“ Katakankanlah,”Apakah akan aku jadikan pelindung selain
dari Allah yang menjadikan langit dan bumi, padahal Dia memberi makan dan tidak
diberi makan?’ katakanlah, Sesungguhnya aku diperintahkan supaya aku menjadi
orang yang pertamakali menyerah diri (kepada Allah), dan jangan sekali-kali
kamu masuk golongan orang-orang musyrik.’” (Al An’am:14)
PEMBAHASAN PERTAMA
Kronologi Perkembangan Akuntansi Di Dunia Islam
Vangermeersch
memandang bahwa tempat tumbuhnya sistem pencatatan sisi-sisi transaksi (double
entry) masih diperdebatkan. (Berton, 1933, hal.1). Hal ini berarti bahwa
dia tidak menerima bahwa tempat tumbuhnya sistem tersebut di Republik Itali.
Dia beralasan bahwa sistem pencatatan sisi-sisi transaksi dalam buku-buku
akuntansi, yang merupakan suatu metode untuk memilah-milah data sesuai dengan
kaidah-kaidah khusus yang telah dikenal secara umum (Have, 1976, hal. 5--6).
Berdasarkan hal tersebut, sebagian peneliti memandang bahwa masih diragukan,
sistem pencatatan sisi-sisi transaksi dalam bentuk yang kita kenal sekarang ini
atau yang mendekati hal itu telah dipraktikan secara meluas pada abad XIV (Weis
and Tinuis, 1991, hal. 54), yakni mereka meragukan adanya praktik tersebut
secara meluas di Itali pada abad XIV, terutama Pacioli hanya menyebutkan adanya
praktik secara meluas tanpa menentukan tempatnya. Keraguan ini pada kenyataannya
beralasan. Alasan pertama, yaitu kosongnya masa sejarah dari sejarah akuntansi,
yaitu masa yang terjadi antara lenyapnya negeri antara dua sungai dan negeri
Mesir di dunia Arab sampai abad XV secara umum. Secara khusus, ketika Pacioli
menyebarkan bukunya yang mengandung satu bab tentang akuntansi, yaitu pada
tanggal 10 Nopember 1494 M. Kekosongan ini hampir mendekati dua ribu tahun.
Alasan kedua, yaitu penggunaan sistem pencatatan sisi-sisi transaksi secara
luas tidak diragukan lagi mengharuskan adanya suatu praktik kerja dan
pusat-pusat pelatihan yang mampu mencetak pribadi-pribadi yang ahli dan mampu
menggunakan sistem ini secara luas. Pada kenyataannya, pusat-pusat pelatihan
semacam itu tidak ada di Itali, kecuali pada akhir abad XVI, yaitu setelah
kurang lebih dua abad dari munculnya buku Pacioli. Pusat pelatihan para akuntan
yang pertama di Itali didirikan di kota Venice pada tahun 1581
M., dan dikenal dengan nama Colege of Accountans. Setelah para peserta studi
menerima ilmu dari lembaga tersebut, mereka diharuskan untuk berlatih (praktik
kerja) di kantor-kantor akuntan yang telah teruji selama enam tahun, setelah
itu, mereka diuji sebelum dapat mempraktikkan profesi akuntansi secara mandiri.
(American Institute of Certified Accountants, 1970, hal.3) Demikian pula
praktik kerja belum memiliki wujud yang diperhatikan sebelum munculnya buku
Pacioli. Hal ini kembali pada keterbelakangan ilmu yang dialami Eropa pada saat
itu, yang dikenal dengan masa kegelapan.
Di antara yang patut diperhatikan adalah Pacioli menyebutkan
di dalam bukunya bahwa sistem pencatatan sisi-sisi transaksi telah ada sejak
masa yang lama (Murray, 1930, hal. 16), tetapi ia tidak menyebutkan sejak kapan
dan di mana sistem ini telah ada sejak lama. Apakah hal itu di dalam Republik Itali
pada saat itu, ataukah di tempat lain. Demikian juga salah seorang peneliti, De
Rover, berpendapat bahwa bab yang terdapat di dalam buku Pacioli tentang
akuntansi hanyalah suatu bentuk nukilan dari apa yang ada pada saat itu beredar
di antara para murid dan guru di sekolah aritmetika dan perdagangan (Venetian
Schole) atau dalam bahasa Inggris Schools of Commerce and Arithmetic. Dengan
demikian, Pacioli hanyalah penukil (Transcriber ) atau pencatat terhadap apa
yang beredar pada saat itu (Chatfield, 1968, hal. 45). Sesungguhnya ucapan ini
tampak diterima oleh akalnya, namun terganjal oleh adanya hubungan antara para
pedagang muslim dan para pedagang Itali. Tetapi, pertanyaan yang muncul adalah:
Siapakah yang menemukan sistem pencatatan sisi-sisi transaksi? Di mana hal itu?
Dan bagaimana sistem ini bisa beralih ke tangan orang-orang Itali?
Mungkin
dapat dikatakan bahwa pada saat Eropa hidup pada masa kegelapan, kaum muslimin
telah menggunakan akuntansi dan ikut andil dalam mengembangkannya. Sementara
itu, peradaban Islam, dalam pertumbuhan dan perkembangannya, berdiri di atas
asas kebahagiaan manusia melalui hal-hal yang sesuai dengan syari’at Islam dan
hal-hal yang dapat merealisasikan bagi manusia integrasi antara
tuntutan-tuntutan spiritual dan tuntutan-tuntutaan material. Hal ini dalam
rangka mengamalkan firman Allah Ta’ala:
“ Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu
dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana
Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di
(muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan.” (Al Qashash :77).
Orang-orang Arab, terutama di Makah, kemudian kaum muslimin
setelah itu, menggunakan akuntansi untuk menentukan keuntungan dengan mengukur
kelebihan yang ada pada aset mereka. Peradaban Islam selamanya telah disifati
sebagai peradaban Arab. Tampaknya, hal ini dikarenakan kaum musliimin menggunakan
bahasa Arab, yang merupakan bahasa AlQur’an. Di samping itu,karena orang-orang
Arab adalah para pedagang yang tangguh di Eropa, Afrika, dan Asia. Pada
hakikatnya, peradaban yang dikenal oleh masa Islam adalah bersumber dari Islam,
dan pembangunnya adalah kaum muslimin. Peradaban Islam ini, dengan segala
karakter, arah pandang, dan sumbernya, berbeda dengan seluruh peradaban
sebelumnya dan yang sesudahnya. Oleh karena itu merupakan suatu kesalahan,
mengatakan bahwa ia adalah peradaban Arab. Ia adalah peradaban Islam yang belum
pernah ada bandingannya di dunia ini, sebelum dan sesudahnya. Di samping itu,
Islam menolak fanatisme golongan, maka orang-orang yang ikut andil dalam
membangun peradaban Islam bukan saja orang-rang
Arab. Bahkan, banyak dari ilmu yang ditemukan dan
dikembangkan oleh kaum Muslimin non-Arab. Dengan demikian tidak boleh
menyandarkan peradaban Islam kepada orang-orang Arab saja atau kepada kelompok
tertentu selain mereka. Kaum muslimin memiliki pengaruh yang besar terhadap
orang-orang yang dijumpainya dari berbagai macam bangsa, melalui perjalanan
dagang mereka. Sebagai contoh kami sebutkan pengaruh para pedagang Yaman
terhadap orang Indonesia dan Malaysia, yakni mereka itu
berpindah agama, dari Budha ke Islam.
Demikian
pula, banyak orang-orang Eropa yang mengunjungi dunia Islam terpengaruh dengan
apa yang mereka rasakan di negeri Islam. Banyak di antara mereka yang masuk
Islam ketika mereka merasakan kekuatan pendorong yang merubah orang-orang badui
yang memeluk Islam menjadi ulama’ dan pemimpin. Sebagian peneliti telah
merasakan pengaruh peradaban Islam dan kaum muslimin terhadap dunia, yakni
salah seorang dari mereka mengatakan bahwa para pedagang Itali telah
menggunakan huruf-huruf Arab (Have, 1976, hal. 33), di samping angka-angka Arab
juga. Di samping itu, sebagian penulis memandang bahwa sistem pencatatan
sisi-sisi transaksi yang dikenal dengan sistem pembukuan ganda (double entry)
telah dikenal oleh penduduk dahulu, dan sistem ini tersebar di Itali melalui perdagangan.
Demikian pula bahwa di sana terdapat beberapa peristiwa yang
menunjukkan bahwa orang-orang terdahulu telah mencatat pemasukan dan
pengeluaran tunai pada lembaran-lembaran yang berhadapan dengan sistem debet
dan kredit. (Heaps, 1985, hal. 19--20). Tidak diragukan lagi, mereka itu adalah
orang-orang Arab terdahulu sebelum Islam, di Babilonia, Mesir, lalu di Hijaz,
setelah itu diikuti oleh kaum muslimin. Demikian pula perkataan peneliti ini
bahwa sistem pencatatan sisi-sisi transaksi telah tersebar di Itali melalui
perdagangan, yang dimaksudkan adalah melalui kaum muslimin. Sebab, kaum
muslimin pernah menjalin hubungan dagang yang kuat dengan orang-orang Itali;
dan tidak ada seorang pun yang mendahului mereka dalam melakukan hal itu, sejak
Eropa keluar dari masa kegelapan.
