Suscríbete

Sabtu, 24 September 2016

SEJARAH PEMIKIRAN LEMBAGA KEUANGAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM


“SEJARAH PEMIKIRAN LEMBAGA KEUANGAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM”

Di Susun Oleh :

SEKAR CAHYANI ARUMDALU


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

       Banyaknya lembaga keuangan syariah saat ini, baik bank maupun non bank menimbulkan suatu pertanyaan apakah lembaga keuangan tersebut telah ada konsepnya di dalam Al-Qur’an, dan bagaimana pandangan Al-Qur’an itu sendiri terhadap fenomena lembaga keuangan syariah. Keberadaan Al-Qur’an sangat identik dengan Nabi Muhammad SAW, maka perlu ditelusuri apakah sudah ada lembaga keuangan pada masa Rasulullah SAW. Hal ini membutuhkan pengkajian lebih dalam agar diketahui hukum dari pengelolaan lembaga keuangan syariah pada saat ini.
Setelah Rasulullah SAW wafat, pemerintahan Islam dilanjutkan oleh beberapa khalifah, yang tidak lain adalah sahabat-sahabat Rasul sendiri, maka juga perlu ditelusuri tentang keberadaan lembaga keuangan syariah pada saat itu dan juga pengkajian pada masa setelah Khulafaur Rasyidin, yaitu masa kejayaan Bani Ummayah dan Bani Abbasiyah, agar dapat diketahui lagi bagaimana perkembangan lembaga keuangan yang mengiringi perkembangan agama islam dan perlu juga dikaji perkembangan lembaga keuangan syariah pada saat ini dan bagaimana awal mula berdirinya.

B. Rumusan Masalah
1. Seperti apa konsep lembaga keuangan dalam Al-Qur’an
2. Bagaimana lembaga keuangan pada masa Rasulullah
3. Bagaimana lembaga keuangan pada masa Khulafaur Rasyidin
4. Bagaimana lembaga keuangan pada masa Dinasti
5. Bagaimana lembaga keuangan Syariah Modern

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui lembaga keuangan dalam Al-Qur’an dan pada masa Rasulullah, Khulafaur Rasyidin, Dinasti dan pada Syariah Modern

BAB II
PEMBAHASAN


A. Konsep Lembaga Keuangan dalam Al-Qura’an

           Al-Qur’an tidak menyebut konsep lembaga keuangan secara eksplisit. Namun, penekanan tentang konsep organisasi sebagaimana organisasi keuangan telah terdapat dalam Al-Qur’an. Konsep dasar kerjasama muamalah dengan berbagai cabang-cabang kegiatannya mendapat perhatian yang cukup banyak dari Al-Qur’an. Dalam sistem politik misalnya dijumpai istilah qaum untuk menunjukkan adanya kelompok sosial yang berinteraksi dengan yang lain. Istilah balad (negeri) untuk menunjukkan adanya struktur sosial masyarakat dan juga muluk (pemerintahan) untuk menunjukkan pentingnya sebuah pengaturan hubungan antar anggota masyarakat.
Khalifah juga menjadi perhatian dalam Al-Qur’an. Konsep sistem organisasi tersebut juga dijumpai dalam organisasi modern. Khusus tentang urusan ekonomi, Al-Qur’an memberikan aturan-aturan dasar, agar transaksi ekonomi tidak sampai melanggar norma atau etika. Lebih jauh dari itu, transaksi ekonomi dan keuangan lebih berorientasi pada keadilan dan kemakmuran umat. Istilah suq (pasar), misalnya menunjukkan tentang aspek pasar, harus menjadi fokus bisnis yang penting. Organisasi keuangan dikenal dengan istilah Amil. Badan ini tidak saja berfungsi untuk urusan zakat semata, tetapi memiliki peran yang lebih luas dalam pembangunan ekonomi. Pembagian ghanimah, misalnya menunjukkan adanya mekanisme distribusi yang merata dan adil. [1]
              Anjuran untuk berlaku adil terdapat dalam QS. An- Nahl : 90, artinya “ sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.[2] Berdasarkan ayat diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam suatu lembaga keuangan tentu saja konsep keadilan sangat diperlukan. Dalam menjalankan aktivitasnya, suatu lembaga keuangan tidak boleh melakukan kedzaliman yang akan merugikan pihak lain. Harus memperhatikan kemaslahatan bersama, tidak boleh membeda-bedakan antar orang satu dengan orang yang lain karena adanya kepentingan. Pihak-pihak yang menjadi saksi dalam satu transaksi di dalam suatu lembaga keuangan, maka mereka harus memberikan keterangan yang sebenar-benarnya akan jalannya transaksi. Seorang saksi tidak boleh memberikan kesaksian palsu, karena kesaksian palsu sangatlah dibenci Allah SWT dan juga merugikan pihak lain.

