Suscríbete

Jumat, 15 Juni 2012

OBROLAN TENTANG KOPERASI SYARIAH PEDAGANG PASAR


Krishna Adityangga, SEI., MSI.
(Pengkaji Ekonomi Islam Kerakyatan Inklusif)

Modernisasi telah semakin melaju kencang, kebutuhan masyarakat akhirnya menuntut adanya inofasi layanan jasa keuangan, kecerdikan finansial di ranah konstruksi sosial masyarakat pun kini telah mengikuti(red: melek finansial).
Sosok koperasi sebagai icon ekonomi inklusif yang secara teoritis bisa masuk ke tulang rusuk masyarakat, nampak kini berubah menjadi eksklusif. Makna profesionalitas modernis koperasi, dimaknai prudential-lisasi  koperasi dengan hampir seluruhnya mengikuti mazhab pengelolaan perbankan. Wal hasil, koperasi kini telah bermetafora menjadi sebuah mikro banking.
Cara mengakses koperasi tidak lagi fleksibel, penentuan jasanya pun kaku tidak transaksional. Interfensi otoritas keuangan menghajatkan dirinya untuk tidak sekedar menjadi lembaga masyarakat, namun menjadi lembaga keuangan resmi yang prudential, sehingga muncullah SOP (Standar Operasional Prosedur) dan SOM (standar Operasional management) berbasis micro banking. Training-training dan standarisasi manajer, diampu langsung oleh pakar perbankan dan mikro banking, sehingga melahirkan SDM berkualitas micro banking. Yang dengannnya, memiliki harapan untuk mau dan mampu mengelola koperasi seprofesional mungkin dan meminimalisir kredti macet.
Namun, meski demikian banyak data membuktikan bahwa banyak dari koperasi telah memiliki jumlah NPL (Non Performing Loan)/ kredit macet yang cukup besar. Rata-rata permasalahan koperasi adalah likuidasi yang tidak sehat. Pengelola yang terjebak dalam manipulasi dana yang akhirnya harus kabur tanpa pamit kepada institusinya. Rush  susah ditangani, masyarakat yang menaruhkan dananya di koperasi merasa kesulitan untuk mengambil dananya  kembali.
Kini tren lembaga yang menyandang tag line  soko guru ekonomi ini, telah banyak merebak lagi dengan icon syariah. Sepintas, melihat hal ini nampak menggembirakan. Mestinya dengan adanya koperasi berlabel syariah, tentu pengelolaan akan amanah, jujur dan profesional dan mengedepankan prinsip laa tudzlimuuna wala tudzlamuun dan antarhodin minkum. Namun, justru sebaliknya, hasilnya adalah sama saja dan malah hal ini cenderung memberikan stigma negatif dimasyarakat yang akhirnya harus salah paham terhadap konsep rahmatan lil alamin-nya sistem syariah.
Koperasi lembaga keuangan yang sangat inklusif dan bersanding dengan syariah yang mengedepankan transaksional berkeadilan, harus bisa lebih tepat menyandang sebagai soko guru perekonomian untuk saat ini, namun mengapa justru sebaliknya?
Berkaca dari konsep dasar koperasi, ternyata nampak kurang teraplikasikan di banyak koperasi hampir seluruhnya di negara ini. Mulai dari kepemilikannya, pola RAT, pola keanggotaan, hingga pada konsep manajemen dananya. Dan anehnya hal ini dianggap sesuatu yang wajar, bahkan jika itu tidak dilakukan, maka koperasi tidak akan bisa berjalan dengan baik.
koperasi bukanlah milik perseorangan, namun dirinya adalah milik dari cluster anggota koperasi tersebut. Jika dirinya terlalu luas tanpa adanya pembatasan cluster yang jelas, maka dirinya dituntut untuk mampu memanajemen konstruksi sosial yang lebih baik.
Konstruksi sosial menjadi sangat penting bagi semacam sebuah lembaga keuangan islam seperti yang ada saat ini. Hal ini dirasa perlu, mengingat dalam prkatik koperasi yang berprinsip syariah, harus mengedapnkan kontribusi hak dan kewajiban secara tepat pada tempatnya.
