Separuh
Perjuangan, Satu Kebaikkan
Oleh : Rosalina
Kala itu, 22 Juni 2019
aku dan temanku mengikuti tes kedinasan di Jogja. Sore harinya, aku dan temanku
diantar ke Jogja oleh ayahku. Dua jam telah terlewati dan kini aku dan temanku
sudah sampai di Jogja. Ayahku memberhentikanku di tempat kedinasan yang ku
ikuti besok. Aku berjalan keluar dari mobil. Aku melihat nomor kursi yang akan
kutempati besok pagi. Setelah mengetahui nomor kursi, aku dan temanku berjalan-jalan
menikmati suasana tempat ini. Setelah puas berjalan-jalan mengelilingi, ayah
mengantarkanku pada tempat penginapan yang telah ku pesan tiga hari lalu. Entah
mengapa, saat menuju penginapan perasaanku tidak enak.
“Penginapane sing endi, nduk?”, tanya Ayah padaku.
“Kanan jalan yah, nek ng maps dah sampai i ta, Yah.” Jawabku pada Ayah.
Ayah yang yang
kebingungan serta aku pun juga, turun dari mobil. Ayah bertanya pada seorang
bapak-bapak yang merupakan warga sekitar tentang penginapan x.
“Pak, penginapan x niki pundi nggih, Pak?”
“Omah werna pink niku, Pak. Niku sing gadah sampun meninggal mbak. Trus
ditumbas kalih buk e warung niku. Dikontrak ne pun ten buk e sing gadhah
penginapan niku mbak. Penginapanne niku dingo campur ta mbak, dados akeh warga
sing gak setuju.” Jawab bapak- bapak itu kepada Ayahku sambal memberitahu
rumah yang tak jauh dari kami berhenti.
Aku yang mendengar
jawaban si bapak tersebut langsung melihat penginapan yang dimaksud. Aku kaget,
karena yang kulihat itu hanya rumah kosong yang tidak berpenghuni lama. Tampak
luarnya pun juga kotor dan lusuh. Oh, ternyata ini firasat burukku. Sekarang
sudah terjawab. Aku kena penipuan penginapan. Dengan baik hati, si bapak tadi
mengantarkanku pada pemilik rumah yang rumahnya hanya berjarak lima rumah dari
penginapan tadi. Tak lupa, kuucapkan terima kasih kepada bapak tersebut yang
telah mengantarkanku.
“Permisi Bu, mau tanya
tentang penginapan x itu, Bu.”
“Oh iya mbak, monggo
mbak.” Kata Ibu pemilik rumah dengan ramah.
“Jadi, saya udah pesan
penginapan di online, Bu. Udah saya bayar juga, Bu. Ini saya telpon si Ibu
penginapan nggak diangkat juga, Bu.” Kata ku pada si Ibu pemilik rumah asli.
“Ini saya coba telpon
juga nggak diangkat mbak. Ini bu Juwita (pemilik penginapan) juga nggak ada
disini mbak, di Bali dia mbak.” Jawab Ibu pemilik rumah asli sambal memegang
HP-nya.
“Yaudah kalau begitu,
Bu.” Jawabku lemah pada ibu pemilik rumah asli. Aku harus mengikhlaskan uangku.
Aku keluar dari rumah ibu tersebut dengan perasaan bingung. Bingung harus
menginap dimana. Aku tidak punya keluarga di Jogja sama sekali. Aku sudah
pasrah saat itu.
Kutemui ayah yang
menunggu di mobil. Kemudian, Ayah mengusulkan ku untuk mencari kos-kosan di
sekitar. Ku datangi kos-kosan putri dengan berjalan kaki, karena jaraknya
dekat. Kutanyakan pada Ibu pemilik kos dan ternyata kos-kosan milik ibu
tersebut sudah penuh. Baru saja ada yang menempati, katanya. Tak kusangka, Ibu
tersebut membantuku mencari kos-kosan sekitar. Ia mengantarkanku pada kos-kosan
milik seorang kakek-kakek. Aku melihat kamar bersama temanku. Kamar tersebut
tidak ada apa-apa. Ya, alias kosongan. Hanyakan kasur, tikar saja tidak ada.
Aku dan temanku tidak mau, dikarenakan sepi. Lalu, ibu tersebut mengajakku
berjalan ke kos-kosan tetangga belakang rumahnya, yang kos-kosannya campur.
Sampai sana, ternyata kos-kosannya penuh. Ya Allah, aku sudah pasrah pada-Mu.
Batinku saat itu. Aku takut jika tidak mendapat penginapan.
Tempat ketiga, ia
mengantarkanku pada rumah seorang kakek- kakek.
“Mbah, niki kamar e
dinggo mboten nggih mbah ? soale niki mbak e ajeng tes besok ten mriku, nggo
sewengi mbah.”