B. Lembaga Keuangan pada Zaman Rasulullah

         Didalam sejarah umat islam, pembiayaan yang dilakukan dengan akad yang sesuai syari’ah telah menjadi bagian tradisi umat islam. Sejak zaman Rasulullah SAW, praktek-praktek seperti menerima titipan harta, meminjamkan uang untuk keperluan konsumsi serta melakukan pengiriman uang telah lazim dilakukan sejak zaman Rasulullah SAW. Dengan demikian, fungsi utama perbankan modern, yaitu menerima deposit, menyalurkan dana dan melakukan transfer dana telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat islam, bahkan sejak zaman Rasulullah SAW. Rasulullah yang dikenal dengan julukan Al-Amin dipercaya oleh masyarakat Mekkah menerima simpanan harta, sehingga pada saat terakhir sebelum hijrah ke Madinah, beliau meminta Ali bin Abi Thalib untuk mengembalikan semua titipan itu kepada para pemiliknya. Dalam konsep ini, pihak yang dititipi tidak dapat memanfaatkan harta titipan.
           Seorang sahabat Rasulullah SAW, Zubair bin al-Awwam memilih tidak menerima titipan harta, beliau lebih suka menerimanya dalam bentuk pinjaman. Tindakan Zubair ini menimbulkan implikasi yang berbeda, yakni pertama, dengan mengambil uang itu sebagai pinjaman dan mempunyai hak untuk memanfaatkannya, kedua karena bentuknya pinjaman, berkewajiban untuk mengembalikannya secara utuh. Dalam riwayat yang lain disebutkan, Ibnu Abbas juga pernah melakukan pengiriman uang dari Mekkah ke adiknya Mis’ab bin Zubair yang tinggal di Irak.[3]
Ada individu-individu yang telah melaksanakan fungsi perbankan di jaman Rasulullah SAW, meskipun individu tersebut tidak melaksanakan seluruh fungsi perbankan. Ada sahabat yang melaksanakan fungsi menerima titipan harta, ada sahabat yang melaksanakan fungsi pinjam-meminjam uang, ada yang melaksanakan fungsi pengiriman uang dan ada pula yang memberikan modal kerja.
       Di zaman Rasulullah SAW, juga terdapat lembaga keuangan dan lembaga yang mengurusi kepentingan masyarakat, yaitu Baitul Maal, Wilayatul Hisbah dan Pembangunan Etika Bisnis :

