Suscríbete

Senin, 03 November 2014

Perilaku Konsumtif, Refleksi Peran dari Jiwa-Jiwa Mahasiswa



Oleh: Azriadian El Haq*
“Aku berlindung pada Allah dari kelaliman orang jahat dan diamnya orang baik”
(Umar bin Khattab)
Banyak ragam banyak pilihan, mualai dari baju, makanan sampai teknologi inilah bentuk suatu kemodernan atau malah sudah banyak orang menyebut pascaindustrial/postmodern yang dapat dirasakan saat ini. Banyaknya pilihan, harga, kualitas produk yang dapat dinikmati menimbulkan ketertarikan bagi kalangan Mahasiswa. Tingkat konsumsi mahasiswa Indonesia memang tidak dapat dikatagorikan rendah, malah masuk dalam kategori menengah sampai tinggi. Gaya hidup akan mempengaruhi perilaku konsumtif mahasiswa ataupun sebaliknya. Rata-rata tingkat konsumsi mahasiswa khusus untuk makan jika perhari Rp. 30.000 maka dalam satu bulan akan terakumulasi Rp. 900.000, ditambah keperluan lain-lain misalnya jajan, pulsa, bensin dll, Rp. 500.000 maka dalam satu bulan seorang mahasiswa akan menghabiskan uang Rp. 1.400.000. Berarti mahasiswa bukanlah kategori miskin, karena yang dimaksud miskin menurut bank dunia ialah setiap orang yang memperoleh pendapatan 2 sampai 20 dolar Amerika.
  Pertanyaannya adalah bagaimana mungkin dengan pendapatan nol (mayoritas mahasiswa) tetapi pengeluaran untuk konsumsi tinggi ? jelas ini pendapatan orang tuanya. Sungguh kayanya negeri ini bukan ?. Dalam ini jelas akan mempengaruhi perekonomian secara makro, kegiatan konsumusi tidak disertai produksi yang lebih tinggi akan membuat bangsa ini lebih merana kebajiran produk asing. Padahal dengan pengeluaran seperti itu Mahasiswa bisa membuat hal-hal yang lebih produktif atau ditabung istilah ekonominya saving dari pada sekadar konsumtif belaka. Bukan berarti yang pengeluarannya dibawah Rp. 1.400.000 baik atau yang diatas Rp. 1.400.000 buruk, bukan itu yang mau dibahas. Sah-sah saja mau keluar duit berapa. Tetapi didiskusikan adalah dengan tingkat konsumsi tinggi lalu peranmu apa ?
Output Mahasiswa akan lebih tidak jelas jika tingkat konsumsi tinggi tidak dibarengi oleh karya intelektual, skill, prestasi, kreasi, kreatifitas ataupun peran terhadap lingkungan sosial, karena prestasi jangan hanya diartikan juara lomba lho. Kondisi sosial kampus akan lebih berpengaruh terhadap kemampuan mahasiswa jika benar-benar dijadikan meeting of mind bukan mall atau pasar. Problematika yang berefek pada kepasifan aktivitas mahasiswa.
Berkaitan dengan mahasiswa tentunya membicarakan pemuda. Meminjam teori seorang psikoanalis Sigmund Freud yang ditulis tahun 1905 berkaitan dengan pemuda maka ada tiga fase menurutnya, dorongan jasmani dan seksual berperan besar dalam mengendalikan sebagian tingkah laku pemuda ini. Pertama fase oral ditandai dengan kepuasan dipenuhi dengan menghisap zat makanan. Kedua, fase anal yang kepuasannya datang dengan pengaturan pengeluaran kotoran atau ekskresi. Ketiga adalah fase seksual, fase yang mulai memikirkan tentang hasrat bagaimana pelampiasan seksual. Dalam kajian yang modern mungkin akan tambah hasrat life style. Jika mahasiswa dalam kesehariannya hanya memikirkan tiga fase itu maka teori itu benar.
Masuk ke yang lebih mendalam tentang pembagian jiwa menurut Ibnu Sina yang membaginya menjadi tiga jiwa, pertama jiwa tumbuh-tumbuhan dengan daya makan, tumbuh dan berkembang biak, kedua jiwa binatang denga daya gerak dan menangkap (perception), ketiga jiwa manusia dengan daya praktis dan teoritis berhubungan dengan intelektual. Maka mahasiswa-mahasiswa ini masuk kategori jiwa yang pertama dan kedua. Kalau Aristoteles membaginya dengan daya gerak, mengetahui dan berfikir, maka mahasiswa yang seperti ini juga hanya masuk dalam katagori pertama dan kedua. Ironis.
Perlunya hasrat intelektual sekaligus spiritual serta penggabungan keduanya. Hablumminnas (baca; intelektual)  dan hablumminallah (baca; transendental spiritual) untuk berperan dalam lingkungan sosial kampus atau masyarakat, karena hasrat intelektual jangan dikebiri dengan sekadar kuliah di kelas. Dua hasrat ini belum mendominasi alam pemikiran mayoritas mahasiswa, yang akan menimbulkan perilaku konsumtif demi kepuasan dan keinginan bukan kebutuhan yang memang benar-benar butuh. Kalau hidup sekadar makan, minum, BAB, sex, maka kita akan berfikir;”masuk jiwa apakah kita ?”. Begitu.

Penulis adalah mahasiswa FAI Jurusan syariah semester 5, Staf KIO (Kontrol Internal Organisasi) Departemen 4 Kaderisasi FoSEI FEB UMS
Sumber Referensi
Nasution, Harun, 1973. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Daniel L. Pals. 2012. Seven Theories of Religion.Inyiak Ridan Muzir (Penerjemah). Yogyakarta: IRCiSoD

Diberdayakan oleh Blogger.

Text Widget

Sample Text

Jalan Jenderal Ahmad Yani, Surakarta 57162, Indonesia
Kampus 2 UMS (Universitas Muhammadiyah Surakarta)
Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB-UMS)

Followers

Stats

Didukung Oleh

Didukung Oleh

Link Blog

BTemplates.com

Popular Posts