Tidak mudah bagi masyarakat umum, untuk menerima konsep kepemilikan, konsep ‘doktrinasi riba’ dan bagihasil. Rata-rata masyarakat mengasumsikan koperasi adalah lahan bisnis swasta yang bisa dimiliki dan atau dikuasai secara pribadi atau sesama kolega tertentu, sehingga orientasi kurang mengena. Padahal justru inilah, yang mengakibatkan kredit macet.
Manajemen gramen bank di India sangatlah bagus, bukan hanya tanggung renteng yang diupayakan. Namun lebih pada kerjasama semua pihak untuk saling memiliki dan bertanggungjawab kepada institusi koperasi. Koperasi didirikan oleh anggota, dinikmati hasilnya oleh anggota dan dikembangkan oleh anggota secara langsung maupun tidak langsung. Dirinyalah yang melalui perwakilannya mengambil kebijakan penentuan operational cost, rate margin, dan berbagai kebijakan angka lainnya serta kebijakan internalnya. Kebijakan ini dipertanggungjawabkan pada anggota koperasi seluruhnya yang ada. Aliran dana sangat diperhitungkan, tidak ada unsur manipulasi sama sekali.
Koperasi sudah seharusnya untuk menjauhi sejauh-jauhnya praktek manipulasi dana atau pola penjanjian kepada anggota pada masalah imbal jasa, baik oleh koperasi itu sendiri maupun penabung. Hal ini harus dipahami oleh kedua belah pihak. Koperasi tidak bisa menjanjikan tingkat suku bunga atau bagi hasil maupun bonus pada setiap simpanan yang masuk. Begitu juga, dirinya tidak dapat mematok sedemikian rupa imbal bagi hasil oleh para anggota yang mengajukan permohonan investasi atau penambahan permodalan. Semua nominal angka yang ada pada koperasi harus jelas titik tolak sebab yang ditimbulkannya.
Semuanya harus muncul dari transaksi riil, berbasis dari imbal jasa yang benar-benar terjadi. Logikanya, seharusnya koperasi tidak perlu untuk menjanjikan memberikan bonus atau bagihasil simpanan perbulan kepada penitip dana, karena itu adalah titipan, justru sebaliknya koperasi memiliki kewenangan untuk meminta biaya operasional atas dana titipan tersebut untuk biaya penitipan atau penyimpanan. Hal ini dilakukan karena, jika dipaksakan akan mengakibatkan koperasi memposisikan dana yang ada sebagai asetnya untuk diputar. Dan akhirnya koperasi harus berpikir likuiditasnya.
Dalam teori lembaga keuangan, memang pernyataan ini bertolak belakang. Karena sesungguhnya dalam lembaga keuangan  memang dibenarkan bahwa aset mereka adalah uang dan claims (piutang), karena uang adalah komoditi mereka dan mereka akan putar (perdagangkan) uang yang ada sebelum diambil oleh yang menitipkan dana. Namun berbeda dengan hal ini, konsep Islam memandang hal itu adalah haram, karena uang bukanlah komoditi. Dan faktanya, jika dilakukan konsep konvensional pasti akan muncul rasio-rasio minimal pelemparan atau perputaran dan akan timbul benih-benih resiko krisis likuiditas.
Konsep Islam menjadikan uang bukanlah komoditi. Tidak muncul adanya variabel keuntungan tanpa adanya peralihan penguasaan akan barang dan jasa / manfaat secara nyata. Konsep dana simpanan dalam perspektif Islam diartikan sebagai sebuah dana titipan yang berprinsip amanah. Adapun jika kemudian jadi dhomanah (yadh amanah), maka hal itupun dilakukan ketika moment-moment tertentu, dengan asumsi pasti si orang yang dititipi akan bisa mengembalikannya minimal seperti semula. Dari filosofi ini, kemudian menjadikan lembaga keuangan Islam tidak berprinsip manipulatif dengan menjadikan dana simpanan menjadi komoditinya. Tindakan ini bukan berarti kanzul maal, karena yang dilakukan koperasi bukanlah mengendapkan uang, tapi membantu menyimpan uang dalam tujuan save orientation para anggotanya.
Dengan pola manajemen dana diatas, maka koperasi tidak akan terlalu takut pada bahaya rush. Karena dana yang dilempar adalah dana murni investasi bukan simpanan. Penyisihan dana ini, pada menunjukkan bahwa yang dilakukan murni manajemen dana bukan manipulasi dana.