a. Baitul Maal

       Pemerintah suatu negara adalah badan yang dipercaya untuk menjadi pengurus tunggal kekayaan negara dan keuangan. Rasulullah adalah kepala negara pertama yang memperkenalkan konsep baru di bidang keuangan negara, yaitu semua hasil pengumpulan negara harus dikumpulkan terlebih dahulu dan kemudian dikeluarkan sesuai dengan kebutuhan negara. Hasil pengumpulan itu adalah milik negara bukan milik individu. Tempat pengumpulan ini disebut Baitul Maal atau bendahara negara.
Lembaga Baitul Maal (rumah dana), merupakan lembaga keuangan yang pertama dibangun oleh Nabi.
     Lembaga ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan. Apa yang dilaksanakan oleh Rasul merupakan proses penerimaan pendapatan dan pembelanjaan secara transparan dan bertujuan seperti apa yang disebut sekarang sebagai welfare oriented. Hal ini merupakan sesuatu yang baru, mengingat pajak-pajak dan pungutan dari masyarakat yang lain dikumpulkan oleh penguasa dan hanya untuk para raja dan kepentingan kerajaan. Sedangkan mekanisme Baitul Maal, tidak saja untuk kepentingan umat Islam, tetapi juga untuk melindungi kepentingan kafir dhimmi.
     Para ahli ekonomi Islam dan sarjana ekonomi Islam sendiri memiliki perbedaan dalam menafsirkan Baitul Maal ini. Sebagian berpendapat, bahwa Baitul Maal itu semacam Bank Sentral, seperti yang ada saat ini. Fungsi Baitul Maal adalah untuk menyeimbangkan antara pendapatan dan pembelanjaan negara. Kehadiran lembaga keuangan ini membawa pembaruan yang besar. Dana-dana umat, baik yang bersumber dari dana sosial dan tidak wajib seperti sedekah, denda dan dana yang wajib seperti zakat, jizyah dan dikumpulkan melalui lembaga Baitul Maal dan disalurkan untuk kepentingan umat. [4]
      Petunjuk dari Nabi Muhammad SAW mengenai pemungutan dan pendistribusian kekayaan negara memberikan bentuk kesucian pada Baitul Maal. Lembaga ini sampai diidentifikasi sebagai lembaga kepercayaan umat islam dengan khalifah. Beliau bertanggung jawab atas setiap semua uang yang terkumpul dan pendistribusiannya.

b. Wilayatul Hisbah

        Wilayatul Hisbah merupakan lembaga pengontrol pemerintahan. Pada masa nabi fungsi lembaga kontrol ini dipegang langsung oleh beliau. Konsep lembaga kontrol ini merupakan fenomena baru bagi masyarakat Arab, mengingat waktu itu, kerajaan hampir sama sekali tidak ada lembaga kontrolnya. Rasulullah berperan langsung sebagai penyeimbang kegiatan muamalat baik ekonomi, politik maupun sosial. Rasulullah selalu menegur bahkan melarang langsung praktik bisnis yang merusak harga dan mendzalimi. Pelarangan riba, monopoli serta menimbun barang dan sejenisnya menjadi bukti nyata bahwa terdapat lembaga pengontrol aktivitas bisnis. Keberadaan lembaga ini menjadi sangat startegis dan penting, mengingat kepentingan umat yang lebih besar.

c. Pembangunan Etika Bisnis

Rasulullah SAW tidak saja meletakkan dasar tradisi penciptaan suatu lemabaga, tetapi juga membangun sumber daya manusia dan akhlak lembaga sebagai pendukung dan prasyarat dari lembaga itu sendiri. Adapun berbagai bentuk pembangunan etika tersebut adalah :
a) Penghapusan Riba, dilakukan karena praktek riba adalah ekonomi yang secara tegas dilarang oleh Allah, padahal praktek riba di Madinah saat itu sudah menjadi tradisi.
b) Penciptaan Keadilan, dalam setiap kebijakan ekonomi Rasulullah selalu mementingkan keadilan, bukan hanya untuk kaum muslimin, tetapi juga untuk kaum-kaum lainnya.
c) Penghapusan Monopoli, monopoli merupakan tindakan ekonomi yang sangat merugikan orang lain. Hal ini bertentangan dengan kebijakan ekonomi Rasulullah yang mementingkan keadilan. [5]

