Suscríbete

Jumat, 15 Juni 2012

ZAKAT 101 Terawang Zakat Indonesia: Mematung di Simpang Jalan (?)


Oleh Arif R. Haryono[1]
(Disampaikan pada Talk Show Indonesia Berzakat FoSEI UMS) 

If Men were Angels, no government would be necesarry
(James Madison, Founding Father of US Contitution)


Membincang zakat dalam kondisi kekinian menjadi menarik, jika tak ingin disebut ruwet. Menarik karena secara perkembangan perluasan wacana, zakat tak lagi sekedar konsumsi privat guru-murid yang sedang menimba ilmu agama, namun telah memasuki dunia publik (public sphere[2]) relasi negara-masyarakat. Maka dalam konteks inilah, zakat dapat dinyatakan memasuki era baru; era keterbukaan informasi dan demokratisasi multi-sektor, di mana setiap hal yang dahulu dianggap tabu, sakral, dan statis dapat berubah menjadi perbincangan deras di alam publik.

Dalam banyak hal, perubahan sifat perlakuan ini menyebabkan entitas dan kadar ketabuan itu menjadi cair tak bersekat. Lalu tak lagi jadi tabu? Tidak juga, dalam banyak kasus yang berubah bukalnkah kadar sakralitas dari entitas tersebut, tapi dari bagaimana masyarakat memperlakukannya. Dalam bahasa sederhana, jika sebelumnya sakralitas mengharuskan diskusi dilaksanakan pada ruang tertutup, berubah menjadi diskursus publik yang partisipatif bagi setiap pihak. Zakat tak luput dari gejala publik-asi ini.

Mari menyelami sejarah zakat Indonesia.

Pengelolaan Zakat Indonesia[3]
Di Indonesia, zakat sejak awal dikelola tanpa keterlibatan negara. Pada awal kemerdekaan, serupa dengan kebijakan di era kolonial, pemerintah memilih posisi tidak turut campur tangan pada pengelolaan zakat yang ada. Dengan demikian, zakat dijalankan secara individual-tradisional, dengan ditopang dua institusi keagamaan terpenting: masjid dan pesantren.

Di era orde baru, secara umum, negara tetap mengambil jarak terhadap pengelolaan zakat. Namun di era ini telah tumbuh kesadaran yang kuat untuk mengelola zakat secara kolektif yang diindikasikan secara jelas dengan berdirinya berbagai lembaga pengelola zakat. Di era ini muncul tiga jenis lembaga pengelola zakat. Pertama, lembaga pengelola zakat yang didirikan oleh pemerintah daerah seperti DKI Jakarta (1968), Kalimantan Timur (1972), Sumatera Barat (1973), Jawa Barat (1974), Sumatera Selatan (1975), Lampung (1975), Irian Jaya (1978), Sulawesi Utara (1985), Sulawesi Selatan (1985), dan Bengkulu (1989). Kedua, lembaga pengelola zakat yang didirikan oleh BUMN seperti BAMUIS BNI (1968), LAZ YAUMIL PT Bontang LNG (1986), dan Baitul Maal Pupuk Kujang (1994). Ketiga, lembaga pengelola zakat yang didirikan oleh masyarakat sipil seperti Yayasan Dana Sosial Al Falah (1987), Dompet Dhuafa Republika (1993), Rumah Zakat Indonesia (1998), dan Pos Keadilan Peduli Ummat (1999).

Zakat di Indonesia mengalami kebangkitan di tangan masyarakat sipil pada tahun 1990-an. Era ini kemudian dikenal menjadi era pengelolaan zakat secara profesional-modern berbasis prinsip-prinsip manajemen dan tata kelola organisasi yang baik. Sejak era inilah kemudian potensi zakat di Indonesia mulai tergali dengan dampak yang semakin signifikan dan meluas.

Titik balik terpenting dunia zakat Indonesia terjadi pada tahun 1999. Sejak tahun 1999, zakat secara resmi masuk ke dalam ranah hukum positif di Indonesia dengan keluarnya UU No 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat. Berdasarkan UU ini, zakat dapat dikelola baik oleh lembaga amil bentukan pemerintah yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) maupun oleh lembaga amil bentukan masyarakat yaitu Lembaga Amil Zakat (LAZ). Di satu sisi, UU ini mengatur adanya sanksi bagi lembaga amil yang tidak amanah walau tidak jelas implementasi-nya karena ketiadaan regulasi operasional dari UU ini. Di sisi lain, UU ini tidak mengatur adanya sanksi bagi wajib zakat yang lalai, dengan kata lain UU menetapkan bahwa pembayaran zakat bersifat sukarela. Meski demikian, UU ini telah merintis upaya pemberian insentif bagi wajib zakat dengan menjadikan zakat sebagai pengurang pajak.