Tahun 1202 M. adalah tahun dimasukkannya angka-angka Arab
dan aritmetika--yang keduanya ditemukan oleh kaum muslimin--ke Eropa, yaitu
melalui buku yang ditulis oleh Leonardo of Pisa Putra Bonnaci (Fibonnaci) yang
banyak melakukan perjalanan ke dunia Arab. (Brown, 1968, hal.11). Tentu saja,
hal ini bukan berarti akuntansi tidak sampai ke Itali melalui para pedagang
muslim, sebelum tahun 1202 M. Sebab, sangat memungkinkan, hubungan dagang dan
akibat yang ditimbulkannya seperti adanya hubungan cinta kasih antara kaum
muslimin dan orang-orang orang Itali telah membuka jalan bagi
penggunaan angka-angka Arab dalam skala yang terbatas, sehingga buku Leonardo
of Pisa mendapatkan sambutan yang baik ketika terbit. Buku Leonardo of Pisa memuat
bab-bab tentang aritmetika yang menjelaskan cara penjumlahan, pengurangan,
menentukan harga, barter dan persekutuan-persekutuan terutama yang serupa
denganSyirkah Tadlamun. Buku ini mendapatkan
perhatian besar dari para pedagang, karena menyajikan cara baru penomoran dari
satu sampai sepuluh. Cara ini tidak akan disajikan kepada orang-orang Eropa di
Itali kecuali setelah nyata berhasil penerapannya di negara Islam di sisi
penemunya, kaum muslimin. Dengan sistem ini, masalah-masalah akuntansi yang
dihadapi oleh para pedagang pada saat itu berhasil diselesaikan. Secara umum,
bahasa Arab adalah bahasa yang populer di dunia Islam. Sebagian
wilayah Islam bahasanya bukan bahasa Arab, namun bahasa mereka ditulis dengan
huruf-huruf Arab. Sebagian studi menunjukkan bahwa huruf-huruf Arab digunakan
dalam 39 bahasa selain bahasa Arab, di Asia. Afrika dan Eropa. Di antara
bahasa-bahasa Asia yang menggunakan hurup Arab adalah bahasa Turki, Parsi,
Azerbaijan, Kurdi, Afganistan, Hindustan, Kashmir, Punjab, Urdu, Tamil, India,
Usbek, Jawa, Sunda, Melayu, Sulawesi dan Indonesia. Adapun bahasa-bahasa Afrika
yang ditulis dengan huruf-huruf Arab antara lain : Qubataliyah, Syalhaniyah,
Sawahiliyah, Bumbariyah, Fulaqiyah, Susatiyah, Ghambiyah, dan Fayarijiyah.
Sedangkan di Eropa, bahasa yang menggunakan huruf Arab antara lain: Sanukan,
Qazan, dan Qumnuk (Hawaditus Sa’ah, 1995, No. 52). Sebagaimana telah dikatakan,
orang-orang Eropa dan orang-orang Amerika mengkaitkan
peradaban Islam dengan orang-orang Arab boleh jadi dikarenakan orang-orang Arab
menjadi pelopor dalam penyebaran agama Allah, Islam. Di samping menyebarkan
agama Allah, mereka juga menyajikan peradaban mereka yang tumbuh dan berkembang
dari celah-celah Islam. Di antaranya adalah perdagangan, dan ilmu-ilmu yang lain..
Hal ini ditegaskan oleh salah seorang peneliti bahwa orang-orang Arab yang
datang dari timur ke Eropa telah membawa dagangan mereka yang
bermacam-macam, berbagai penemuan mereka dalam ilmu pengetahuan, dan
matematika. (Woolk, 1912, hal. 54).
Peradaban
Islam telah tumbuh dan berkembang sesuai dengan tuntutan-tuntutan syari’at
Islam yang berasaskan pada Al Qur’an dan As Sunnah. As Sunnah mengandung
seluruh ucapan, perbuatan, dan ketetapan Rasulullah Muhammad bin Abdillah
shallahu `alaihi wasallam, sebagaimana yang dihafal oleh para sahabat
ridlwanullah ‘alaihim. Sangat disayangkan, kita dapati sebagian penulis dari
kalangan non Islam tidak berusaha memahami Islam secara benar, dan
mengulang-ulang pendapat yang tidak sesuai dengan kedudukan ilmiah mereka tanpa
memikirkan hasil dari apa yang mereka tulis. Di antaranya adalah definisi yang
mereka kemukakan tentang Rasul Muhammad shallallahu `alaihi wasallam, yaitu
seorang pemimpin yang di dalam tulisan-tulisan sastranya memberikan banyak
pengetahuan dan hikmah kepada para pengikutnya. (Haskins, 1900, hal. 11).
Dengan definisi tersebut, mereka mempunyai maksud bahwa Al Qur'an bukan dari
sisi Allah. Salah satu penelitian modern yang dilakukan oleh salah
seorang peneliti Muslim bersama para peneliti Barat menunjukkan
bahwa manfaat yang mungkin dipetik dari Islam dalam pengembangan akuntansi dan
kerangka perdagangan tidak dapat diambil manfaatnya, setelah dilakukan
penelitian yang mendalam.(Hamid et al, 1993, hal 132). Hal ini menunjukkan
bahwasanya sangat mendesak, kebutuhan untuk memberikan pemahaman kepada
orang-orang non muslim, terutama para pemikir mereka, tentang hakikat Islam dan
apa saja yang dapat dipersembahkan kepada manusia, di samping apa yang telah
dipersembahkan kepada mereka melalui berbagai ilmu pengetahuan yang dijadikan
asas oleh orang-orang Barat dalam meraih kemajuan ilmu pengetahuan mereka.
Di
antara karya-karya tulis yang menegaskan penggunaan akuntansi dan
pengembangannya di negara Islam, sebelum munculnya buku Pacioli, adalah adanya
manuskrip yang ditulis pada tahun 765 H./1363 M. Manuskrip ini adalah karya
seorang penulis muslim, yaitu Abdullah bin Muhammad bin Kayah Al Mazindarani,
dan diberi judul “Risalah Falakiyah Kitab As Siyaqat”. Tulisan ini disimpan di
perpustakaan Sultan Sulaiman Al-Qanuni di Istambul Turki, tercatat di bagian
manuskrip dengan nomor 2756, dan memuat tentang akuntansi dan sistem akuntansi
di negara Islam. Huruf yang digunakan dalam tulisan ini adalah huruf Arab,
tetapi bahasa yang digunakan terkadang bahasa Arab, terkadang bahasa Parsi dan
terkadang pula bahasa Turki yang populer di Daulat Utsmaniyah,. Buku ini telah
ditulis kurang lebih 131 tahun sebelum munculnya buku Pacioli. Memang, buku
Pacioli termasuk buku yang pertama kali dicetak tentang sistem pencatatan
sisi-sisi transaksi (double entry), dan buku Al Mazindarani masih dalam bentuk
manuskrip, belum di cetak dan belum diterbitkan.
Al Mazindarani berkata bahwa ada buku-buku--barangkali yang
dimaksudkan adalah manuskrip-manuskrip--yang menjelaskan aplikasi-aplikasi
akuntansi yang populer pada saat itu, sebelum dia menulis bukunya yang dikenal
dengan judul :”Risalah Falakiyah Kitab As Sayaqat”. Dia juga mengatakan bahwa
secara pribadi, dia telah mengambil manfaat dari buku-buku itu dalam menulis
buku “Risalah Falakiyah” tersebut. Dalam bukunya yang masih dalam bentuk
manuskrip itu, Al Mazindarani menjelaskan hal-hal beriktu ini:
· Sistem
akuntansi yang populer pada saat itu, dan pelaksanaan pembukuan yang khusus
bagi setiap sistem akuntansi.
· Macam-macam
buku akuntansi yang wajib digunakan untuk mencatat transaksi keuangan.
· Cara
menangani kekurangan dan kelebihan, yakni penyetaraan.
Menurut Al Mazindarani, sistem-sistem akuntasni yang populer
pada saat itu, yaitu pada tahun 765 H./1363 M. antara lain:
· Akuntansi
Bangunan.
· Akuntansi
Pertanian.
· Akuntansi
Pergudangan
· Akuntansi
Pembuatan Uang.
· Akuntansi
Pemeliharaan Binatang.
Al Mazindarani juga menjelaskan pelaksanaan pembukuan yang
populer pada saat itu dan kewajiban-kewajiban yang harus diikuti. Di antara
contoh pelaksanaan pembukuan yang disebutkan oleh Al-Mazindarani adalah sebagai
berikut:” Ketika menyiapkan laporan atau mencatat di buku-buku akuntansi harus
dimulai dengan basmalah, “Bismillahir Rahmanir Rahim”.
Jika hal ini yang dicatat oleh Al Mazindarani pada tahun 765 H./1363 M., maka
hal ini pula yang disebut oleh penulis Itali, Pacioli 131 tahun kemudian.
Pacioli berkata, “harus dimulai dengan ungkapan “Bismillah’.” (Brown and
Johnson, 1963, hal. 28)
Salah
seorang penulis muslim juga menambahkan pelaksanaan pembukuan yang pernah
digunakan di negara Islam, di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Apabila di dalam buku
masih ada yang kosong, karena sebab apa pun, maka harus diberi garis pembatas,
sehingga tempat yang kosong itu tidak dapat digunakan. Penggarisan ini dikenal
dengan nama Tarqin.
2. Harus mengeluarkan
saldo secara teratur. Saldo dikenal dengan nama Hashil.
3. Harus mencatat
transaksi secara berurutan sesuai dengan terjadinya.
4. Pencatatan transaksi
harus menggunakan ungkapan yang benar, dan hati-hati dalam menggunakan
kata-kata.
5. Tidak boleh mengoreksi
transaksi yang telah tercatat dengan coretan atau menghapusnya. Apabila seorang
akuntan (bendaharawan) kelebihan mencatat jumlah suatu transaksi, maka dia
harus membayar selisih tersebut dari kantongnya pribadi kepada kantor. Demikian
pula seorang akuntan lupa mencatat transaksi pengeluaran, maka dia harus
membayar jumlah kekurangan di kas, sampai dia dapat melacak terjadinya
transaksi tersebut. Pada negara Islam, pernah terjadi seorang akuntan lupa
mencatat transaksi pengeluaran sebesar 1300 dinar, sehingga dia terpaksa harus
membayar jumlah tersebut. Pada akhir tahun buku, kekurangan tersebut dapat
diketahui, yaitu ketika membandingkan antara saldo buku bandingan dengan saldo
buku-buku yang lain, dan saldo-saldo bandingannya yang ada di kantor.