Dalam hal pengendalian kredit macet dan organisasi, keduanya sangat berhubungan satu sama lain. Kuncinya ada pada konstruksi sosial berupa kesadaran dan mau sukses berjamaah. Sangat susah logika pembangunan koperasi didasarkan tidak pada keinginan untuk sukses bersama. Rata-rata koperasi, mendirikan usahanya banyak didasari karena keinginan segelintir orang saja yang nantinya akan menjadi ‘pemilik’ koperasi. Jika memang ditentukan seperti ini, maka tentunya akan berdampak kredit macet dan kesusahan dalam mengembangkan koperasi secara alamiah.
Dalam proses pendirian koperasi, seharusnya didasari atas keinginan komunitas yang jelas dan semuanya diharapkan mampu menjadi anggota penuh. Dengan seperti ini, sangat mudah nantinya untuk menentukan kebijakan maupun strategi pricing. Anggotalah yang menentukan produk, harga, tingkat fleksibilitas, sanksi, reward, program maupun hal lainnya. Komitmen ini dibuat sebagai pagar akan aturan bersama, sehingga meminimalisir penyimpangan-penyimpangan. Selain itu kebijakan inilah yang menentukan maju tidaknya perkoperasian yang didirikan.
Secara mekanisme pendirian, anggota berkumpul untuk melakukan syirkah (perkongsian) kemudian dipilihnya wakalah berupa pengurus yang akan menjalin komunikasi dengan para pengelola yang diambil sepertihalnya karyawan dengan kinerja profesional.
Misi konstruksi sosial tidak dapat dipandang sebelah mata dalam perkoperasian. Karena inilah kunci koperasi dapat berjalan dengan baik. Hal ini sesuai dengan prinsip dan strategi koperasi dan prinsip Islam dalam membentuk lembaga perekonomian publik.
Berbicara mengenai lembaga koperasi sebagai sebuah lembaga perekonomian publik inklusif. Prinsip-prinsip perekonomian publik justru semakin memperkuat dan tepat dalam pelaksanaan fungsi koperasi sesungguhnya. Sepertihalnya dalam masalah penentuan pricing(harga). Jika kita mengenal pada istilah koperasi konvensional, kita telah akrab dengan istilah bunga. Karakteristik reward fee ini, merupakan prosentase dari nominal pinjaman yang harus dibayarkan kepada koperasi bersamaan dengan pengembalian angsuran pokoknya, tanpa memperdulikan untung atau ruginya kondisi si peminjam.
Berbeda dengan hal ini, koperasi syariah pada dasarnya lebih fleksibel. Si peminjam diharapkan mampu mengembalikan dana investasi setelah ada keuntungan, dan reward fee yang diberikan pun disesuaikan dengan kondisi, apakah dia untung atau tidak.
Memahamkan hal ini diranah masyarakat tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Karena, masyarakat sudah terlanjur terbiasa dengan transaksi ribawi yang sudah sangat lama terjadi dalam kehidupan perdagangan mereka.
Tentu peran konstruksi sosial dengan pola edukasi dan pembiasaan harus tetap diberlakukan. Selain itu, yang paling penting, koperasi harus benar-benar mampu dan mau mengetahui kondisi peminjam secara utuh. Tidak boleh adanya unsur pemaksaan tanpa ada dasar yang jelas, sehingga semuanya dapat diselesaikan secara transaksional. Tidak ada pemaksaan pemberian fee terlalu tinggi, kalau dirasa perlu adannya penyisihan pendapatan pada lini cadangan permodalan oleh pedagang. Koperasi dituntut juga mahir dalam mengenali kebutuhan anggotanya, sehingga tidak memaksakan aqad yang justru memberatkan anggota.
(Wallahu’alam)


Diberdayakan oleh Blogger.

Text Widget

Sample Text

Jalan Jenderal Ahmad Yani, Surakarta 57162, Indonesia
Kampus 2 UMS (Universitas Muhammadiyah Surakarta)
Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB-UMS)

Followers

Stats

Didukung Oleh

Didukung Oleh

Link Blog

BTemplates.com

Popular Posts