Sejak keluarnya UU ini, lembaga-lembaga amil tumbuh bak cendawan di musim hujan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Hingga kini setidaknya terdapat BAZNAS dan 18 LAZ tingkat nasional, 33 BAZ tingkat provinsi, dan 429 BAZ tingkat kabupaten/kota. Belum lagi bila kita perhitungkan LAZ tingkat daerah, 4.771 BAZ tingkat kecamatan, Unit Pengumpul Zakat (UPZ) hingga amil-amil tradisional-individual berbasis masjid dan pesantren.

Bagaimana dengan regulasi zakat baru, UU no. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat? Sayangnya UU ini menuai deras kritikan semenjak pengesahan oleh parlemen. Dalam pengalaman IMZ mengelola diskusi publik untuk mengevaluasi UU ini, yang muncul adalah penolakan, niat uji materiil, hingga tantangan melakukan pembangkangan publik (public disobedience) atas pemberlakuan UU ini[4].

UU ini memang memicu kontroversi dari awal pembahasan. Kontroversi pertama muncul ketika akhir Juli 2010 lembaga zakat berbasis pemerintah mengirimkan petisi tanda tangan penolakan atas draft awal UUPZ yang menegasikan BAZ. Petisi yang menandaskan bahwa eksistensi BAZ tidak boleh dihilangkan, meski atas sebuah nama sekalipun. Kontroversi kedua mencuat ketika proses pembahasan ini lengah dari pemantauan banyak pihak. Proses pembahasan yang relatif singkat dan serba tertutup ini pun membuat luputnya pelbagai substansi sentral. Maka tak heran alih-alih berbicara strategi pengembangan zakat bagi pengentasan kemiskinan, UU ini justru lebih banyak mengupas persoalan teknis administratif.

Rendahnya partisipasi publik selama proses penyusunan memunculkan kontroversi ketiga, penolakan dari beberapa elemen komunitas zakat atas UUPZ ini. Saya katakan beberapa karena toh ada yang berpendapat menerima UUPZ sebagai satu alat untuk memperbaiki tata kelola zakat Indonesia, apapun kekurangannya. Sementara pihak berlawanan menolak menandaskan bahwa UUPZ ini berpotensi merevolusi pola pengelolaan zakat Indonesia dari basis komunal-masyarakat menjadi pola profesional-kelembagaan.

Jika sebelumnya diferensiasi lembaga zakat dapat diklasifikasikan menjadi 3 jenis pola, yaitu (1) lembaga berbasis pemerintah, (2) berbasis massa (mengambang), dan (3) berbasis ormas keanggotaan. Maka UUPZ telah mengubah diferensiasi itu menjadi dua kubu saja, kubu menolak dan kubu mendukung UUPZ! Kabar baik atau buruk? Sila anda nilai sendiri, yang jelas ada saja pihak yang senang antar pegiat zakat saling tunjuk hidung. Dalam bahasa seniman Rene Gusconny dan Albert Uderzo, Le Grand Fossé!

***

Saya tunda sejenak soal karut marut regulasi. Saya akan hantarkan selintas mengenai kinerja zakat dalam pengentasan kemiskinan yang telah dilakukan IMZ pada 2011 silam, yang akan menjadi bahan publikasi pada Indonesia Zakat and Development Report 2012[5].