6. Pada akhir tahun buku,
seorang akuntan harus mengirimkan laporan secara rinci tentang jumlah
(keuangan) yang berada di dalam tanggung jawabnya, dan cara pengaturannya
terhadap jumlah (keuangan) tersebut.
7. Harus mengoreksi
laporan tahunan yang dikirim oleh akuntan, dan membandingkannya dengan laporan
tahun sebelumnya dari satu sisi, dan dari sisi yang lain dengan jumlah yang
tercatat di kantor.
8. Harus mengelompokkan
transaksi-transaksi keuangan dan mencatatnya sesuai dengan karakternya dalam
kelompok-kelompok yang sejenis, seperti mengelompokkan dan mencatat pajak-pajak
yang memiliki satu karakter dan sejenis dalam satu kelompok.
9. Harus mencatat
pemasukan di halaman sebelah kanan dengan mencatat sumber-sumber
pemasukan-pemasukan tersebut.
10. Harus mencatat pengeluaran di
halaman sebelah kiri dan menjelaskan pengeluaran-pengeluaran tersebut.
11. Ketika menutup saldo, harus
meletakkan suatu tanda khusus baginya.
12. Setelah mencatat seluruh
transaksi keuangan, maka harus memindahkan transaksi-transaksi sejenis ke dalam
buku khusus yang disediakan untuk transaksi-transaksi yang sejenis itu saja.
13. Harus memindahkan
transaksi-transaksi yang sejenis itu oleh orang lain yang berdiri sendiri,
tidak terikat dengan orang yang melakukan pencatatan di buku harian
dan buku-buku yang lain.
14. Setelah mencatat dan memindahkan
transaksi-transaksi keuangan di dalam buku-buku, maka harus menyiapkan laporan
berkala, bulanan atau tahunan sesuai dengan kebutuhan. Pembuatan laporan itu
harus rinci, menjelaskan pemasukan dan sumber-sumbernya serta pengalokasiannya.
(Muhammad Al Marisi Lasyin, 1973, hal. 163--165)
Kalau
kita perhatikan pelaksanaan pembukuan tersebut, seluruhnya atau secara umum
serupa dengan apa yang digunakan sekarang, terutama poin 9 dan 10. Sebelumnya
telah disinggung, salah seorang penulis menyatakan bahwa orang-orang terdahulu
mencatat pemasukan dan pengeluaran pada dua halaman yang berhadap-hadapan,
dengan sistem debet dan kredit. (Heaps, 1985, hal. 19--20). Sesungguhnya
pelaksanaan pembukuan yang telah disebutkan di sini secara umum, khususnya poin
9 dan 10, menggambarkan bentuk tertentu yang memberikan andil dengan suatu
sistem atau dengan yang lain dalam pengembangan sistem pencatatan sisi-sisi
debet di sebelah kiri dan sisi-sisi kredit di sebelah kanan, baik dalam satu
halaman maupun dua halaman yang berhadap-hadapan.
Di
samping apa yang telah disebutkan di atas, perkembangan akuntansi mencakup
penyiapan laporan keuangan, karena negara Islam telah mengenal laporan keuangan
tingkat tinggi. Laporan keuangan ini pernah dibuat berdasarkan fakta buku-buku
akuntansi yang digunakan. Di antara laporan keuangan yang terkenal di negara
Islam adalah Al-Khitamah dan Al Khitamatul Jami’ah. Al
Khitamah adalah laporan keuangan bulanan yang dibuat pada setiap akhir bulan.
Laporan ini memuat pemasukan dan pengeluaran yang sudah dikelompokkan sesuai
dengan jenisnya, di samping memuat saldo bulanan. Sedangkan Al-Khitamatul
Jami’ah adalah laporan keuangan yang dibuat oleh seorang akuntansi untuk
diberikan kepada orang yang lebih tinggi derajatnya. Apabila Al-Khitamatul
Jami’ah disetujui oleh orang yang menerima laporan tersebut, maka laporan itu
dinamakan Al Muwafaqah. Dan apabila Al Khitamatul Jami’ah
tidak disetujui karena adanya perbedaan pada data-data yang dimuat oleh Al
Khitamatul Jami’ah, maka ia dinamakan Muhasabah (akuntansi)
saja. (Muhammad Al Marisi Lasyin, 1973, hal. 138)
Berikut ini adalah contoh-contoh dari Al Khitamah
:
Bismillaahirrahmaanirahiim
Laporan keuangan per 1 Muharam sampai 30 Dzul Hijjah tahun
.. H.
Sumber-Sumber Keuangan:
a) Pajak-pajak
dari ... tanggal
...... 000
b) Pemasukan
dari .. . tanggal ...... 000
Di samping itu adalah :
a) Pindahan
dari tahun buku yang
lalu 000
b) Penjualan-penjualan 000
c) Denda-denda 000
d) Wesel-wesel 000
_____
Jumlah 000
Penggunaan Dana
a) Wesel-wesel
ke kantor lain 000
b) Pembelian-pembelian
kantor 000
c) Pengeluaran-pengeluaran
lain 000
____ 000
Saldo 000
Kalau
kita perhatikan contoh laporan yang dikenal dengan nama Al Khitamah tersebut,
sesungguhnya hal itu serupa dengan apa yang sekarang ini dikenal dengan nama Qoimatu
Mashadir Wastikhdamatil Amwal (Daftar Sumber dan Penggunann Keuangan).
Hal ini menunjukan bahwa Al Khitamah adalah sumber rujukan bagi daftar yng
digunakan sekarang ini, dan telah ada serta digunakan sejak berabad-abad yang
silam.
Sesungguhnya
pembuatan laporan keuangan di negara Islam harus bersandar pada
dokumen-dokumen yang mempertegas keberadaan dan kebenaran data-data
yang dijadikan dasar untuk membuat laporan. Negara Islam telah mengenal penting
pemenuhan dokumen-dokumen yang memadai untuk setiap transaksi.
Sistem
dokumentasi termasuk tuntunan syar’i yang asasi sesuai dengan
Al-Qur’anul Karim yang merupakan sumber asasi dan utama dalam syariat Islam.
Sebaik-baik mengenai hal itu adalah firman Allah ‘Azza Wa Jalla :
“ . . . . .dan janganlah kamu
jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya
. . . . .”
“ . . . . . . dan persaksikanlah apa bila kamu berjual beli,
dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan .. . . . . “ (Al
Baqarah : 282)
Berdasarkan hal tersebut, maka merupakan suatu keharusan
memenuhi dokumen-dokumen secara sempurna sebelum mencatat transaksi
keuangan apa pun di dalam buku. Hal ini diperkuat oleh apa yang ditemukan di
dalam perpustakaan Mesir, yaitu adanya bukti tanda terima (receipt) dari zaman
negara Islam, yang didalamnya tertera tahun 148 H./756 M. receipt ini telah
memenuhi persyaratan yang dituntut pada saat itu, dan sesuai dengan apa yang
digunakan pada waktu sekarang. Hal ini merupakan bukti lain tentang kemajuan
sistem akuntansi dan sistem dokumentasi masa negara Islam
dalam bentuk yang tiada duanya. Bahkan, pengelolaan bukti transaksi pada masa
kita sekarang ini hampir sesuai dengan apa yang digunakan pada masa negara
Islam sejak abad I H.
Receipt-receipt
yang berlaku pada masa negara Islam harus memenuhi persyaratan, yaitu memuat
data-data pokok, yang di antaranya adalah : tanggal pengeluaran, jumlah, tempat
pengeluaran, saksi transaksi, nama, tanda tangan dan sebab-sebab pembayaran.
(Muhammad Al Marisi Lasyin, 1973, hal. 144 --145). Persyaratan tersebut,
yang berlaku pada masa negara Islam sejak abad II H. atau abad VIII
M. adalah persyaratan yang berlaku sekarang ini, pada akhir abad XX M. Namun
sumber-sumber Barat tidak menyebutkan sumber data-data yang digunakan pada masa
sekarang ini, sebagaimana halnya Pacioli tidak menyebutkan sumber tulisannya.
Ketika
mengeluarkan receipt, yang digunakan pada masa negara Islam, receipt yang asli
diberikan kepada yang membayar jumlah tersebut. Receipt yang asli ini
dinamakan thiraz. Sedangkan salinan receipt tersebut tidak dapat digunakan sebagai dasar pencatatan di dalam buku akuntansi. Sebab, pencatatan di
dalam buku-buku akuntansi bersandar pada dokumen-dokumen lain, yang dikenal dengan nama syahid. syahid ini termasuk
dari dokumen-dokumen lain seperti receipt. Dengan demikian syahid menggambarkan tentang journal voucher. syahid ini
dibuat oleh seorang akuntan disetujui oleh pimpinan kantor, atau menteri atau
wakilnya. Persetujuan ini termasuk suatu bentuk perizinan untuk menggunakan syahid sebagai
asas pencatatan di dalam buku. Persetujuan pimpinan kantor, atau menteri atau
wakilnya dengan menulis kata “yuktab (dicatat)”. Dengan adanya persetujuan
terhadap syahid itu, seorang akuntan melakukan pencatatan
transaksi-transaksi di dalam buku-buku berdasarkan realitas syahid itu.
Kemudian, akuntan tersebut menyimpan syahid tersebut dan tetap
menjadi tanggung jawabnya sebagai petunjuk untuk transaksi-transaksi keuangan
di dalam buku-buku akuntansi, melalui pemberian kuasa oleh pimpinan kantor,
atau materi atau wakilnya.
