Suscríbete

Jumat, 15 Juni 2012

BUNGA VS BAGI HASIL


Krishna Adityangga, SEI., MSI.

Sudah menjadi tabiat pedagang nampaknya, bahwa didalam bisnis memanglah wajar jika harus berprinsip ngirit pengeluaran dengan hasil maksimal.Istilah ini, sangat ngetrend diistilahkan oleh para ekonom dengan sebutan prinsip ekonomi, yakni untuk mendapatkan hasil sebesar-besarnya dilakukan dengan pengorbanan sekecil-kecilnya.
Sehingga, tidak heran jika kemudian pemahaman inilah yang kemudian menjadi barier besar bagi seseorang pedagang untuk mau berbagi hasil. bagihasil pada dasarnya adalah sangat adil dan tepat. namun, bagi yang tidak memahami dan terbiasa olehnya maka ini menimbulkan kejanggalan tersendiri bagi pelaku bisnis pada umumnya. konsep bagi hasil, bertolak dari pembagian hasil usaha riil/ sesungguhnya yang terjadi. tidak perlu diada-adakan atau ada manipulasi didalamnya. Tentu saja dengan deskripsi seperti ini, artinya jika keuntungan besar tentu menghajatkan untuk mau berbagi hasil yang besar pula( dengan kata lain tidak konstan).
Pembagian hasil memungkinkan untuk tidak mengembalikan pokok terlebih dahulu. karena, bisa jadi untung yang diberikan setiap bulan belum termasuk pengembalian pokok.
Berbeda dengan sistem bunga, si pengusaha bisa memproyeksi lebih awal dari total penambahan modal yang telah ia terima dari bank.
Tentu saja, jika dilihat dari sisi bisnis ini lebih memudahkan pengusaha pada umumnya. meskipun jika dilihat secara seksama, justru pengusaha lebih enak mengelola dana dengan reward bagi hasil dibandingkan bunga. karena, dengan sistem bunga pengusaha merasa ditarget oleh bank dengan pengeluaran tetap sekian setiap bulan hingga kredit nya selesai.
Namun demikian, tidak jarang bahkan lebih banyak yang lebih suka dengan sistem kerja yang diketahuio fix cost jauh hari ini. dari pada harus membagikan lebih banyak ditengah waktu ketika dapat meraih keuntungan besar yang lebih.
Pedagang pada umumnya berpikir, bahwa hasil besar saat ini harus bisa digunakan untuk pencadangan permodalan, pembelian aset produktif, penambahan persediaan barang atau lainnya.
Disinilah, diperlukan kecerdasan spiritual untuk mengakui makna keuntungan non pragmatis. Bahwa dengan berbagi meski nampak besar, akan menimbulkan berkah yang besar pula dan ini akan membuat bisnis berkesinambungan dan langgeng.
Penjelasan ini memang tidak selamanya bisa dipahami dan dimengerti dan dimaui oleh pedagang. ini butuh proses dan perlu ada edukasi kepada para pedagang mengenai hal ini.
Tidak jarang pemahaman yang salah ini mengcounter balik peran dan fungsi akan keberadaan bank dan lembaga keuangan syariah. terlebih jika, kemudian ternyata bank dan atau lembaga keuangan syariah memaknai bagi hasil dengan mematok, dan sudah meminta hasil sebelum proses jalan. dan jika tidak demikian, susah untuk maju ke bank syariah, karena bagi hasil tidak dapat dinikmati diawal bulan (karena bisa jadi investasi penambahan modal akan membuahkan pada bulan-bulan ke tiga atau keempat keatas).
Inilah yang kemudian ada mis diantara para pedagang dan pihak lembaga keuangan syariah. akhirnya, terkadang muncul solusi yang dipaksakan. jika ternyata pada dasarnya nasabah tersebut potensial maka aqad dimasukkan ke murabahah (dengan cara bagaimanapun nantinya, seperti membelikan barang modal atau lain sebagainya) dan jika nasabah kurang potensial maka, disarankan untuk mencari pada bank lain.
Parahnya, jika ternyata nasabah potensial tadi bersikeras untuk meminta aqad musyarakah, tentunya ini akan menjadi masalah...mana yang salah dan mana yang benar?
Efek dari skema pemnbayaran model bagi hasil dengan membayar hasil yang dipaksakan atau tidak pada waktu yang sesungguhnya ini justru akan menimbulkan kebathilan aqad. selain itu, pedagang umum justru akan lebih memilih bank konvensional daripada bank syariah.
Terlebih dengan fasilitas adanya kredit rekening koran. dimana nasabah konvensional dapat membayar bunganya saja dan membayar pokoknya secara tempo dan dapat diperpanjang. ini tentu dianggap lebih mirip, sepertihalnya musyarakah. Meski disini diperlakukan adanya bunga flat. tapi, tentunya baik di syariah maupun konven pasti akan menempatkan dananya pada perusahaan yang bukan tidak menguntungkan bukan? sehingga sangat kecil kemungkinan memberikan dana investasi yang akan rugi. kecuali force majour.
Dalam hal force majour sendiri, tentu bank konvensional pun juga memaklumi dan tentunya sudah dipertimbangkan dengan adanya asuransi yang akan mengcovernya. begitu juga di bank syariah.
Jika ada keterlambatan pembayaran, tidak jarang bank syariah pun melakukan penanganan yang sama dengan konvensional. dan bahkan sekarang konvensional maupun syariah sama-sama sepakat membuat aturan penanganan pembiayaan yang lebih manusiawi. adapun masalah bunga berbunga, mungkin gak jika bank syariah juga menerapkan denda berdenda...wallahu a'lam

Diberdayakan oleh Blogger.

Text Widget

Sample Text

Jalan Jenderal Ahmad Yani, Surakarta 57162, Indonesia
Kampus 2 UMS (Universitas Muhammadiyah Surakarta)
Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB-UMS)

Followers

Stats

Didukung Oleh

Didukung Oleh

Link Blog

BTemplates.com

Popular Posts