Matahari terbenam di negara Sakura
Oleh : Azaula
Khonsa
Inilah aku, anak muda keturunan
Bugis berusia tujuh belas tahun yang duduk di kelas dua belas sedang bermimpi
untuk melanjutkan studi di pulau Jawa. Masa remajaku aku habiskan tinggal di
suatu pondok pesantren yang cukup terkenal di Sulawesi Selatan, Pondok
Pesantren Darul Aman Gombara Makassar. Aku menuntut ilmu disana selama kurang
lebih dua belas tahun terhitung sejak aku berusia enam tahun. Disinilah, kisah
cintaku dimulai.
Aku mulai terpikat oleh seorang
gadis percampuran Jawa-Melayu bernama Yafia Kenes Nurmala. Ayahnya berasal dari
Johor Bahru,Malaysia dan ibunya berasal dari Surakarta. Mereka menetap di
Medan,Sumatera Utara. Fia ini sangatlah anggun, bulu matanya lentik, matanya
besar, hidungnya mancung, berkulit putih nan bersih, postur tubuhnya bak
peragawati. Tutur katanya pun sangat lembut, bagaikan sutra. Fia pindah ke
Pondok Pesantren ini karena kedua orangtuanya sangatlah sibuk dengan urusan
bisnisnya sehingga Fia jarang mendapat perhatian dari kedua orangtuanya.
Sedangkan aku, remaja asli Bone, Sulawesi
Selatan dengan kedua orangtua yang biasa biasa saja. Ayahku bekerja sebagai
perangkat desa Ajangpulu dan ibuku bekerja sebagai pedagang buah di pasar
Ajangpulu. Aku memiliki seorang adik kecil berusia tiga tahun bernama Ambo
Bengnga. Akupun kaget mengapa aku memiliki adik? Padahal aku jarang sekali
pulang. Maklum, ongkos pulang pergi dari Bone menuju Makassar sangatlah mahal.
Terlebih, aku tidak memiliki sepeda motor sehingga aku pulang setahun sekali.
“TENGG..TENGG..TENG...!” Terdengar
suara lonceng diluar kamar asramaku pertanda saat itu menujukkan sepertiga
malam. Aku dan kawan kawanku berjalan menuju masjid untuk menuaikan ibadah
sunnah yaitu sholat Tahajud bersama. Di asaramaku ini, sholat bersama telah
menjadi tradisi.
Jam menunjukkan pukul enam lebih
tiga puluh menit pertanda aku harus bergegas menuju kelas untuk kegiatan
belajar mengajar. Aku dengan sengaja berangkat pagi agar aku bisa duduk depan
belakang dengan Fia, hehehe. Fia ini sangatlah pintar sehingga aku selalu
terkagum kagum olehnya.
Jam menunjukkan pukul delapan
menunjukkan adanya pergantian mata pelajaran. Dari mata pelajaran kimia
berganti dengan mata pelajaran ekonomi yang sangat aku benci. Ya,aku sangat
benci dengan ekonomi. Aku sangat tidak suka menghitung uang yang jika hilang
satu rupiah saja, aku harus mengulangnya dari awal. Huh! Merepotkan sekali.
Sedangkan Fia tidak, Fia terlihat sangat antusias dengan mata pelajaran ini.
Baginya, mata pelajaran ekonomi sangat berkaitan dengan perusahaan kedua
orangtuanya.
Aku tidak pernah menggoda Fia untuk
menjadi pacarku, tetapi kami sama sama suka. Kami berkomitmen untuk tidak
berpacaran sebelum aku lulus dari Perguruan Tinggi Negeri di Bandung lalu
menjadi dokter dan Fia lulus dari fakultas Ekonomi di Perguruan Tinggi Negeri
di Bogor. Kebetulan, Aku dan Fia sama sama diterima Perguruan Tinggi Negeri
melalui jalur undangan. Alhamdulillah.