Apabila transaksi keuangan telah terjadi di luar ibu kota wilayah
Islam, maka pelaksanaan seperti di atas harus diikuti juga dengan mengirimkan
salinan syahid,ke ibu kota wilayah Islam. Ketika menerima
salinan syahid, maka sulthan, (penguasa) memberikan stempel
pada salinan syahid tersebut, atau disimpan sebagai dasar
untuk pelaksanaan pembukuan kantor pusat. Hal ini menunjukan bahwa disana
terdapat kegandaan dalam pencatatan transaksi keuangan yang terjadi di luar
tempat tinggal sulthan, di ibu kota wilayah. Tampaknya istilah yang
dikenal dengan Al Qaidul Muzdawaj (Pembukuan Ganda/Double
Entry) dalam bahasa-bahasa asing, yang dicetuskan oleh buku Pacioli, boleh jadi
bersumber dari hal ini. Ini hanya sekadar kesimpulan dari kami, dan kami tidak
memiliki bukti pendukung yang mempertegas penggunaan istilah ini di dalam
negara Islam. Di antara dalil-dalil lain yang menunjukkan perkembangan
akuntansi di dalam negara Islam adalah adanya tuntutan asasi yang menghendaki
pentingnya penyimpanan buku-buku dan dokumen-dokumen yang berkaitan
dengannya secara sistematis, juga tuntutan untuk membuat indeks buku-buku dan
dokumen-dokumen secara sistematis agar mudah dilihat sewaktu
diperlukan, setelah selesai pencatatan di buku-buku dan selesai penyempurnaan
penyimpanan dokumen-dokumen di map-map. Di samping itu, membuka buku-buku
dan dokumen-dokumen tersebut, setelah tutup buku, harus
memenuhi persyaratan tertentu yang intinya menghendaki pentingnya persetujuan
salah seorang pegawai senior di kantor itu. (Ibid , hal. 147 )
Di
antara perkara lain yang memiliki pengaruh terhadap sistem akuntasi dan
mendapatkan perhatian besar di negara Islam adalah Sistem Pengawasan Intern
yang merupakan bagian penyempurna bagi sistem akuntansi. Sejak awal, negara
Islam telah memiliki sistem pengawasan yang ketat terhadap pemasukan-pemasukan
dan pengeluaran-pengeluaran, karena pemasukan negara Islam tidak saja berasal
dari berbagai sumber, tetapi juga memiliki jumlah yang besar sekali. Sistem
pengawasan yang diperlukan bagi sistem akuntansi dirancang dengan cara
menampakan kekurangan macam apa pun di dalam kas negara secara langsung melalui
ketidakseimbangan buku-buku. Di antara yang patut disebutkan adalah salah
seorang sahabat yang mulia, yaitu ‘Amir Ibnul Jarrah berkirim surat kepada
Amirul Mu’minin Khalifah Umar Ibnul Khaththab, radliyallahu’anhu, menjelaskan
adanya kekurangan di Baitul Mal sebesar satu dirham. (Ibid , hal . 13). Hal ini
menunjukkan kehebatan sistem yang digunakan pada saat itu, dari satu sisi, dan
dari sisi yang lain menunjukkan efektivitasnya. Demikian pula, Al Mazindarani
di dalam bukunya pada tahun 765 H./ 1363M., menyebutkan bahwa sistem pengawasan
intern memiliki signifikansi, dan digunakan di seluruh kantor . Hal inilah yang
menegaskan bahwa Pacioli bukanlah orang pertama yang memberikan perhatian pada
sistem pengawasan intern; juga termasuk sesuatu yang menunjukkan adanya
hubungan antara manuskrip Al Mazindarani dan buku Pacioli, dari sisi
kemungkinan Pacioli bersandar pada apa yang terdapat di dalam manuskrip Al Mazindarani.
Dari apa yang telah ditemukan mungkin dapat dikatakan bahwa
perkembangan sistem akuntansi, pelaksanaan pembukuan, penentuan buku-buku
akuntansi, sistem dokumentasi, laporan keuangan, dan sistem pengawasan intern
di dalam negara Islam telah memberikan andil dalam mewujudkan sistem pencatatan
sisi-sisi transaksi (double entry) dan perkembangnya. Namun, istilah
yang kami gunakan ini, yaitu sistem pencatatan sisi-sisi transaksi, atau
istilah yang dikenal dengan sistem pembukuan ganda (double entry) tidak
digunakan di dalam negara Islam. Tetapi dapat kita simpulkan, sebagaimana telah
dikemukakan, bahwa kegandaan pembukuan di setiap ibu kota wilayah dan
tempat terjadinya transaksi boleh jadi merupakan penyebab timbulnya penggunaan
istilah yang dikenal dengan pembukuan ganda (double entry). Ini dari sisi
penggunaan istilah. Adapun dari sisi praktik, maka sistem pencatatan
sisi-sisi transaksi dari segi pelaksanaan pembukuan, bukan dari segi
penamaannya, telah dicatat oleh Al Mazindarani di dalam bukunya pada tahun 765
H. /1363 M., namun dalam bentuk yang berbeda dengan apa yang disebutkan oleh
buku Pacioli. Tetapi, perbedaannya tidak menyentuh inti pencatatan
sisi transaksi . perbedaan ini hanya terjadi pada cara pengungkapan tentang
sisi-sisi transaksi, sebagaimana terlihat jelas pada contoh-contoh berikut ini
:
Contoh Pertama
Tampaknya, contoh pertama ini sangat sulit dibaca, demikian
juga contoh-contoh yang lain, karena tulisan itu sangat lama. Contoh-contoh ini
terdapat di dalam manuskrip Al Mazindarani halaman 28 a. dan 28 b. Penulisan
ulang (terjemahan) bagian-bagian tersebut mungkin penting bagi kita, yaitu
sebagai berikut :
Upah-upah
Atas
jaminan Al Fanar
Tanggal
10 Jumadil Akhir 841 H.
Dibayarkan
kepada Abdullah, pegawai pencetakan uang
Uang
tunai yang dibayarkan 500 dinar
Gandum Kapas
15 ember kecil x 3 dinar = 45
dinar 22 mann x 2,5 dinar = 55
dinar
Jumlah nilai barang dan uang tunai 600
dinar.
Dari penjelasan contoh pertama sebagaimana yang telah
dikemukakan di atas, maka kita dapat memahami bahwa telah dilakukan pembayaran
sejumlah 500 dinar secara tunai dan sejumlah 100 dinar dalam bentuk barang,
yaitu 15 ember kecil gandum seharga 3 dinar per ember kecil. Jadi jumlah harga
gandum yang dibayarkan kepada Abdullah adalah 45 dinar. Di samping itu, 22 mann
kapas dengan harga 2,5 dinar per mann (seberat 2 kati). Jadi, jumlah
harga kapas yang dibayarkan adalah 55 dinar. Dengan demikian total nilai barang
yang dibayarkan adalah 45+55 = 100 dinar. Contoh pertama ini mungkin
diungkapkan dengan bahasa lebih sederhana sebagai berikut :
-Upah yang dibayarkan secara tunai
: 500
dinar
-Upah yang dibayarkan dalam bentuk barang: 100
dinar
-Gandum
15 ember kecil @
3 dinar 45
-Kapas
22
mann @
2,5 dinar 55 ___
Total
upah yang
dibayar 600
dinar
Hal ini mungkin dapat diungkapkan dengan cara sekarang,
sesuai dengan sistem akuntansi, yaitu sebagai berikut :
Dinar Dinar
Upah 600
Kas 500
Gudang 100
Gandum 15 ember kecil @ 3 dinar 45
dinar
Kapas
22 mann @ 2,5 dinar 55 dinar ___ ___
600 600
=== ===
(Dibayarkan kepada Abdullah secara tunai di samping gandum
dan kapas)
Conto Kedua
Contoh kedua ini terdapat di dalam manuskrip Al Mazindarani
halaman 30 a, 30 b, dan 31 a. Bentuknya yang asli ini dapat dijelaskan sebagai
berikut :
Alasan-alasan pengeluaran atas jaminan
Tuan Najibuddin Al Balhi, kewajiban satu tahun penuh
pada awal Rabi`ul Akhir 842 H.
Stok
barang 300.000 dinar
Pada neraca 280.000 dinar
Di antara hal itu dari
wilayah 140.000 dinar
Beasiswa Biaya
pembantu Biaya
hidup pembantu lama
60.000
dinar 20.0000
dinar 20.000
dinar
Biaya untuk pemasukan dan
pengeluaran Derma-derma
20.000 dinar 20.000 dinar
Ithlaqiyyah 140.000
dinar
Biaya kertas 80.000 Pembayaran
pegawai gudang 60.000 dinar
Sisanya sesuai dengan susunan
ini 20.000
dinar.
Di samping itu, dari pemasukan
pertanian 30.000
dinar
Dari anggur
kering Dari
buah badam
200 wiqr x 100 dinar=20.000 dinar. 50
wiqr x 200 dinar=10.000 dinar
Jumlah yang ada pada konsultan dari sisa dan tambahan 50.000
dinar
Dari
contoh no. 2, kita pahami bahwa di sana ada barang di gudang senilai
300.000 dinar. Demikian pula telah diterima pendapatan berupa barang senilai
30.000 dinar. Jadi, total barang di gudang senilai 330.000 dinar. Dari total
barang di gudang, dibayarkansenilai 140.000 dinar, yang diambilkan dari
penghasilan wilayah. Dibayarkan juga jumlah yang serupa dari jumlah yang sah di
dalam neraca yang dinamakan ithlaqiyyah. Juga
dibayarkan senilai 50.000 dinar kepada kepada orang yang diundang, Najibuddin
Al Balhi. Kalau diperhatikan bahwa jumlah yang terakhir telah
dibayarkan berupa barang. Sementara itu, kita dapati bahwa dua jumlah yang
dibayarkan dari penghasilan wilayah dan dari perimbangan tidak ditentukan.