C. Lembaga Keuangan pada Masa Khulafaur Rasyidin

        Sepeninggal Rasulullah, tradisi yang sudah dibangun oleh Nabi diteruskan para pemimpin setelahnya. Oleh Abu Bakar As-Shiddiq, kebiasaan memungut zakat sebagai bagian dari ajaran islam dan menjadi sumber keuangan negara terus ditingkatkan. Bahkan sempat terjadi peperangan antara sahabat yang taat kepada kepemimpinan beliau melawan orang-orang yang membangkang atas perintah zakat. Bahkan terjadi peperangan antara sahabat yang taat kepada kepemimpinan beliau melawan orang-orang yang membangkang. Abu Bakar As-Shiddiq sebagai yang pertama akan memerangi kaum riddah, yakni kelompok yang membangkang terhadap perintah membayar zakat dan mengaku sebagai nabi, sehingga semua kembali ke jalan yang benar atau gugur di jalan Allah sebagai shuhada. Tindakan khalifah ini didukung oleh hampir seluruh kaum muslimin. Untuk memerangi kemurtadan ini, maka dibentuklah sebelas pasukan.
          Lembaga Baitul Maal semakin mapan keberadaannya semasa khalifah kedua yaitu Umar Bin Khattab. Khalifah meningkatkan basis pengumpulan dana zakat serta sumber-sumber penerimaan lainnya. Sistem administrasinya sudah mulai dilakukan penerbitan. Umar bin Khattab memiliki kepedulian yang tinggi atas kemakmuran rakyatnya. Pada masa Umar pula mulai dilakukan penertiban gaji dan pajak tanah. Terkait dengan masalah pajak, Umar membagi warga negara menjadi dua bagian. Bagian pertama warga negara muslim dan bagian kedua warga non muslim yang damai (dhimmi). Bagi warga negara muslim, mereka diwajibkan membayar zakat sedangkan yang dhimmi diwajibkan membayar kharaj dan jizyah. Bagi muslim diperlakukan hukum islam dan bagi dhimmi diperlakukan menurut adat dan kebiasaan yang berlaku. Pada masa Umar pula mata uang sudah mulai dibuat.
         Umar bin Khattab sering berjalan sendiri untuk mengontrol mekanisme pasar. Khalifah Umar memberlakukan kuota perdagangan kepada para perdagangan dari Romawi dan Persia karena kedua negara tersebut memperlakukan hal yang sama kepada para pedagang madinah. Kebijakan ini sama dengan sistem perdagangan internasional modern. Umar juga menetapkan kebijakan fiskal yang sangat popular, tetapi mendapat kritikan dari kalangan sahabat [6] ialah menetapkan tanah taklukan Iraq bukan untuk tentara kaum muslimin sebagaimana biasanya tentang ghanimah, tetapi dikembalikan kepada pemiliknya. Umar bin Khattab kemudian menetapkan kebijakan kharaj (pajak bumi) kepada penduduk Iraq.
          Semua kebijakan Umar bin Khattab ditindak lanjuti oleh khalifah Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, yang menarik untuk diperhatikan ialah bahwa lembaga keuangan Baitul Maal telah berfungsi sangat strategis baik masa Rasulullah maupun Khulafa al- Rasyidin. Melalui baitul maal, para pemimpin Islam sangat serius mampu mengentaskan kemiskinan umat dan membangun sistem moneter Islami. Kesejahteraan rakyat mejadi fokus utama dalam pembangunan ekonomi.

