dan “pulang kampung” bulan lalu, ada yang bilang
bahwa Presiden mengggunakan Bahasa yang ambigu (doublespeak). Penganut paham ini membaca persoalan lebih luas
daripada sekedar beribut mengenai beda atau sama mengenai makna “mudik” dan
“pulang kampung”.
Doublespeak
memandang adanya
pengaburan fakta dari apa yang diucapkan oleh Jokowi. Masalahnya, sangat
dimungkinkan apa yang dikatakan Jokowi pulang kampung (tidak kembali) itu
sekaligus mudik. Artinya mereka yang disebut pulang kampung itu , mereka yang
tidak akan kembali lagi ke ke kota karena sudah tidak ada lagi pekerjaan, bisa
juga nantinya mereka mengadu nasib kembali ke kawasan urban. Secara singkatnya,
bisa jadi orang-orang memang pulang kampung, atau bisa jadi mudik.
Pemerintah setidaknya
memiliki alasan jika disalahkan dalam membedakan antara pulang kampung dan
mudik. Disini doublespeak memerankan
eufemisme, dan eufemisme sudah sangat biasa digunakan dalam panggung-panggung
politik. Jadi, pulang kampung merupakan sedikit pengahalusan dari mudik.
Secara etimologis,
menurut Gorys Keraf, kata eufemisme diturunkan dari kata euphemizein yang
berarti menggunakan kata-kata dengan arti yang baik atau dengan tujuan yang baik. Bahasa politik sungguh berbeda dengan
Bahasa-bahasa lain. Bahasa politik sering kali bias dan tidak lugas. Karena
itu, kerap muncul anekdot bahwa politik membuat sesuatu yang mudah menjadi hal
rumit. Seperti eufemisme, salah satu hal Bahasa politik yang menjadikan rumit,
bias, dan tidak lugas.