Barangkali, keduanya dibayar secara tunai setelah barang-barang tersebut diubah
menjadi tunai. Berdasarkan hal ini, kita dapat mengulang pengilustrasian contoh
no. 2 dengan bahasa yang sederhana sebagaimana yang digunakan sekarang ini
sebagai berikut:
Dinar Dinar
Barang di
gudang 30.000
Bea siswa 60.000
Dinar
Gaji para pembantu 20.000
pensiun para pembantu 20.000
Transport-transport 20.000
Derma-derma 20.000
Dari pemasukan wilayah 140.000
Kertas-kertas dan keperluan kantor 80.000
dinar
Dibayarkan kepada pegawai gudang60.000
Ithlaqiyyah
(neraca) 140.000
Dibayarkan kepada Najibuddin Al
Balhi 50.000
Anggur kering 200 wiqr
@ 100
dinar 20.000
dinar
Buah badam 50 wiqr
@200
dinar 10.000
dinar
Pemasukan
pertanian 30.000
330.000 330.000
====== ======
Hal ini dapat diilustrasikan ulang dengan cara sekarang dari
segi akuntansi sebagai berikut
Dinar Dinar
Bea
siswa 60.000
Gaji
Pembantu 20.000
Gaji pensiunan
pembantu 20.000
Biaya
transportasi 20.000
Derma-derma 20.000
Kertas-kertas dan kebutuhan
kantor 80.000
Gaji pegawai
gudang 60.000
Untuk jaminan Najibuddin Al
Balhi 50.000
Barang di
gudang 300.000
Pemasukan penghasilan
pertanian 30.000
Anggur kering
200 wiqr x 100 dinar 20.000
dinar
Buah badam
50 wiqr x 200 dinar 10.000
------------ ---------------
330.000 330.000
======= ======
Dari
contoh no 1 dan 2, kita melihat adanya pencatatan sisi-sisi debet dan kredit,
meskipun metode yang dipakai oleh Al Mazindarani berbeda dengan metode sekarang
sebagaimana yang disebutkan Pacioli. Namun kita dapati tegaknya asas-asas yang
membatasi sisi-sisi debet dan kredit, yang kita namakan Thariqah
Itsbat Athrafil Mu`amalat (Sistem Pencataan Sisi-Sisi Transaksi), dan
orang-orang banyak menamakannya Thariqah Al Qaidul Muzdawaj (Sistem Pembukuan
Ganda/Double Entry) sebagai terjemahan dari apa yang ditulis oleh
Pacioli. Berdasarkan hal tersebut minimal dapat dikatakan bahwa
Sistem Pencatatan Sisi-Sisi Transaksi asasnya telah terdapat di dalam negara
Islam meskipun dengan sistem yang berbeda dengan apa yang disebutkan oleh
Pacioli, yaitu melalui catatan-catatan yang ada sampai waktu
sekarang. Barangkali para peneliti masa mendatang akan menemukan
catatan-catatan sejarah dari masa negara Islam dengan berbagai
tahapannya, yang menunjukkan bahwa kaum muslimin menggunakan suatu sistem yang
lebih berkembang untuk pencatatan sisi-sisi transaksi, menyerupai
apa yang disebutkan oleh Pacioli.
Adapun
contoh no 3. menunjukkan data-data sebagai berikut:
Stok
barang 300.000
dinar
Neraca 320.000
Di antara hal itu pada
wilayah 150.000
Bea
kuburan Gaji
Pembantu Sultan Pensiun para pembantu
Amirul mu’minin
Husain
60.000
dinar 50.000
dinar 40.000
dinar
Ithlaqiyyah darinya 170.000
dinar
Tuan Karkir
Akji Amir
Ali Bakawul
120.000
dinar 50.000
dinar
Tambahan pada
pokok 20.000
dinar
Dari informasi keuangan yang disebutkan di sini dalam contoh
no. 3, dapat kita pahami sebagai berikut:
Sesungguhnya di sana ada stok barang senilai
300.000 dinar, dan jumlah yang sah “neraca” adalah 320.000 dinar. Ini
menunjukkan adanya kekurangan senilai 20.000 dinar, dan inilah yang
ditunjukkan dengan ungkapan “tambahan pada pokok”. Demikian pula kita
pahami bahwa jumlah yang sah tersebut telah dibelanjakan
sebagai berikut: 150.000 dinar untuk pengeluaran wilayah, terdiri dari 40.000
dinar untuk perbaikan kuburan Amirul mu’minin Husain, 60.000 dinar dibayarkan
kepada pembantu Sulthan, dan 50.000 dinar dibayarkan kepada para
pembantu yang pensiun. Di samping itu, telah dibayarkan sejumlah 170.000 dinar,
yakni 120.000 dinar kepada Tuan Imad sebagaimana terlihat di dalam jumlah
khusus di dalam neraca, dan 50.000 dinar tidak
dikhususkan dalam neraca dibayarkan kepada Tuan Amir Ali.
Berdasarkan
apa yang telah dikemukakan, dapat kita ulang pengilustrasian contoh
no. 3 dengan bahasa yang sederhana sebagaimana yang digunakan pada masa
sekarang sebagai berikut:
Barang di
gudang 300.000
dinar
Derma untuk perbaikan kuburan
Amirul mu’minin
Husain 40.000
dinar
Gaji pembantu
Sultan 60.000
Pensiun para
pembantu 50.000
Tuan Imad direktur pengelola
gudang (dari dalam
neraca) 120.000
Amir Ali, kasir
(dari luar
neraca) 50.000
Tambahan pada pemasukan
(kekurangan) ------------ 20.000
320.000 320.000
====== ======
Dengan
sistem sekarang dari sisi akuntansi, pengilustrasian no. 3 dapat diulang
sebagai berikut:
Dinar Dinar
Derma perbaikan kuburan
Amirul mu’minin
Husain 40.000
Gaji pembantu
Sulthan 60.000
Pensiun para
pembantu 50.000
Tuan Imad, pengelola
gudang 120.000
Amir Ali, kasir 50.000
Barang di
gudang 300.000
Kekurangan
neraca 20.000 ----------
320.000 320.000
====== ======
Sekali
lagi kita dapati bahwa contoh no 3 membatasi macam-macam pengeluaran dan
jumlahnya sebagaimana pula membatasi sisi-sisi yang menentukan
pengeluaran. Di samping membatasi unsur-unsur debet dan
kredit, contoh ini juga membatasi sumber-sumber
pengeluaran................................
..................................hal 76....... Demikian
pula menjelaskan adanya kekurangan di dalam neraca. Hal inilah yang telah kami
jelaskan bahwa negara Islam sejak masa
pertumbuhannya telah mengenal sistem pengawasan intern, yakni mampu
mengungkap suatu kekurangan, baik yang diperkenankan sebagaimana
keadaan di sini atau karena kesalahan sebagaimana terjadi pada masa
Amirul mu’minin Umar Ibnul Khaththab, yaitu ketika seorang
sahabat, Amir Ibnul Jarrah menjelaskan adanya kekuarangan di
Baitul Mal sebesar satu dirham.
Adapun
contoh no. 4 semisal dengan contoh no. 3 dari segi topik, sehingga tidak perlu
dijelaskan . Contoh no. 4 berisi hal-hal berikut ini:
Stok
barang 300.000
dinar
Dari jumlah itu dikeluarkan 240.000 dinar
Neraca 150.000
dinar
Bea
siswa Gaji
pembantu Persiun
para pembantu
40.000 70.000 dinar 40.000 dinar
Ithlaqiyyah darinya 90.000
dinar
Tuan Imaduddin Karkir
Akji Ali
Bakawul
60.000 30.000
dinar
Sisa pada pekerja 60.000
dinar
Penjelasan contoh no. 4 tidak berbeda dengan contoh no. 3
dari segi substansinya, maka kami tidak mengulanginya. Namun, kami
hanya mengulang pengilustrasian contoh no. 4 dengan bahasa sederhana
sebagaimana yang digunakan sekarang, yaitu sebagai berikut:
Dinar Dinar
Barang di
gudang 300.000
Bea siswa 40.000
Gaji
pembantu 70.000
Pensiun para pembantu 40.000
Imaduddin, pengelola gudang 60.000
Ali, kasir 30.000
Sisanya pada
pekerja 60.00 -----------
300.000 300.000
Adapun sistem sekarang dari sisi akuntansi,
pengilustrasian contoh no. 4 dapat diulang sebagai berikut:
Dinar Dinar
Bea
siswa 40.000
Gaji
pembantu 70.000
Pensiun para pembantu 40.000
Imaduddin, pengelola
gudang 60.000
Ali, kasir 30.000
Barang digudang 240.000
----------- ------------
240.000 240.000
======= =======
H/
Barang di gudang
Bea
siswa 40.000 saldo 300.000
Gaji
pembantu 70.000
Pensiun para pembantu 40.000
Imaduddin, pengelola
gudang 60.000
Ali, kasir 30.000
240.000 300.000
======= =======
saldo 60.000
PEMBAHASAN KEDUA
Faktor-Faktor yang Mengantarkan
Perkembangan Akuntansi di Negara Islam
Salah
seorang penulis mengatakan bahwa setiap ilmu tumbuh dari suatu kemahiran yang
diupayakan. Sebelum menjadi ilmu, harus ada praktik dan pengalaman, berdasarkan
hal ini, maka ilmu itu merupakan hasil dari pengalaman yang menentukan
tanda-tanda ilmu tersebut. (Heaps, 1985, hal. 21)
Berdasarkan
apa yang dikatakan oleh Heaps, maka munculnya sistem pencatatan sisi-sisi
transaksi atau yang dikenal dengan nama sistem pembukaan ganda (double entry),
baik sebagai ilmu maupun sebagai seni, atau sebagai yang lain, harus tumbuh
dari suatu kemahiran yang diupayakan. Kemahiran yang diupayakan ini harus tegak
di atas adanya suatu praktik kerja. Demikian pula, praktik kerja ini bukan
lahir dengan sendirinya, namun tegak di atas suatu bangunan yang tinggi dan
kokoh. Bangunan yang tinggi nan kokoh ini adalah pengetahuan yang turun menurun
dari generasi ke generasi. Jadi, hal ini mempertegas bahwa pengetahuan yang
dapat menumbuhkan adanya praktik kerja dan kemahiran untuk sistem pencatatan
sisi-sisi transaksi asasnya telah ada di negara Islam, yang timbul karena
adanya berbagai faktor. Sementara itu, kami tidak melihat adanya faktor apa pun
yang membantu perkembangan ini di dalam Republik Itali. Di antara yang patut
disebutkan bahwa akuntansi yang kami lihat praktiknya di dunia Arab, kemudian
perkembangannya di dunia Islam, telah dijelaskan oleh Al Mazindarani
bahwa itu merupakan suatu ilmu. Namun, kami tidak setuju bahwa itu
sebagai ilmu, sebagaimana yang akan dijelaskan pada bab III, pembahasan
pertama.