D. Lembaga Keuangan pada Masa Dinasti

         Ketika Ali bin Abi Thalib wafat dan diganti oleh Mu’awiyah, lalu diteruskan oleh anaknya yaitu Yazid, maka lembaga syuro dalam politik pemerintahan islam telah bergeser menjadi dinasti atau kerajaan. Meskipun berubah, tetapi fungsi Baitul Maal tetap berjalan sebagaimana mestinya, kecuali bahwa mulai terjadi disfungsi pada pengeluaran-pengeluaran yang disebabkan oleh tingkat ketaatan agama mulai menurun. Hanya satu khalifah pada dinasti ini yang dikagumi karena keadilan dan keshalehannya, yaitu Umar bin Abdul Aziz, walaupun masa pemerintahannya cukup singkat yaitu 2,5 tahun, namun beliau mampu menditribusikan pendapatan sedemikian rupa sehingga dapat mensejahterakan rakyatnya, sehingga pada masa itu susah mencari orang yang menerima zakat.[7]
Dinasti Umayah di Damaskus berakhir dengan naiknya dinasti Abasiyah, sepanjang pemerintahannya terjadi perubahan pola ekonomi, sehingga disalah satu khalifahnya menciptakan standar uang bagi kaum muslimin dikarenakan ada kecenderungan orang menurunkan nilai uang emas dan perak, serta mencampurkan dengan logam yang lebih rendah. Pada zaman ke emasan dinasti ini fungsi Baitul Maal telah merambah kepada pengeluaran untuk riset ilmiah dan penerjemahan buku Yunani. Selain itu fungsi Baitul Maal berkembang menjadi perbendaharaan negara dan pengatur kebijakan fiskal dan moneter. Runtuhnya dinasti Usmaniyah di Turki menandakan menangnya kolonialisme di negeri islam, baik secara fisik dan[8] pemikiran dan Baitul Maal tidak pernah muncul lagi.
             Praktik perbankan di Zaman Bani Umayyah dan Bani Abasiyah, institusi bank tidak dikenal dalam kosa kata fiqih Islam, karena memang institusi ini tidak dikenal oleh masyarakat Islam di masa Rasulullah, Khulafaur Rasyidin, Bani Umayyah maupun Bani Abbasiyah. Namun fungsi perbankan yaitu menerima deposit, menyalurkan dana dan transfer dana telah lazim dilakukan, tentunya dengan akad yang sesuai dengan syariah. Fungsi perbankan yang dilakukan oleh satu individu odalam sejarah Islam telah dikenal sejak zaman Abbasiyah. Perbankan mulai berkembang pesat ketika beredar banyak jenis mata uang pada zaman itu, sehingga perlu keahlian khusus untuk membedakan antara satu mata uang dengan mata uang lainnya. Orang yang mempunyai keahlian khusus ini disebut naqid, sarraf dan jihbiz. Istilah jihbiz mulai dikenal sejak zaman Muawiyah yang sebenarnya dipinjam dari bahasa Persia, kahbad atau kihbud. Pada masa pemerintahan Sasanid, istilah ini digunakan untuk orang yang ditugaskan mengumpulkan pajak tanah. Peranan bankir pada zaman Abbasiyah mulai populer pada pemerintahan Muqtadir (908-932 M). Saat itu, hampir setiap wazir mempunyai bankir sendiri, misalnya : Ibnu Furat menujuk Harun Ibnu Imran dan Joseph Ibnu Wahab sebagai bankirnya.
            Kemajuan praktik perbankan pada zaman itu ditandai dengan beredarnya saq (cek) dengan luas sebagai media pembayaran. Bahkan peranan bankir telah meliputi 3 aspek, yakni menerima deposit, menyalurkannya dan mentransfer uang. Dalam hal ini, uang dapat ditransfer dari satu negeri ke negeri lainnya tanpa perlu memindahkan fisik uang tersebut. Para money changer yang telah mendirikan kantor-kantor di banyak negeri telah memulai penggunaan cek sebagai media transfer uang dan kegiatan pembayaran lainnya. Dalam sejarah perbankan Islam, adalah Sayf al-Dawlah al-Hamdani yang tercatat sebagai orang pertama yang menerbitkan cek untuk keperluan kliring antara Baghdad (Irak) dan Aleppo (Spanyol).[9]

