Suscríbete

Senin, 25 November 2019

Matahari terbenam di negara Sakura


Matahari terbenam di negara Sakura
Oleh : Azaula Khonsa

            Inilah aku, anak muda keturunan Bugis berusia tujuh belas tahun yang duduk di kelas dua belas sedang bermimpi untuk melanjutkan studi di pulau Jawa. Masa remajaku aku habiskan tinggal di suatu pondok pesantren yang cukup terkenal di Sulawesi Selatan, Pondok Pesantren Darul Aman Gombara Makassar. Aku menuntut ilmu disana selama kurang lebih dua belas tahun terhitung sejak aku berusia enam tahun. Disinilah, kisah cintaku dimulai.
            Aku mulai terpikat oleh seorang gadis percampuran Jawa-Melayu bernama Yafia Kenes Nurmala. Ayahnya berasal dari Johor Bahru,Malaysia dan ibunya berasal dari Surakarta. Mereka menetap di Medan,Sumatera Utara. Fia ini sangatlah anggun, bulu matanya lentik, matanya besar, hidungnya mancung, berkulit putih nan bersih, postur tubuhnya bak peragawati. Tutur katanya pun sangat lembut, bagaikan sutra. Fia pindah ke Pondok Pesantren ini karena kedua orangtuanya sangatlah sibuk dengan urusan bisnisnya sehingga Fia jarang mendapat perhatian dari kedua orangtuanya.
            Sedangkan aku, remaja asli Bone, Sulawesi Selatan dengan kedua orangtua yang biasa biasa saja. Ayahku bekerja sebagai perangkat desa Ajangpulu dan ibuku bekerja sebagai pedagang buah di pasar Ajangpulu. Aku memiliki seorang adik kecil berusia tiga tahun bernama Ambo Bengnga. Akupun kaget mengapa aku memiliki adik? Padahal aku jarang sekali pulang. Maklum, ongkos pulang pergi dari Bone menuju Makassar sangatlah mahal. Terlebih, aku tidak memiliki sepeda motor sehingga aku pulang setahun sekali.
            “TENGG..TENGG..TENG...!” Terdengar suara lonceng diluar kamar asramaku pertanda saat itu menujukkan sepertiga malam. Aku dan kawan kawanku berjalan menuju masjid untuk menuaikan ibadah sunnah yaitu sholat Tahajud bersama. Di asaramaku ini, sholat bersama telah menjadi tradisi.
            Jam menunjukkan pukul enam lebih tiga puluh menit pertanda aku harus bergegas menuju kelas untuk kegiatan belajar mengajar. Aku dengan sengaja berangkat pagi agar aku bisa duduk depan belakang dengan Fia, hehehe. Fia ini sangatlah pintar sehingga aku selalu terkagum kagum olehnya.
            Jam menunjukkan pukul delapan menunjukkan adanya pergantian mata pelajaran. Dari mata pelajaran kimia berganti dengan mata pelajaran ekonomi yang sangat aku benci. Ya,aku sangat benci dengan ekonomi. Aku sangat tidak suka menghitung uang yang jika hilang satu rupiah saja, aku harus mengulangnya dari awal. Huh! Merepotkan sekali. Sedangkan Fia tidak, Fia terlihat sangat antusias dengan mata pelajaran ini. Baginya, mata pelajaran ekonomi sangat berkaitan dengan perusahaan kedua orangtuanya.
            Aku tidak pernah menggoda Fia untuk menjadi pacarku, tetapi kami sama sama suka. Kami berkomitmen untuk tidak berpacaran sebelum aku lulus dari Perguruan Tinggi Negeri di Bandung lalu menjadi dokter dan Fia lulus dari fakultas Ekonomi di Perguruan Tinggi Negeri di Bogor. Kebetulan, Aku dan Fia sama sama diterima Perguruan Tinggi Negeri melalui jalur undangan. Alhamdulillah.
            Bulan Juli, bulan yang amat berat bagiku karena harus meninggalkan kampungku di Bone dan harus merantau demi masa depanku di pulau Jawa. Aku mendapat beasiswa dari Pemerintah yaitu bidikmisi sehingga aku tidak mengeluarkan uang sepeserpun untuk tinggal di Bandung. Aku berpisah dengan Fia, meski sebenarnya Bandung-Bogor cukup dekat bagiku. Fia pun begitu, Fia tahu bahwa kuliah di fakultas Kedokteran sangatlah tidak mudah. Sehingga Fia yang berusaha untuk menemuiku di Jakarta, Fia juga tahu akan kondisi finansialku yang sangat tidak mendukung untuk berhura hura saja.
