Suscríbete

Selasa, 22 Maret 2011

Kesolehan Ekonomi

Muhammad Rudi Nugroho, SE. M.Si
(Sekretaris MES Surakarta)

Saat ini perekonomian dunia baru digoncang dengan krisis keuangan global yang berawal pada pertengahan tahun 2007 di USA. Dampaknya telah mengakibatkan melemahnya kondisi perekonomian di negara-negara maju, yang pada akhirnya secara tidak langsung juga mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang. Khususnya pada sektor perbankan, misalnya dalam melakukan kebijakan kredit, bank melakukan kebijakan kredit yang lebih selektif  yang dapat memunculkan fenomena credit crunch . Apabila fenomena credit crunch ini dibiarkan terus-menerus maka akan mengganggu pertumbuhan ekonomi, khususnya pertumbuhan sektor riil yang dapat berdampak pada ketidakstabilan ekonomi. Hal inilah yang pada akhirnya juga berdampak pada sektor keuangan, khususnya perbankan. Siklus diatas sebenarnya telah terjadi bertahun-tahun dan bahkan ada yang menyebut hampir terjadi setiap 10 tahun sejak masa great despertion tahun 1932 di USA.
Belajar dari krisis Indonesia yang terjadi pada tahun 1998, secara keseluruhan akibat dari krisis tersebut telah memperburuk tidak hanya pada aspek likuiditas perbankan, akan tetapi juga berdampak pada aspek solvabilitas dan rentabilitasnya. Mengingat perbankan merupakan pasar dominan dalam industri keuangan di Indonesia, maka secara sistematis sektor keuangan juga mengalami kelumpuhan (Santoso, 2003). Dalam kajian stabilitas keuangan Bank Indonesia tahun 2003, Krisis keuangan dan perbankan tersebut telah menyedot keuangan negara hingga mencapai sekitar 51% dari PDB Indonesia, sehingga dapat dikategorikan terbesar dalam sejarah krisis keuangan. Biaya krisis tersebut tentu saja belum memperhitungkan dampak negatif krisis pada perekonomian secara keseluruhan akibat hilangnya pertumbuhan ekonomi, investasi, tingkat pengangguran, dan social cost lainnya akibat terjadinya instabilitas sosial politik sebagai dampak ikutan di saat krisis terjadi. Menurut Berg dan Pattilo (1999) penyebab krisis keuangan dapat dibedakan menjadi 2 bagian besar yaitu; pertama, adanya gangguan terhadap fundamental ekonomi (inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan neraca pembayaran) dan kedua, adanya serangan spekulasi yang mempercepat terjadinya krisis (self-fulfilling crisis). Sementara itu, McKinnon dan Pill (1994) mengamati peranan aliran modal dalam perekonomian dengan sektor perbankan yang tidak teratur serta asuransi deposito dan masalah moral hazard di perbankan merupakan faktor-faktor penyebab krisis keuangan. Aliran modal masuk dengan keadaan seperti itu akan menyebabkan siklus pinjaman yang berlebihan dengan ledakan konsumsi dan defisit neraca transaksi berjalan yang tinggi. Akibat kredit yang berlebihan ini adalah terjadinya over investment sehingga mengakibatkan inflasi. Apabila Inflasi yang cenderung tinggi terus menerus akan berakibat pada hilangnya daya saing dan menurunnya pertumbuhan ekonomi sehingga pada akhirnya dapat menganggu stabilitas perekonomian nasional.
Memang, saat ini terjadi perdebatan konsep dan pemikiran baik secara yuridis maupun institusional (legal and institutional framework) mengenai institusi-institusi yang bertanggung-jawab secara menyeluruh dalam menjaga stabilitas sistem keuangan tersebut. Indonesia saat ini telah menerapkan dual monetary system, yaitu  mekanisme tingkat bunga dan bagi hasil. Sistem bagi hasil sebagai sebuah prinsip perhitungan berdasarkan pendapatan produsen atau peminjam yang memiliki sifat fleksibel terhadap pengembalian bagi hasilnya. Dengan sistem ini pertambahan jumlah uang beredar akan mengikuti pertambahan output yang terjadi. Eksposure pembiayaan perbankan syariah di Indonesia saat ini masih dominan pada aktivitas perekonomian domestik dengan fokus pada pembiayaan sektor riil karena bank syariah dalam melakukan transaksi perbankan selalu menggunakan prinsip underlying transaction , sehingga hal ini akan mendorong stabilititas dan keseimbangan antara pasar uang dan pasar barang atau sektor riil dan sektor moneter sehingga hal ini juga akan menekan laju inflasi.