“Sik tak bukakne kamar e.” kata Mbah, lalu ia mengambil kunci ke
dalam rumah dan membuka kamar tersebut. Kamar tersebut tidak sempit-sempit
banget, juga tidak luas-luas banget. Cukup untuk kami berdua.
“Nek gelem ngko ben diresik I karo anakku. Tak jilih I kasur karo
bantal, nduk.” Kata Mbah kepadaku. Aku yang mendengarnya langsung
mengiyakan. Tidak masalah bagiku untuk tidur di kamar tersebut. Hanya untuk
satu malam saja.
“Ngko nek ng kamar mandi, nggo kamar mandi kos niku nggih, nduk.”
Kata Mbah itu lagi padaku. Ku ucapkan pada Mbah yag telah mengijinkan aku untuk
tidur di kamar depan rumah beliau. Aku tidak menyangka, malam itu aku bisa
mendapatkan penginapan. Ibu yang mengantarkanku tadi pulang, tak lupa kuucapkan
terima kasih pada si Ibu yang telah membantuku. Tanpamu, aku tidak tahu harus
bagaimana Bu.
Setelah dibersihkan
kamarnya, aku dan temanku langsung masuk kamar. Kuucapkan Alhamdulillah. Terima
Kasih Ya Allah. Barang-barang yang ku bawa ku taruh di sekitar kasur. Badanku
yang sudah berkeringat, membuatku untuk mandi. Aku dan temanku berjalan ke
kamar mandi yang dimaksud oleh Mbah tadi. Temanku mandi duluan, sedangkan aku
menunggu di luar. Kamar mandi yang kita pakai berada di tengah-tengah kamar
kos-kosan. Kos-kosan tersebut ada tujuh kamar, yang masing-masing kamarnya sudah
dihuni oleh satu keluarga. Kulihat kamar kos yang tidak sengaja terbuka
pintunya, sempit, batinku. Iya, kamarnya tidak terlalu luas dan bagiku sempit
untuk ditinggali satu keluarga. Di teras kos, mereka manfaatkan untuk dapur.
Aku yang melihatnya, malu. Malu pada diriku sendiri. Aku yang punya rumah,
harusnya lebih bersyukur dan tidak aneh-aneh. Disitu, Allah melihatkan ku
betapa harus bersyukurnya aku terhadap apa yang aku punya. Selesai mandi, aku
dan temanku kembali ke kamar dan tidur. Kami harus bangun pagi agar tidak kena
macet dan telat.
Esok harinya, suara alarm
memenuhi indra pendengaran kami. Kami pun langsung terbangun dan bergegas untuk
mandi. Di kos-kosan dekat kamar mandi, kujumpai ibu-ibu yang masih muda sedang
memasak makanan untuk dijual. Sang ibu ramah padaku. Aku berpikir. Ibu ini rela
memasak di pagi hari untuk jualan demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Betapa
perjuangan ibu ini.
Selesai mandi, aku dan
temanku mulai merapikan barang-barang yang kami bawa semalam. Kasur kami gulung
seperti semula, serta tikar yang kami lipat. Mbah keluar dari rumah dan
membawakan teh hangat dua, untukku dan temanku. Kami sungkan kepada Mbah. Kami
sudah merepotkan, merepotkan lagi. Teh pun langsung kami minum. Kami yang sudah
siap-siap berpamitan kepada Mbah dan anak Mbah serta istrinya. Kami tak lupa
mengucapkan banyak terima kasih kepada Mbah yang telah menampung kita semalam.
Kuberikan amplop titipan Ayah semalam untuk Mbah. Mbah menolaknya. Lalu, anak
Mbah bilang kepada kami.
“Tidak usah mbak, dibawa
saja. Siapa tau kalau saya nolongin mbak e anak saya yang di pondok ditolong
juga sama orang lain.”
Aku yang mendengarnya
trenyuh. Anak Mbah malah meminta nomor HP-ku. Agar nanti bisa silaturrahmi saat
ke Sragen. Setelah itu, kami berangkat ke tempat tes.
Pengalaman ini adalah
berharga bagiku. Mengapa ? Karena, aku dapat mengambil hikmahnya. Walaupun aku
tertipu, tetapi aku sudah mengikhlaskannya. Toh, nanti juga diganti oleh Allah.
Tak lama setelah ditipu, Allah menggantikan ku dengan Mbah. Tempat Mbah yang
memeberikanku arti hidup serta bagaimana caranya kita bersyukur dan menghargai
hidup. Sekarang aku sadar, kita harus bersyukur dan tidak boleh mengeluh terus.
Coba kita lihat ke bawah. Masih banyak orang yang tidak mampu, bahkan mereka
jarang mengeluh. Sedangkan kita ? sudah punya tapi masih saja mengeluh dan
minta banyak hal ini itu kepada Allah. Semoga pengalaman saya dapat menjadi
pembelajaran bagi kita semua, bahwa jika kita melakukan kebaikkan kepada
seseorang maka kita akan mendapatkan balasannya. Sebaliknya pun begitu.