E. Lembaga Keuangan Syariah Modern

        Bagaimanapun penjajahan di negara-negara Islam telah berhasil mengubah sistem pemerintahan, politik dan ekonomi. Meskipun sudah banyak negara Islam yang berhasil merdeka, namun sisa-sisa penjajahan masih sangat terlihat dalam sistem ekonomi dan sosial. Mereka dapat merdeka secara politik namun mungkin tidak secara ekonomi dan sosial kemasyarakatan. Para pemimpin negara-negara Islam pasca kolonialisme umumnya mereka yang telah mengenyam pendidikan dari penjajahnya. Paham sekularisme yang menjadi doktrin kaum penjajah, secara tidak langsung mempengaruhi pola pikir dan bahkan akidahnya. Sehingga sistem pemerintahannya masih menjiplak sistem pemerintahan kaum penjajah. Bahkan nama Baitul Maal- pun sudah tersingkir dari kosa kata pemerintahan mereka.
     Sistem ekonomi umumnya tidak bisa terlepas dari sistem politik. Warisan kaum penjajah telah membentuk watak negara Islam menjadi individualis dan sekuler. Warisan ekonomi sebagai akibat penjajahan, membawa masalah baru yang akan terus terjadi seperti pengangguran, inflasi terpisahnya agama dan ekonomi serta politik. Berbagai warisan tersebut ternyata tidak mampu membawa negara berhasil dalam pembangunan ekonomi. Akhirnya negara Islam mencoba mencari terobosan baru untuk keluar dari masalah ekonomi, yang lebih menarik upaya mencari solusi tersebut dikaitkan dan dikembalikan kepada ideologi. Konsep kembali ke ideologi ini berangkat dari kesadaran para pemimpin negara Islam, bahwa sistem ekonomi kaum penjajah tidak dapat mengatasi masalah. Dalam bidang keuangan misalnya, ditemukan terminologi baru. Jika sistem bunga yang ribawi telah dikenalkan oleh kaum penjajah seiring dengan menghilangnya Baitul Maal dalam khazanah kenegaraan, maka kesadaran ini telah mengerahkan sistem keuangan yang bebas riba.
      Selanjutnya, karena bunga ini secara fiqih dikategorikan sebagai riba, maka mulai timbul usaha-usaha di sejumlah negara muslim untuk mendirikan lembaga alternatif terhadap bank yang ribawi ini. Usaha modern pertama untuk mendirikan bank tanpa bunga pertama kali dilakukan di Malaysia pada pertengahan tahun 40-an, namun usaha ini tidak sukses. Namun demikian, ekperimen pendirian bank syariah yang paling sukses dan inovatif di masa modern ini dilakukan di Mesir pada tahun 1963, dengan berdirinya Mit Ghamr Local Saving Bank. Bank ini mendapat sambutan yang cukup hangat di Mesir, terutama di kalangan petani dan pedesaan, kemudian terjadi kekacauan politik di Mesir maka Mit Ghamr mulai[10] mengalami kemunduran, sehingga operasionalnyandiambil alih oleh National Bank of Egypt dan bank sentral Mesir pada 1967. Pengambilalihan ini menyebabkan prinsip nirbunga pada Mit Ghamr mulai ditinggalkan, sehingga bank ini kembali beroperasi berdasarkan bunga.
     Kesuksesan Mit Ghamr ini memberi inspirasi bagi umat muslim di seluruh dunia, sehingga timbullah kesadaran bahwa prinsip-prinsip Islam ternyata masih dapat diaplikasikan dalam bisnis modern. Ketika OKI akhirnya terbentuk, serangkaian konferensi internasional mulai dilangsungkan, di mana salah satu agenda ekonominya adalah pendirian bank islam. Akhirnya, terbentuklah Islamic Development Bank (IDB) pada bulan Oktober 1975 yang beranggotakan 22 negara Islam pendiri. Pada perkembangan selanjutnya di era 70-an, usaha-usaha untuk mendirikan bank Islam mulai menyebar ke banyak negara. Beberapa negara seperti Pakistan, Iran dan Sudan, bahkan mengubah seluruh sistem keuangan di negara itu menjadi sistem nir-bunga, sehingga semua lembaga keuangan di negara tersebut beroperasi tanpa menggunakan bunga. Di negara Islamlainnya seperti Malaysia dan Indonesia, bank nir-bunga beroperasi berdampingan dengan bank-bank konvensional
      Kini, perbankan syariah telah mengalami perkembangan yang cukup pesat dan menyebar ke banyak negara, bahkan ke negara-negara Barat. The Islamic Bank International of Denmark tercatat sebagai bank syariah pertama yang beroperasi di Eropa, yakni pada tahun 1983 di Denmark. Kini, bank-bank besar dari negara-negara Barart seperti Citibank, ANZ Bank, Chase Manhattan Bank dan Jardine Fleming telah pula membuka Islamic Window agar dapat memberikan jasa-jasa perbankan yang sesuai dengan syariat Islam.