Tabel 1
Analisa Kemiskinan Umum[6]

Indeks Kemiskinan
Tanpa Zakat
Dengan Zakat
Prosentase Perubahan
Headcount index
0,220
0,173
21,11
Poverty Gap (Rp)
326.501,01
318.846,15
2,34
Income Gap
0,247
0,235
4,84
Sen
0,089
0,067
25,22
FGT
0,020
0,014
30,14
      
Insiden Kemiskinan
Pada Tabel di atas. nilai indeks headcount sebesar 0,22 yang bermakna dari seluruh penerima zakat (mustahik) yang diamati, 22 persennya dikategorikan miskin berdasarkan kriteria BPS, sedangkan 78 persen tidak dikategorikan miskin menurut kriteria BPS. Kecilnya persentase rumah tangga miskin tersebut bukan berarti bahwa kinerja OPZ buruk dalam penyaluran dana zakat. Melainkan, lebih karena garis kemiskinan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu garis kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS lebih rendah dibandingkan dengan standar nishab yang selama ini dijadikan sebagai batas pembeda antara muzakki dan mustahik. Karena nilai indeks headcount sangat bergantung pada garis kemiskinan maka penggunaan garis kemiskinan yang berbeda dapat menghasilkan persentase RTM yang berbeda pula.

Selain itu, penentuan penerima manfaat zakat (beneficiaries) tidak hanya didasarkan pada garis kemiskinan tetapi juga karakteristik lainnya dan dapat berbeda untuk tiap program seperti bantuan modal yang dapat berbeda kriteria kelayakannya dengan bantuan karitatif. Penggunaan garis kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS dalam penelitian ini selain dimaksudkan untuk menyeragamkan dan menyederhanakan pengukuran, juga dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan garis kemiskinan yang dipakai dan dipublikasikan oleh pemerintah.

Setelah pendistribusian zakat, nilai indeks headcount turun dari 0,220 menjadi 0,173. Dengan kata lain, persentase rumah tangga miskin berkurang sebesar 4,7 poin atau persentase perubahannya 21,11 persen. Penurunan persentase jumlah rumah tangga miskin tersebut mengindikasikan dampak program zakat yang dilakukan OPZ sangat signifikan dalam menurunkan jumlah rumah tangga miskin.

Kedalaman Kemiskinan
Jurang kemiskinan dan kisaran biaya yang diperlukan untuk menutupinya ditunjukkan oleh indeks income gap (I) dan poverty gap (P1). Tanpa zakat nilai indeks income gap sebesar 0,247 dan setelah distribusi zakat nilainya turun menjadi 0,235. Penurunan nilai indeks tersebut mengindikasikan bahwa rata-rata pendapatan (atau pengeluaran) rumah tangga miskin cenderung makin mendekati garis kemiskinan. Biaya pengentasan kemiskinan yang dibutuhkan juga berkurang dari Rp.326.501,01/rumah tangga/bulan menjadi Rp.318.846,15/rumah tangga/bulan dengan catatan tanpa biaya transaksi dan faktor penghambat (transfer sempurna).

Keparahan Kemiskinan
Penurunan indeks kedalaman kemiskinan diikuti dengan penurunan indeks keparahan kemiskinan. Indeks Sen mengalami penurunan dari 0,089 menjadi 0,067. Begitu pula dengan indeks FGT yang turun dari 0,020 menjadi 0,014. Dengan demikian, setelah pendistribusian zakat ketimpangan pendapatan (atau pengeluaran) di antara rumah tangga miskin semakin rendah.

Berdasarkan ketiga indeks kemiskinan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa secara umum zakat memiliki implikasi positif dalam mengurangi beban kemiskinan seperti mengurangi jumlah rumah tangga miskin, tingkat kedalaman kemiskinan dan tingkat keparahan kemiskinan. Pada Tabel selanjutnya dilakukan perbandingan prosentase penurunan indeks kemiskinan antara kinerja zakat tahun 2009/2010 dengan kinerja saat ini.

Tabel 2
Perbandingan Kinerja Zakat
Indeks Kemiskinan
Prosentase Penurunan 2009/2010
Prosentase Penurunan 2010/2011[7]
Pertumbuhan
(%)
H
10,79
21,11
95,64
I
4,69
4,85
3,41
P2
12,12
25,22
108,08
P3
15,97
30,14
88,73

Pada Tabel 2 seluruh indeks mengalami pertumbuhan positif baik dari segi jumlah rumah tangga miskin, kedalaman kemiskinan, dan keparahan kemiskinan. Perlu diingat bahwa persentase penurunan tahun 2010/2011 yang tinggi tersebut berasal dari perubahan indeks kemiskinan yang nilainya rendah.