Baik
sebagai ilmu atau seni, atau yang lain, di sana terdapat
berbagai faktor yang ikut andil, atau pada hakikatnya mengundang pekerjaan
akuntansi di negara Islam. Faktor-faktor ini berkaitan erat dengan
kebutuhan-kebutuhan negara Islam dari satu sisi, dan dari sisi yang lain dengan
kebutuhan-kebutuhan kaum muslimin secara pribadi. Di antara faktor-faktor
tersebut adalah pendirian kantor-kantor pemerintahan, speisialisasi kemampuan,
dan kebutuhan terhadap adanya pegawai yang kapabel. Di samping faktor-faktor
tersebut yang erat kaitannya dengan kebutuhan negara Islam, di sana terdapat
faktor lain yang ikut andil dalam peletakan dasar-dasar akuntansi dan mendorong
pengembangan akuntasi di dalam negara Islam, dari sisi kebutuhan pribadi
muslim, yaitu faktor zakat. Sebab, seorang muslim senantiasa membutuhkan suatu
cara yang membantu dirinya untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya sebagai
seorang muslim dari segi perhitungan zakat yang harus dikeluarkan sesuai dengan
syari’at Islam, yang merupakan salah satu rukun Islam.
Pedirian
kantor-kantor pemeintahan berakitan erat dengan sistem administrasi, sejak
pendirian awal negara Islam di Madinah Al Munawwarah pada tahun 622 M., yaitu
pada tahun pertama Hijriyah. Pada saat itu, kantor-kantor pemerintahan dikenal
dengan nama Dawawin, dan bentuk tunggalnya adalah diwan
. Kata diwan berasal dari kata Parsi, tetapi
definisi dan penggunaanya telah berjalan di negara Islam. Kata diwan artinya
adalah tempat bekerja para pegawai, yaitu tempat pencatatan dan penyimpanan
buku-buku akuntansi (Muhammad Al Marisi Lasyin, 1973, hal. 26). Ibnu Khaldun
berkata, “Asal penamaan ini adalah, pada suatu hari Kisra melihat para pegawai
di kantornya sedang menghitung sendiri, seolah-olah mereka berbicara (sendiri).
Lalu, Kisra berkata, “Diwanah”. Arti kata tersebut adalah “gila”, lalu tempat
mereka itu dikatakan “Diwanah”. Karena kata tersebut sering diucapkan, huruf
ha’nya dibuang untuk mempermudah pengucapan, dan menjadi kata “diwan”. (hal.
268)
Tampaknya, kata diwan telah digunakan bersamaan awal
reformasi sistem kantor-kantor pemerintahan dalam bentuk yang lebih baik dari
yang sebelumnya. Salah satu ensiklopedi ilmiah menyebutkan bahwa sistem resmi
pertama untuk diwan-diwan telah dibuat sekitar tahun 14 H./634 M. (Britanica,
Vol. 22, hal. 109) yakni pada masa Khalifah Umar Ibnul Khaththab radliyallahhu’anhu.
Adapun
spesialisasi kemampuan memepunyai signifikansi, karena adanya pembagian fungsi
dan pekerjaan di negara Islam. Hal ini telah dimulai pada masa kehidupan
Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam (Muhammad Al Marisi Lasin, 1973, hal. 5).
Demikian pula hak dan kewajiban para pegawai di semua level dari sistem
administrasi telah dikenal sejak pendirian negara Islam di Madinah pada tahun
622 M. Rasulullah Muhammad shallallahu `alaihi wasallam memiliki 42 penulis
yang memiliki spesialisasi di dalam pemerintahannya yang didirikan di Madinah.
Setiap pegawai memiliki peran tertentu, demikian pula kewajiban dan gaji mereka
juga tertentu dan jelas. (Muhammad Al Hawari (A), 1989, hal. 5).
Adapun
para pegawai yang kompeten telah mendapatkan perhatian dari negara Islam. Sejak
awal, negara Islam telah menaruh perhatian pada pemilihan pegawai yang
berspesialisasi. Demikian pula kebijakan Rasulullah Muhammad
shallallahu `alaihi wasallam dalam memilih pegawai, yaitu dari orang-orang yang
beliau pandang memiliki kapabilitas dan kapasitas untuk menduduki jabatan.
Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam memilih para pegawai itu dari para
sahabatnya yang memiliki kapabilitas serta kemampuan dan kelayakan
untuk menerima jabatan. (Muhammad Hawari (B), 1989, hal. 16).
Di
negara Islam, para akuntan terbagi dalam tujuh fungsi, enam fungsi berkaitan
dengan pekerjaan akuntansi, dan satu fungsi khusus untuk mengoreksi pembukuan.
Fungsi pengoreksian pembukuan memiliki kepentingan khusus, hal ini serupa
dengan yang kita namakan muraja’atul hisabat ( pengoreksian
pembukuan/auditing), atau tadqiqul hisabat (pengakurasian
pembukuan), atau ar riqabatul kharijiyyah (pengawasan
ekstern). Namun, kami hanya menganggap penamaan yang pertama sebagai ungkapan
yang paling tepat untuk watak pekerjaan tersebut. Adapun penamaan kedua dan
ketiga, kami pandang tidak sesuai dengan watak pekerjaan tersebut dan tugas
yang diberikan kepada auditor. Tugas auditor adalah memeriksa apa yang telah
dibukukan. (Al Qalqasyandi, hal. 130-139). Al Qalqasyandi telah menggambarkan
tugas seorang auditor dan kebutuhan terhadapnya. Dia berkata, “Enam yang lain
tidaklah terpelihara dari sifat lupa dan kesalahan dalam menghitung atau
mencatat, sebagaimana yang sudah terkenal bahwa manusia itu tidak melihat
kesalahan-kesalahannya sendiri tetapi melihat kesalahan-kesalahan orang lain,
maka pimpinan kantor harus memilih seseorang untuk mengoreksi pembukuan. Orang
yang dipilih tersebut harus menguasai bahasa Arab, hafal Al Qur’anul Karim,
cerdas, berakal, jujur, tidak menyakiti orang lain. Ketika seorang auditor
merasa puas terhadap isi buku yang dikoreksinya, dia harus memaraf buku
tersebut sebagai tanda bahwa dia telah puas dan menerima isi buku tersebut.
(Ibid).
Adapun
zakat juga termasuk bagian dari unsur-unsur yang ikut andil dalam pengembangan
akuntansi di negara Islam. Ini jika tidak termasuk unsur asasi. Zakat adalah
salah satu rukun Islam yang lima, dan di negara Islam, dibayarkan kepada Baitul
Mal. Baitul Mal ini sekarang dinamakan Perbendaharaan Umum atau
Perbendaharaan Negara. Al Qur’anul Karim telah menentukan sumber-sumber yang
wajib dikeluarkan zakatnya, dan obyek-obyek penyalurannya sebagaimana firman
Allah Subhanahu Wa Ta`ala:
“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk
hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan
Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang
diwajibkan Allah.” (At Taubah : 60)
Seorang muslim wajib membayar zakat, maka seorang muslim
senantiasa membutuhkan suatu cara yang dapat membantunya dalam menentukan
jumlah zakat yang harus dibayarnya. Oleh karena itu, kami tidak menganggap
mustahil bahwa masalah penentuan jumlah zakat merupakan faktor asasi yang
mengantarkan kepada pengembangan akuntansi di negara Islam. Hal itu agar
seorang muslim dapat mengetahui perubahan-perubahan pada hartanya, dan
selanjutnya adalah perhitungan zakat yang harus dikeluarkan karena bertambahnya
harta seorang muslim selama satu tahun penuh, di samping dari laba yang
diperoleh dari modal yang berputar.
Perkembangan
akuntansi di negara Islam mencapai puncaknya dalam membangun pengertian
akuntansi sebagai suatu sarana untuk pengambilan keputusan sebagai tujuan asasi
bagi penggunaan akuntansi. Anehnya, hal inilah yang menjadi tujuan penggunaan
akuntasi pada masa kita sekarang ini. Parapenulis sekarang ini mengaku
bahwa merekalah yang mengembangkan pengertian ini pada abad sekarang.
Barangkali, pengakuan mereka ini disebabkan oleh kejahilan mereka terhadap
sejarah dan peran akuntansi di negara Islam. Demikian pula, boleh jadi mereka
membangun tujuan ini pada abad XX M., sementara tujuan ini telah populer di
negara Islam sejak abad I H. atau abad VII M. Di antara yang menjelaskan
tujuan ini dan realisasinya di negara Islam adalah perkataan Imam Syafi’i
rahimahullah : “Barang siapa mempelajari hisab (akuntansi)
pikirannya bagus.” (Husain Syahatah, 1993, hal. 45). Perlu diketahaui bahwa
Imam Safi’i hidup pada tahun 150-204 H./767-820 M. Hal ini tidak saja
menjelaskan peran yang dimainkan akuntansi dan signifikansinya pada waktu itu,
tetapi juga menjelaskan pengetahuan masyarakat pada saat itu terhadap peran dan
signifikansi tersebut. Hal ini tampak dalam bentuk khusus, ketika
ucapan ini datang dari seorang yang faqih, bukan datang dari spesialis
akuntansi. Setelah itu, Imam Syafi’Ii menjelaskan ucapannya itu, yaitu
sesungguhnya seorang pedagang atau yang lain tidak dapat mengambil keputusan
secara benar atau mengeluarkan pemikiran yang tepat tanpa bantuan data-data
yang tercatat dalam buku. (Ibid). Para fuqaha’ berkata bahwa di
antara kewajiban seorang muslim adalah mempelajari hukum-hukum ibadah yang
menjadikan shalat, shaum, dan zakatnya sah, serta hal-hal yang harus
diketahui untuk menunaikan manasik hajinya. Demikian pula dia harus mengetahui
hukum-hukum jual beli jika ingin berprofesi sebagai seorang
pedagang; dan mempelajari akuntansi, sehingga ia tiadak berbuat zhalim dan
tidak dizhalimi. Hal inilah yang disebut ilmu dlaruri. (Abu Hamid Al Ghazali,
1400 H., vol. 1, juz 1--3, hal. 42--30) juga (Sayid Sabiq,1403
H./1983 M., vol. III, juz 11--14, hal. 125--126).