Bulan Juli, bulan yang amat berat
bagiku karena harus meninggalkan kampungku di Bone dan harus merantau demi masa
depanku di pulau Jawa. Aku mendapat beasiswa dari Pemerintah yaitu bidikmisi
sehingga aku tidak mengeluarkan uang sepeserpun untuk tinggal di Bandung. Aku
berpisah dengan Fia, meski sebenarnya Bandung-Bogor cukup dekat bagiku. Fia pun
begitu, Fia tahu bahwa kuliah di fakultas Kedokteran sangatlah tidak mudah.
Sehingga Fia yang berusaha untuk menemuiku di Jakarta, Fia juga tahu akan
kondisi finansialku yang sangat tidak mendukung untuk berhura hura saja.
Beberapa bulan setelah kami
menjalankan hubungan Long distance
relationship, tugas tugasku semakin berat dan Fia pun semakin sibuk dengan
tugas tugasnya. Semakin kesini, hubungan kami berdua semakin redup, lalu hilang
jejak. Aku sangat sibuk, benar benar sibuk. Sedangkan Fia disana juga sedang
menjabat sebagai ketua BEM di fakultasnya.
Hari berganti bulan,bulan berganti
tahun. Aku jalani hari hariku dengan hati yang senang bercampur sedih. Sedih
karena Fia juga sangat sibuk. Hingga pada suatu hari dimana aku wisuda, Fia
menghubungiku melalui aplikasi What’s app
“selamat ya, Andi”.
Hingga akhirnya kami bertemu kembali
di suatu kedai kopi di Jakarta. Fia kini tumbuh menjadi gadis yang sangat
cantik. Akupun berencana untuk melamar serta menyuntingnya sesegera mungkin.
Karena, aku memiliki beasiswa spesialis di negara Sakura. Secara finansial dan
umur aku cukup untuk meminang Fia, menjadikannya sebagai pendamping hidupku
sampai akhir hayatku.
Kami melaksanakan prosesi pernikahan
dengan berbagai adat. Prosesi hari pertama dengan adat Jawa kami lakukan di
kampung ibunda Fia di Surakarta. Setelah itu, kami melakukan resepsi di Medan
dengan percampuran adat Melayu dan Bugis. Mewah sekali, kami sangat bahagia.
Bulan Juni, kami berangkat ke negara
Sakura dan kami tinggal di kota Osaka. Kami menyewa apartemen untuk satu tahun.
Tiba tiba, aku merasakan sakit kepala yang teramat sangat, sakit sekali
rasanya. Aku baru ingat, bahwa ayahku memiliki riwayat penyakit vertigo. Lalu
aku mencoba untuk memeriksa diriku sendiri dengan segala cara dan kemampuan
yang aku bisa.
Saat aku memeriksakan diriku, tiba
tiba terdengar suara telepon dari ayahku, dari Bone. Beliau mengabarkanku bahwa
ibuku meninggal. Aku sangat menyesal karena diriku sendiri sebagai dokter tidak
bisa menyembuhkan ibuku. Aku menangis, aku sangat bingung, benar benar bingung.
Lalu aku memaksakan diriku untuk
terbang ke Tanah Air untuk melaksanakan prosesi pemakaman ibuku di Bone. Aku
sangat menyesal, ditambah rasa sakit di kepalaku tak kunjung sembuh. Aku hanya
membawa obat pereda sakit.
Setelah itu aku kembali terbang ke
Jepang untuk melanjutkan studiku. Fia tidak ikut,karena Fia sedang berbadan
dua. Aku memaksakan diriku untuk tetap belajar dan terus belajar.
Dalam ujian akhirku, aku merasakan
kembali sakit di kepala yang teramat sangat. Hingga aku pingsan, Fia sangat
panik dan menangis. Lalu aku dilarikan ke rumah sakit Kitano. Saat itu, waktu
senja. Matahari akan tenggelam.
Aku masuk ke ruangan HCU dan
ternyata aku dinyatakan kanker otak stadium empat. Fia terdiam, air matanya
jatuh, kakinya lemas dan akhirnya ia terjatuh. Aku harus melalui berbagai
pengobatan untuk bisa sembuh dari kanker.
Hari demi hari aku lalui agar aku
bisa sembuh, hingga disuatu waktu aku kejang, dan aku dinyatakan meninggal.