Tabel 3
Perbandingan Kinerja Zakat

Indeks Kemiskinan
Prosentase Penurunan 2009/2010
Prosentase Penurunan 2010/2011[8]
Pertumbuhan
(%)
H
10,79
17,857
65,52
P1 (Rp)
4,69
4,64
-1,07
I
4,69
7,427
58,36
P2
12,12
20,64
70,30
P3
15,97
29,23
83,03

Bila diperbandingkan pada cakupan wilayah yang sama yaitu Jabodetabek, maka pertumbuhan tiap indeks terlihat pada Tabel 2.4. Sama halnya dengan seluruh cakupan wilayah, saat dibandingkan dengan hasil Jabodetabek, seluruh indeks mengalami pertumbuhan positif dibandingkan ukuran indeks kemiskinan tahun 2009/2010.

Analisa Time Taken to Exit
Ketika membahas mengenai kemiskinan, salah satu pertanyaan penting adalah berapa lama waktu yang diperlukan untuk mengentaskan kemiskinan? Sebuah intervensi sosial bagi masyarakat miskin dengan tujuan membebaskan mereka dari kemiskinan tentunya membutuhkan waktu yang tidak instan. Pertumbuhan ekonomi memiliki peran dalam mewujudkannya. Akan tetapi, hal pokok yang menentukan adalah bukan tingginya pertumbuhan ekonomi namun besarnya perolehan pertumbuhan ekonomi yang diterima oleh masyarakat miskin.





Grafik 1. Rata-rata Waktu Pengentasan Kemiskinan

Berdasarkan hasil analisis dengan asumsi tingkat pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan terdistribusi normal pada seluruh masyarakat miskin, diperlukan waktu selama 7 tahun untuk mengentaskan kemiskinan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang dinikmati keluarga miskin hanya 1 persen setiap tahunnya. Akan tetapi, setelah pendistribusian zakat dilakukan di pulau Jawa, waktu pengentasan tersebut mampu dipersingkat dari 7 tahun menjadi 5,1 tahun.

Hasil analisis menunjukkan bahwa pendayagunaan zakat oleh Organisasi Pengelola Zakat berimplikasi positif dalam mengurangi beban kemiskinan. Secara umum persentase rumah tangga miskin (penerima zakat) mengalami penurunan sebesar 21,11 persen. Persentase penurunan tingkat kemiskinan di periode 2010/2011 ini lebih tinggi dibandingkan periode sebelumnya. Tidak hanya jumlah rumah tangga miskin yang berkurang, dimensi kemiskinan lainnya seperti tingkat kedalaman kemiskinan dan tingkat keparahan kemiskinan juga berhasil diturunkan. Selain itu, pendayagunaan zakat oleh OPZ mampu mempercepat pengentasan kemiskinan 1,9 tahun dari 7 tahun menjadi 5,1 tahun.

Capaian OPZ dalam mengurangi beban kemiskinan tersebut menjadikan zakat sebagai instrumen potensial membantu upaya pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan. Program pendayagunaan zakat oleh OPZ kini semakin kreatif dan mengarah pada pemberdayaan dan pengembangan masyarakat sehingga sinergi antara zakat dengan program pengentasan kemiskinan pemerintah menjadi mungkin dan menjanjikan untuk pencapaian hasil pengentasan kemiskinan yang lebih baik.


***


Kontroversi Regulasi
Hasil kajian empirik tersebut menunjukkan bahwa memang pengelolaan zakat di Indonesia telah menuju arah yang tepat. Tentu ini kabar gembira di tengah pergulatan dialektika terkait efektifitas UU zakat baru. Prestasi lembaga zakat, tanpa mendikotomikan BAZ vs LAZ, harus dipandang sebagai aset utama bangsa dalam pengentasan kemiskinan. Meminjam istilah Erie Sudewo, musuh BAZ dan LAZ adalah kemiskinan. Namun, keberadaan regulasi UUPZ ini berpotensi membuat kerja-kerja lembaga zakat menjadi impoten melalui birokratisasi pengelolaan via negara.

Setidaknya dalam pemantauan kami ada dua materi yang menjadi episentrum dialektika. Pertama adalah soal kewenangan monopolitik yang dimandatkan kepada BAZNAS sebagai koordinator, regulator, pengawas, dan pengumpul dana masyarakat pada saat bersamaan. Tentu ini menjadi persoalan serius manakala sebagai lembaga otoritatif yang mengoordinasikan kegiatan pengelolaan zakat di setiap tingkatan pada saat bersamaan bertindak sebagai pengumpul dana juga. Ada yang mengusulkan jalan tengah yaitu dengan membatasi kegiatan pengumpulan yang dilakukan BAZNAS/BAZDA pada lingkup pemerintah dan BUMN/BUMD saja. Tetapi akankah ini tidak berbenturan dengan lembaga zakat yang telah ada dan berkembang di BUMN/BUMD tersebut? Solusi cespleng perlu segera diberikan kelihatannya.