Pengertian
akuntansi dan tujuan penggunaannya telah berkembang dari sekadar sebagai sarana
untuk menentukan modal di akhir periode V dan untuk mengukur keuntungan
melalui selisih modal pada dua priode, hal ini terjadi pada masa
sebelum Islam, menjadi sebagai sarana untuk memperoleh informasi yang
bermanfaat dalam pengambilan keputusan dan penentuan tanggung jawab, hal ini
terjadi pada berbagai masa negara Islam. Al Qalqasyandi berkata, “Seorang
akuntan harus berpegang pada aturan-aturan atau format-format yang telah
disiapkan sebelumnya, dan tidak boleh melanggar selamanya”. (hal. 54). Hal ini
menunjukkan perkembangan akuntansi dan adanya sistem pengawsan intern yang
berkaitan erat dengannya. Semuanya itu diprogram, diinterpretasikan, dan
diaplikasikan menurut syariat Islam. Demikian pula perkembangan dalam
pengertian akuntansi dan tujuan penggunaannya ini terlihat dalam perkataan Al
Qalqasyandi yang lain. Dia berkata, “Sesungguhnya pekerjaan akuntansi dibangun
atas dasar kenyakinan”. (hal. 154). Perkataan ini, secara khusus, memantulkan
dalam pemikiran kami akan pentingnya sistem dokumentasi. Sebab,
hitungan-hitungan yang dicatat dalam buku harus diyakini kebenarannya; dan
keyakinan ini tidak akan terwujud kecuali dengan adanya bukti-bukti yang
memadai yang dapat menetapkan terjadinya transaksi dari satu sisi, dan
kebenaran pencatatan di dalam buku dari sisi yang lain.
Perkembangan
akuntasi di negara Islam tampak jelas pula bahwa seorang akuntan yang
bertanggung jawab atas pembukuan pengeluaran-pengeluaran harus meneliti
pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan oleh perangkat negara itu, untuk membuat
ketetapan apabila terdapat perbedaan-perbedaan di antara tahun-tahun keuangan.
(Muhammad Al Marisi Lasyin, 1973, hal. 37). Ini merupakan bukti lain tentang
pengembangan pengertian akuntansi sebagai sarana informasi yang bertujuan
mengambil keputusan sekitar jalannya pengeluaran-pengeluaran itu. Hal ini
mengandung pembatasan perbedaan apa pun atau keraguan-keraguan dari tahun ke
tahun. Selanjutnya adalah pembatasan penanggungjawab perbedaan-perbedaan
tersebut, lalu pengambilan-pengambilan tindakan-tindakan yang pasti ketika perbedaan-perbedaan
itu tidak dapat di tolerir.
Imam
Ghazali menyebutkan bahwa faktor yang mendukung perkembangan pengertian
akuntansi, dan selanjutnya adalah perkembangan tujuan penggunaan adalah
perhatian terhadap pengawasan diri. (juz XV, hal. 6-7). Sesunguhnya asas dalam
pengawasan diri adalah takut kepada Allah. Ini adalah ciri seorang muslim
penganut aqidah yang mengetahui bahwa Allah melihatnya. Selanjutnya, dia akan
mengawasi dirinya karena dia mengetahui di sana ada Pengawas yang
dapat melihat apa yang tidak bisa dilihat oleh manusia, dan dapat mendengar apa
yang tidak dapat didengar oleh selain-Nya di antara makhluq-makhluq-Nya. Hal
ini tampak jelas di dalam firman Allah Tabaraka Wa Ta’ala:
“Dan jika kamu melihatkan apa yang ada di hatimu atau kamu
menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang
perbuatanmu itu”. (Al Baqarah:284)
Pengawasan
diri inilah yang menjadikan seorang muslim menghisab dirinya sebelum dihisab,
khususnya mereka yang memiliki nafsu lawwamah.
Dalam hal ini, Khalifah Umar Ibnul Khaththab radliyallahu
`anhu berkata, “Hisablah diri kalian sebelum dihisab;
timbanglah amal kalian sebelum amal kalian ditimbangkan;
dan bersiap-siaplah kalian untuk menghadapi penampakan amal”.
Sebagaimana
telah dikemukakan bahwa perkembangan buku-buku akuntansi dan kantor-kantor
pemerintahan terjadi pada masa khalifah Al Faruq Amirul Mu’minin Umar bin
Khaththab radliyallahu `anhu , maka kita patut mengkaitkan antara perkataannya
ini dan perkembangan tersebut, dan bagaimana beliau menerjemahkan jiwa lawwamah ke
dalam realitas secara umum, dan barangkali dari segi keuangan secara khusus.
Wallahu A’lam. Sebab, pengawasan diri dan muhasabah terhadap diri merupakan
tuntutan asasi dari ajaran syari’at Islam sebagaimana terdapat di dalam Al
Qur’an dan As Sunah. Diantaranya firman Allah Subhanahu Wa Ta`ala:
“Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini
sebagai penghisab terhadap dirimu”. (Al Isra':14)
Dari
As Sunnah An Nabawiyyah, sesungguhnya pengawasan tersebut dari hasil muhasabah
terhadap diri sendiri. Muhasabah yang dimaksud dalam hal ini adalah
pertanggungjawaban . Hal ini tampak jelas di dalam perkataan Nabi shallallahu
`alaihi wasallam:
“Tidak akan beranjak kedua kaki seorang hamba pada hari
kiamat sebelum ditanya tentang empat perkara, yaitu : tentang umurnya,
dihabiskan untuk apa; tentang masa mudanya, dihabiskan untuk apa; tentang
hartanya, dari mana diproleh dan dibelanjakan untuk apa; dan tentang ilmunya,
apa yang telah diperbuat dengan ilmu tersebut”. (H.R. Tirmidzi, dan menurut
beliau hadits ini hasan shahih).
Hadits lain adalah dari Miqdam bin Ma’di Yakrib bahwa
sayyidul basyar, Muhammad shallallahu `alaihi wasallam menepuk pundaknya, kemudian
berkata:
“Wahai Qadim (Miqdam? pen,) beruntunglah kamu, jika kamu
meninggal tidak dalam keadaan menjadi amir, tidak menjadi pencatat (katib), dan
tidak menjadi pemimpin”. (H.R. Abu Dawud)
Makna kata “katib” disini adalah pencatat pekerjaan dan
penghitungnya. (Zakiyyudin Abdul Azhim bin Abdul Qawiy Al Mundziri, 1986, juz
3, hal. 159)
Sebelumnya
telah dikatakan bahwa awal pencatatan transaksi di dalam buku bersamaan dengan
berawalnya negara Islam pada masa Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam sebagai
akibat bertambahnya pemasukan negara dari berbagai penaklukan dan
zakat, terutama setelah pemasukan tersebut semakin banyak dan tidak seluruhnya
dapat dibagikan pada saat itu. Tidak diragukan lagi bahwa pencatatan di dalam
buku pada awal masa tersebut berjalan sesuai dengan cara yang diikuti sebelum
Islam. Tetapi, pelaksanaan pencatatan tersebut berkembang pada masa khalifah
kedua, yaitu khalifah Al Faruq Umar Ibnul Khaththab radliyallahu `anhu pada
tahun 14--24 H. /636--646 M. Beliaulah yang memerintahkan mencatat harta umum
diklasifikasikan sesuai dengan sumber pendapatannya. Perkembangan pada masa
khalifah Umar Ibnul Khaththab ini meliputi penentuan hakikat buku yang harus
digunakannya dan cara mengaplikasikannya, serta dokumen-dokumen yang harus
dimilikinya sebagai asas pencatatan dan harus disimpan setelah dicatat untuk
memperkuat apa yang telah dicatat.
Pada
awal kehidupan negara Islam, buku-buku akuntansi masih berupa kertas-kertas
terpisah, tidak berbentuk buku yang berjilid. Orang pertama yang
memasukkan buku-buku dan catatan yang terjilid sebagaimana yang kita kenal pada
masa tersebut adalah Khalifah Al Walid bin Abdul Malik, pada tahun 86--96 H.
/706--715 M. (Muhammad Al Marisi Lasyin, 1973, hal. 36). Ini berarti bahwa hal
ini terjadi kurang lebih tujuh ratus sembilan puluh tahun sebelum munculnya
buku Pacioli. Sementara itu, sistem buku akuntansi ini telah mencapai puncaknya
pada masa Daulat Abasiyyah pada tahun 132--232 H. /750--847 M. Yakni, pada
tahun 132 H. /750 M. Khalid bin Burmuk terpilih menjadi kepala Diwan Kharaj
(Diwan pemasukan hasil-hasil pertanian) dan Diwan tentara. Khalid bin Burmuk
melakukan reformasi sistem kedua Diwan tersebut dan mengembangkan buku-buku
akuntansi serta memberi nama khusus terhadapnya.