Perkembangan perbankan Indonesia  dalam kurun waktu 6 tahun terakhir ini dapat kita ketahui dari indikator internal perbankan syariah dan konvensional antara lain; Loan Deposit Ratio(LDR) bank syariah rata-rata sebesar 99.5 jauh lebih tinggi dari pada bank konvensional yang rata rata sebesar 64.2. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi intermediary di bank syariah dapat berjalan lebih baik dari bank konvensional. Untuk  risiko kredit macet Non Performing Loan (NPL) atau di dalam bank syariah dinamakan Non Performong Finance (NPF), bank syariah lebih rendah yaitu sebesar sebesar 3.72 sedang bank konvensional sebesar 8.17. Hal ini menunjukan bahwa kredit macet di bank syariah lebih kecil dari pada bank konvensional.  bahkan dalam outlook perbankan syariah Indonesia tahun 2010 menyebutkan bahwa posisi Indonesia dalam pasar keuangan global pertumbuhan industry perbankan syariah  dalam 5 tahun terakhir lebih tinggi dari pertumbuhan  industri keuangan syariah global (15% - 20% p.a) dan selama kurun waktu 17 tahun perkembangannya, total aset industri perbankan Syariah telah meningkat sebesar 30 kali lipat dari Rp 1,79 triliun pada tahun 2000, menjadi Rp 58.034 triliun pada September 2009. Laju pertumbuhan aset 53,32% per tahun (yoy, rata-rata pertumbuhan dalam 8 tahun terakhir ). Dari pemaparan di atas, kita sudah dapat melihat dan tergamgambar bagaimana sebuah krisis bisa datang, bagaimana fakta teoritis dan empiric sudah kita lihat dan terakhir bagaimana kita melangkah dan mensikapinya. Sikap ini sama dengan ketika seorang disuguhkan dengan cerita surga dan neraka ketika ditanya maka pasti semuanya memilih surga akan tetapi fakta membuktikan bahwa lebih banyak orang memilih jalan ke neraka.
Alloh SWT berfirman dalam Q.S Ar-Rahman [55:13]:
فَبِأَيِّ  ءَالآءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
 yang artinya: “Maka ni'mat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” Sehingga dibutuhkan sebuah kesolehan dalam melangkah dan mensikapi fenonema tersebut, yaitu Kesolihan Ekonomi. Wallohu a’lam bisshowab.
Catatan Kaki:
1. Credit crunch adalah keengganan bank dan penghematan pinjaman (the reluctance of bank and thrift to lend) yang dilakukan oleh bank. Dengan kata lain terjadi penurunan pasokan kredit sebagai akibat dari merosotnya kemauan bank untuk menyalurkan kredit (Bernanke dan Lown, 1991). Credit crunch juga terjadi karena ketimpangan penawaran dan permintaan kredit, penawaran yang terlalu berhati-hatinya perbankan dalam memilih nasabah, trauma krisis, dan juga rendahnya permintaan atau kemauan nasabah untuk meminjam uang karena terlalu tingginya kemungkinan resiko yang akan di tanggung (Gosh and Gosh, 1999) dan (Starr dan Yilmaz, 2005).
2. Setiap transaksi keuangan selalu didasari oleh transaksi riil.

Diberdayakan oleh Blogger.

Text Widget

Sample Text

Jalan Jenderal Ahmad Yani, Surakarta 57162, Indonesia
Kampus 2 UMS (Universitas Muhammadiyah Surakarta)
Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB-UMS)

Followers

Stats

Didukung Oleh

Didukung Oleh

Link Blog

BTemplates.com

Popular Posts