Perdebatan kedua berkutat pada persyaratan yang diberikan kepada LAZ, di mana lembaga zakat yang dinisiasi oleh masyarakat dibenturkan pada dua kewajiban, pertama diakui legalitasnya secara hukum, dan kedua mengubah bentuknya menjadi Organisasi Kemasyarakatan Islam. Jika tak mampu memenuhi satu dari dua syarat ini, maka lembaga zakat “diarahkan” untuk menjadi organisasi yang menginduk pada lembaga zakat yang telah resmi dan lulus uji-syarat UUPZ. Ini laiknya perdebatan di alam politik soal parliamentary threshold yang “memaksa” partai politik tak lolos ambang batas parlemen untuk bergabung dengan partai lain yang lolos. Soal merger tak sekedar bicara persoalan administratif belaka, tapi ada hambatan ideologis, keselarasan visi-misi organisasi, kepentingan kelompok, hingga dinamika dan budaya organisasi yang berbeda antar lembaga.

Maka, di tengah catatan prestatif lembaga zakat dalam pengentasan kemiskinan turut tersembunyi persoalan mendalam pasca pengesahan UUPZ. Dalam banyak hal, patut rasanya kita menyatakan UU ini telah membuat pelbagai pihak galau atau bahkan apatis dengan pola pengelolaan zakat ke depan yang sentralistik dan birokratis. Jalan tengah telah diusulkan: menyandarkan diri pada kualitas Peraturan Pemerintah atau melakukan uji materiil terhadap UU. Kedua hal itu bisa dilakukan. Yang tidak boleh dilakukan adalah berhenti memperbaiki diri melawan musuh kita bersama: kemiskinan.


[1] Peneliti Kebijakan pada IMZ [Encourage the Capacity for Social Changes]
[2] Jurgen Habermas menjelaskan ‘dunia publik’ sebagai dunia di mana setiap warga masyarakat dapat berinteraksi-diskusi tanpa sensor, berkumpul dan berserikat secara bebas, bebas dominasi, tanpa adanya pengaruh tekanan kekuasaan. Negara bukan lantas tanpa kuasa di dalamnya, tetapi justru ‘dunia publik’ ini bila tumbuh-berkembang mampu berlaku sebagai kekuatan tandingan dari negara. Suasana komunikatif ini sangat dimungkinkan tumbuh pada alam demokrasi substantif (Menuju Masyarakat Komunikatif, Hardiman, F. Budi, 1993, hal 128-129)
[3] Dikulik dari IZDR 2010: Arsitektur Zakat Indonesia dan catatan pribadi penulis
[4] Wacana ini cukup menggelitik saya. Pertama menguak pada diskusi terbatas yang dilakukan oleh IMZ pada medio November 2011 di Republika Meeting Room. Hal ini tidak terlepas dari keseriusan pemerintah dalam melakukan “pengaturan sistematis” bagi masyarakat dalam pengelolaan zakat. Dari lembaga zakat yang hadir, rata-rata datang dari daerah menyatakan akan melakukan uji materiil UUPZ sembari melakukan pembangkangan publik atas kandungan materi UUPZ yang dinilai diskriminatif dan menghambat ruang partisipasi masyarakat luas
[5]  Dalam proses penerbitan
[6] Pada analisis umum digunakan garis kemiskinan nasional sebesar Rp.253.016,-/kapita/bulan karena mencakup seluruh wilayah yang diteliti.
[7] cakupan wilayah tidak hanya Jabodetabek melainkan juga wilayah Padang, Kalimantan Timur, Yogyakarta, dan Surabaya

[8] cakupan wilayah terbatas pada Jabodetabek

Diberdayakan oleh Blogger.

Text Widget

Sample Text

Jalan Jenderal Ahmad Yani, Surakarta 57162, Indonesia
Kampus 2 UMS (Universitas Muhammadiyah Surakarta)
Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB-UMS)

Followers

Stats

Didukung Oleh

Didukung Oleh

Link Blog

BTemplates.com

Popular Posts