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

         Dalam lembaga keuangan, Al-Qur’an memberikan aturan-aturan dasar, agar transaksi ekonomi dalam lembaga keuangan tersebut tidak sampai melanggar norma atau etika. Transaksi ekonomi dan keuangan lebih berorientasi pada keadilan dan kemakmuran umat. Pada zaman Rasulullah SAW kegiatan praktek-praktek seperti menerima titipan harta, meminjamkan uang untuk keperluan konsumsi serta melakukan pengiriman uang telah lazim dilakukan. Lembaga keuangan yang ada pada masa Rasulullah SAW yaitu Baitul Maal dan Wilayatul Hisbah. Rasulullah SAW adalah seorang yang sangat menjunjung nilai-nilai Al-Qur’an dalam menjalankan bisnisnya.
     Kemudian ketika Rasulullah SAW wafat, lembaga keuangan yang diteruskan pada zaman Khulafaur Rasyidin, dalam prakteknya masih tetapi seperti tradisi yang Rasulullah lakukan. Pada zaman ini ada perkembangannya, setelah zaman Khulafaur Rasyidin berakhir dilanjutkan pada zaman dinasti, yaitu dinasti Umayah dan Abasiyah. Fungsi lembaga keuangan pada dinasti ini hampir sama dengan zaman-zaman sebelumnya, tetapi pada zaman ini ada perubahan pola ekonomi. Setelah peradaban dinasti berakhir maka berlanjut pada masa modern. Lembaga keuangan pada masa modern ini mengarah pada sistem keuangan yang bebas riba, dimana pada zamannya kaum penjajah telah mengenalkan sistem ribawi, karena hal ini seiring dengan menghilangnya Baitul Mal dalam khazanah kenegaraan.


DAFTAR PUSTAKA


Muhammad. 2003. Manajemen Bank Syari’ah. Yogyakarta:UPP AMP YKPN.

Karim, Adiwarman. 2003. Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta: IIIT Indonesia

Muhammad. 2000. Lembaga-Lembaga Keuangan Umat Kontemporer. Yogyakarta : UII Press

http://dwilestari.blogspot.co.id/2014/lembaga-keuangan-islam.html



[1] Muhammad. Manajemen Bank Syari’ah. ( Yogyakarta : UPP AMP YKPN, 2003 ), hlm. 53
[2] Q.S. An-Nahl : 90
[3] Adiwarman Karim, Bank Islam (Jakarta : Raja Grafindo, 2010), hlm. 18-19
[4] Muhammad, Manajemen Bank Syariah (Yogyakarta : UPP AMP YKPN, 2003), hlm. 23
[5] Ibid, hlm. 66
[6] Ibid.
[7] Adiwarman Karim, Bank Islam (Jakarta : Raja Grafindo, 2003), hlm. 24-25
[8] Ibid. Manajemen bank syariah
[9] Ibid. Manajemen bank syariah
[10] Ibid.

Diberdayakan oleh Blogger.

Text Widget

Sample Text

Jalan Jenderal Ahmad Yani, Surakarta 57162, Indonesia
Kampus 2 UMS (Universitas Muhammadiyah Surakarta)
Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB-UMS)

Followers

Stats

Didukung Oleh

Didukung Oleh

Link Blog

BTemplates.com

Popular Posts