Suscríbete

Kamis, 12 April 2012

Mana Niat yang Lebih Lurus?

Oleh: Septi Muryani Rahmawati


Ketika seorang muslim mendeklarasikan diri untuk menerima Islam sebagai satu-satunya Dien yang haq, maka konsekuensinya adalah ia harus mau menerima secara kaaffah segala bentuk ketentuan yang diatur dalam Islam. Kaaffah yang dimaksud disini adalah tidak tebang pilih. Artinya, segala aturan yang benar yang bersumber dari Alqur’an dan Sunnah Rasul harus diterima dan dilaksanakan dengan ikhlas. Jadi tidak hanya aturan yang dianggap sejalan dengan keinginan saja yang diterima dan dilaksanakan, sementara aturan lain yang menurut hawa nafsu tidak membawa keuntungan ditinggalkan begitu saja.
Sejak resesi melanda perekonomian negara-negara maju, masyarakat dunia mulai mengalihkan pandangannya dari sistem ekonomi konvensional berbasis riba ke sistem ekonomi syari’ah berbasis bagi hasil dan partnership. Hal ini mulai ditandai dengan ditambahnya divisi pada lembaga perbankan di Indonesia maupun di negara-negara lain di dunia, dari yang semula hanya divisi konvensional bertambah menjadi divisi syari’ah. Fenomena semakin populernya istilah mudharabah, ijarah, musyarakah, rahn, wadi’ah seakan menjadi awal bangkitnya perekonomian yang menggunakan sistem islami. Para penggerak lembaga keuangan syariah, dalam hal ini para ekonom atau bankir muslim khususnya di Indonesia tentunya memiliki motivasi berbeda dengan kalangan non-muslim yang juga melirik pertumbuhan lembaga keuangan syariah yang makin subur.
Para penggerak lembaga keuangan syariah seharusnya betul betapa sistem ekonomi Islam itu harus dijalankan. Semangat untuk kembali pada sistem syari’ah didasari oleh niat tulus ikhlas ingin kembali pada aturan Allah, menerima, serta melaksanakannya. Berbeda dari motivasi kalangan non-muslim yang melirik kehadiran lembaga keuangan syariah dengan semata-mata pertimbangan profit dan tren. Ketahanan sistem syari’ah terhadap krisis yang melanda dunia menjadikan penduduk dunia berlomba-lomba membangun lembaga keuangan berbasis syari’ah.
Sistem ekonomi Islam yang hakikatnya Islam itu sendiri dalam kondisi apapun harus berusaha ditegakkan oleh setiap muslim dalam hal ini para ekonom atau bangkir muslim. Sehingga ketika ada bukti historis bahwa ekonomi yang ditawarkan Islam telah mampu memberikan kejayaan selama 1.300 tahun, mulai dari zaman Abu Bakar RA (632 M) sampai zaman Abdul Majid II (1924) hanyalah menjadi sebuah konsekuensi logis atas ditegakkannya sistem syari’ah di muka bumi. 
Sebuah bangunan yang kokoh memerlukan pondasi yang kokoh pula. Tidak ada yang salah ketika masyarakat melirik sistem syari’ah akhir-akhir ini terutama sejak isu krisis global merebak. Yang perlu diluruskan adalah ketika sistem syari’ah ini dipakai hanya karena terlarut dalam euforia lembaga keuangan berbasis syariah. Lebih ironis lagi, ketika logika untung-untungan dijadikan dasar menerapkan prinsip syariah dalam praktek lembaga keuangan. Motivasi seperti ini nampaknya kurang mendukung bahkan sama sekali sekali tidak mendukung tegaknya aturan Islam di muka bumi. Oleh karena itu umat Islam perlu melihat kembali motivasinya dalam upaya menegakkan kembali kejayaan dienul Islam. Bukankah kita diperintahkan untuk menerima Islam yang kita pilih sebagai Dien secara kaaffah? Maka segala aturan syara’ mengenai aktivitas ekonomi semestinya dijalankan atas dasar menjalankan konsekuensi sebagai seorang Muslim, bukannya menginginkan profit yang maksimal maupun larut dalam euforia. Semoga kita bisa menjadi bagian dari penjayaan kembali Islam di muka bumi dengan niat yang lurus untuk mencari keridloan Allah semata.
 
Wallohu a’lam bishowab

Diberdayakan oleh Blogger.

Text Widget

Sample Text

Jalan Jenderal Ahmad Yani, Surakarta 57162, Indonesia
Kampus 2 UMS (Universitas Muhammadiyah Surakarta)
Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB-UMS)

Followers

Stats

Didukung Oleh

Didukung Oleh

Link Blog

BTemplates.com

Popular Posts