Pada
masa negara Islam, buku catatan pertama dikenal dengan nama “Jaridah”. Dari
sini tampak garis hubungan antara buku Pacioli yang terbit pada tahun 1494 M.
dan sumber rujukan buku tersebut, karena pada sebagian yang disebutkannya terdapat
banyak kesamaan dengan apa yang digunakan pada masa negara Islam. Di dalam
bukunya, Pacioli telah menjelaskan bahwa buku catatan pertama yang harus
digunakan dikenal dengan nama “Journal” dalam bahasa Ingris (Brown dan Johnson,
1963, hal. 43) atau “Zornal” dalam bahasa Itali sebagaimana dikenal di kota
Venice . (Martinelli, 1977, hal. 25). Dua kata ini, yaitu Journal dan Zornal
merupakan terjemahan secara harfiah dari bahasa Arab, yaitu dari kata
“Jaridah”. Jaridah adalah nama untuk buku catatan pertama pada masa negara
Islam, yaitu pada masa Daulat Abbasiyyah, sekitar tahun 132 H. /749 M.,yaitu
tujuh ratus empat puluh lima tahun sebelum munculnya buku Pacioli. Dari hal ini
dapat kita simpulkan bahwa asas atau sumber rujukan bagi apa yang dipraktikkan
di Republik Itali sebagaimana tersebut dalam buku Pacioli adalah apa yang telah
dipraktikkan di negara Islam. Di antara yang harus dipraktikkan di negara Islam
adalah pencatatan “Jaridah” sebelum memakainya. Pencatatan ini, sebagaimana
yang telah kami sebutkan, berlangsung ketika distempel dengan stempel Sulthan.
Praktik ini adalah bagi instansi-instansi pemerintahan Islam. Barangkali juga
bagi pribadi-pribadi dan lembaga-lembaga khusus. Demikian pula Ibnu Khaldun
yang hidup pada masa Daulat Abbasiyyah dan menulis bukunya tahun 167 H. /784 M.
Mengatakan bahwa seorang akuntan harus memakai buku-buku akuntansi yang sesuai,
dan mencatat namanya di akhir buku, serta menstempelnya dengan stempel Sulthan.
Stempel tersebut memuat nama Sulthan atau simbol khusus bagi Sulthan. Stempel
tersebut dibubuhkan di salah satu sisi buku .(halaman 205). Sesungguhnya
penggunaan kata “buku-buku akuntansi yang sesuai” oleh Ibnu Khaldun menunjukkan
semenjak abad ke-2 Hijriyah dan barangkali sebelum itu, kaum
muslimin menggunakan buku-buku akuntansi yang beragam sesuai dengan perbedaan
karakter kegiatan, baik tingkat negara maupun pribadi.
Dahulu,
“Jaridah” digunakan untuk mencatat pemasukan-pemasukan dan
pengeluaran-pengeluaran, tetapi secara terpisah. Yakni, ada jaridah untuk
pemasukan dan ada jaridah untuk pengeluaran. Hal ini termasuk serupa dengan apa
yang sekarang dikenal dengan nama Specialised Journals. Adapun
transaksi-transaksi lain dicatat dalam buku yang dikenal dengan nama Daftarul
Yaumiyyah (Daily Book/Buku Harian).
Buku
harian yang dikenal di negara Islam tujuh ratus empat puluh lima tahun sebelum
munculnya buku Pacioli adalah buku harian yang digunakan sekarang di dunia, dan
dikenal dengan nama General Journal. Buku harian ini dikenal di seluruh diwan di
samping specialised journals. Dahulu, buku harian ini digunakan untuk mencatat
seluruh transaksi keuangan khusus bagi diwan dan transaksinya dengan orang
lain. Buku ini serupa dengan apa yang sekarang dikenal di negara-negara Arab
dengan nama Daftarul Yaumiyyatil `Ammah (Buku Harian Umum).
Menurut
An Nuwairi, yang meninggal pada tahun 734 H. /1336 M. atau kurang lebih tiga
puluh satu tahun sebelum munculnya buku Al Mazindani, pekerjaan
pembukuan tunduk pada praktik-praktik tertentu dan jelas. Sebab,seluruh harta
yang masuk atau keluar harus dicatat sesuai urutan waktu terjadinya,
juga harus dicatat tanggal terjadinya setiap transaksi. Demikian
pula, keharusan mencatat transaksi menurut urutan waktu terjadinya tidaklah
terbatas pada transaksi-transaksi keuangan saja atau yang memiliki nilai
keuangan, tetapi mencakup juga seluruh transaksi yang berhubungan dengan diwan
dan yang lain. (An Nuwairi, hal. 273--275). Pencatatan di buku harian
berlangsung dari realitas syahid yaitu yang sekarang dikenal
dengan nama journal voucher, yang disiapkan oleh akuntan, yang melakukan
pencatatan di buku. (Muhammad Al Marisi Lasyin, 1973, hal. 131--132). Hal ini
menunjukkan kesinambungan pengembangan di dalam pekerjaan akuntansi yang
awalnya bersamaan dengan munculnya negara Islam tahun 622 M., dan menjadi kokoh
pada masa Khalifah Umar Ibnul Khaththab, serta semakin kokoh pada masa Daulat
Abbasiyyah. Kemudian bertambah berkembang setelah itu sebagaimana yang kita
rasakan dari apa yang disebutkan oleh An Nuwairi.
Daulat
Abbasiyyah, 132--232 H. /750-847 M. memiliki banyak kelebihan dibandingkan yang
lain dalam pengembangan akuntasi secara umum dan buku-buku akuntansi secara khusus.
Sebab pada saat itu, masyarakat Islam menggunakan dua belas buku akuntansi
khusus (Specialized Accounting Books). Buku-buku ini memiliki karakter dan
fungsi dan berkaitan erat dengan fungsi dan tugas yang diterapkan pada saat
itu. Di antara contoh buku-buku khusus yang dikenal pada masa kehidupan
negara Islam itu adalah sebagai berikut:
1. Daftarun
Nafaqat (Buku Pengeluaran). Buku ini disimpan di Diwan
Nafaqat, dan diwan ini bertanggung jawab atas
pengeluaran Khalifah, yang mencerminkan pengeluaran negara.
2. Daftarun
Nafaqat Wal Iradat (Buku Pengeluaran dan Pemasukan). Buku ini disimpan
di Diwanil Mal, dan Diwan ini bertanggung
jawab atas pembukuan seluruh harta yang masuk ke Baitul Mal dan yang
dikeluarkannya.
3. Daftar
Amwalil Mushadarah (Buku Harta Sitaan). Buku ini digunakan di Diwanul
Mushadarin. Diwan ini khusus mengatur harta sitaan dari para menteri
dan pejabat-pejabat senior negara pada saat itu. (Muhammad Al Marisi Lasyin,
1973, hal. 41).
Umat Islam juga mengenal buku khusus yang lain, yang dikenal
dengan nama Al Auraj, yaitu serupa dengan apa yang sekarang
dinamakan Daftar Ustadzil Madinin (Debtors or Accounts Receipable
Subsidiary Ledger). Kata Auraj adalah dari bahasa
Parsi, kemudian digunakan dalam bahasa Arab. Auraj digunakan
untuk mencatat jumlah pajak atas hasil tanah pertanian, yaitu setiap halaman
dikhususkan untuk setiap orang yang dibebani untuk membayar pajak, di dalamnya
dicatat jumlah pajak yang harus dibayar, juga jumlah yang telah dibayar dari
pokok jumlah yang harus dilunasi. Penentuan jumlah pajak yang harus
dilunasi didasarkan pada apa yang dinamakan Qanunul Kharaj (Undang-Undang
Perpajakan). (Al Mazindarani 765 H./1363 M.)
Di samping apa yang telah disebutkan, kaum muslimin di
negara Islam mengenal pembagian piutang menjadi tiga kelompok, yaitu:
1. Ar
Ra’ij minal mal, yang dimaksudkan ialah piutang yang memungkinkan
untuk didapatkan, yaitu apa yang sekarang ini dikenal dengan nama Ad
Duyunul Jayyidah, dan dalam bahasa inggris dikenal dengan nama Collectable
Debts.
2. Al
Munkasir minal mal, yang dimaksudkan adalah piutang yang mustahil
untuk didapatkan, yaitu apa yang sekarang dinamakan Ad Duyunul
Ma’dumah,dan dalam bahasa inggris dikenal dengan nama Bad Debts atau Uncollectable
Debts.
3. Al
Muta’adzir wal mutahayyir wal muta`aqqid minal mal, yang dimaksudkan adalah
piutang yang diragukan untuk didapatkan, dan dalam bahasa inggris dikenal
dengan nama Doubtful Debts. (Muhammad Al Marisi Lasyin, 1973,
hal. 141).
Dari pembagian piutang tersebut ada dua hal penting yang
patut didapatkan, yaitu: pertama, pengaruh kehidupan perdagangan terhadap
pekerjaan akuntansi, sebagaimana yang telah kami kemukakan pada pendahuluan Bab
I; dan yang kedua adalah pembagian ini hanya berpengaruh terhadap penggambaran
kondisi keuangan baik bagi negara maupun pribadi, khususnya untuk tujuan zakat.
Sebab, penggambaran kondisi keuangan menuntut ketelitian dalam penggambaran hak
dan kewajiban. Tidak diragukan lagi bahwa mereka mengetahui pentingnya
inventarisasi para debitur untuk mengetahui apa yang mungkin diperoleh pada
masa-masa mendatang. Jika tidak, tentu mereka tidak segera mengelompokkan
piutang dalam tiga kelompok tersebut. Pengelompokan ini
adalah pengelompokan yang digunakan pada masa kita sekarang tanpa
menyebutkan bahwa sumbernya adalah di negara Islam. Hal ini mempertegas sekali
lagi pentingnya zakat sebagai faktor asasi yang membantu pengembangan
akuntansi. Hal ini jika tidak ada faktor lain, maka zakat adalah faktor yang
pertama. Sebab, perhitungan zakat menuntut pentingnya inventarisasi para
debitur dan kreditur untuk mengetahui pengaruh para debitur dan kreditur
terhadap jumlah zakat.
From:dimel2002.multiply.com/journal/item/10