            Beberapa bulan setelah kami menjalankan hubungan Long distance relationship, tugas tugasku semakin berat dan Fia pun semakin sibuk dengan tugas tugasnya. Semakin kesini, hubungan kami berdua semakin redup, lalu hilang jejak. Aku sangat sibuk, benar benar sibuk. Sedangkan Fia disana juga sedang menjabat sebagai ketua BEM di fakultasnya.
            Hari berganti bulan,bulan berganti tahun. Aku jalani hari hariku dengan hati yang senang bercampur sedih. Sedih karena Fia juga sangat sibuk. Hingga pada suatu hari dimana aku wisuda, Fia menghubungiku melalui aplikasi What’s app “selamat ya, Andi”.
            Hingga akhirnya kami bertemu kembali di suatu kedai kopi di Jakarta. Fia kini tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. Akupun berencana untuk melamar serta menyuntingnya sesegera mungkin. Karena, aku memiliki beasiswa spesialis di negara Sakura. Secara finansial dan umur aku cukup untuk meminang Fia, menjadikannya sebagai pendamping hidupku sampai akhir hayatku.
            Kami melaksanakan prosesi pernikahan dengan berbagai adat. Prosesi hari pertama dengan adat Jawa kami lakukan di kampung ibunda Fia di Surakarta. Setelah itu, kami melakukan resepsi di Medan dengan percampuran adat Melayu dan Bugis. Mewah sekali, kami sangat bahagia.
            Bulan Juni, kami berangkat ke negara Sakura dan kami tinggal di kota Osaka. Kami menyewa apartemen untuk satu tahun. Tiba tiba, aku merasakan sakit kepala yang teramat sangat, sakit sekali rasanya. Aku baru ingat, bahwa ayahku memiliki riwayat penyakit vertigo. Lalu aku mencoba untuk memeriksa diriku sendiri dengan segala cara dan kemampuan yang aku bisa.
            Saat aku memeriksakan diriku, tiba tiba terdengar suara telepon dari ayahku, dari Bone. Beliau mengabarkanku bahwa ibuku meninggal. Aku sangat menyesal karena diriku sendiri sebagai dokter tidak bisa menyembuhkan ibuku. Aku menangis, aku sangat bingung, benar benar bingung.
            Lalu aku memaksakan diriku untuk terbang ke Tanah Air untuk melaksanakan prosesi pemakaman ibuku di Bone. Aku sangat menyesal, ditambah rasa sakit di kepalaku tak kunjung sembuh. Aku hanya membawa obat pereda sakit.
            Setelah itu aku kembali terbang ke Jepang untuk melanjutkan studiku. Fia tidak ikut,karena Fia sedang berbadan dua. Aku memaksakan diriku untuk tetap belajar dan terus belajar.
            Dalam ujian akhirku, aku merasakan kembali sakit di kepala yang teramat sangat. Hingga aku pingsan, Fia sangat panik dan menangis. Lalu aku dilarikan ke rumah sakit Kitano. Saat itu, waktu senja. Matahari akan tenggelam.
            Aku masuk ke ruangan HCU dan ternyata aku dinyatakan kanker otak stadium empat. Fia terdiam, air matanya jatuh, kakinya lemas dan akhirnya ia terjatuh. Aku harus melalui berbagai pengobatan untuk bisa sembuh dari kanker.
            Hari demi hari aku lalui agar aku bisa sembuh, hingga disuatu waktu aku kejang, dan aku dinyatakan meninggal.

Diberdayakan oleh Blogger.

Text Widget

Sample Text

Jalan Jenderal Ahmad Yani, Surakarta 57162, Indonesia
Kampus 2 UMS (Universitas Muhammadiyah Surakarta)
Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB-UMS)

Followers

Stats

Didukung Oleh

Didukung Oleh

Blog Archive

Link Blog

BTemplates.com

Popular Posts